Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang ajaran tasawuf, yang mereka tolak adalah bentuk tasawuf yang terinstitusi dalam bentuk tarekat.
Muhammadiyah sendiri menyakini bahwa selama ajaran tersebut bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, maka tidak menjadi masalah. Sehingga dalam hal ini, tokoh-tokoh Muhammadiyah mengadopsi atau mengambil tasawuf dalam bentuk baru atau Neo-Sufisme, yang terlepas dari bentuk-bentuk dari tasawuf institusi dan populer.
Neo-Sufisme sendiri diciptakan oleh salah satu sarjana asal Pakistan, Fazlur Rahman (w. 1988) untuk menggambarkan beberapa bentuk tasawuf pada abad ke-18 dan ke-19, khususnya yang ada di daerah Afrika Utara, seperti Maroko, Libya, Tunisia dan Aljazair.
Ia mengeksplor lebih lanjut dalam bukunya Islam beberapa tokoh yang ia masukkan dalam kategori Neo-Sufisme tersebut, antara lain: Ahmad bin Idris (1749-1837), Muhammad Usman al-Mirghani (1793-1852), Muhammad bin Ali Al-Sanusi (w. 1787-1859) dan Ahmad al-Tijani (w. 1737-1815).
Rahman menjelaskan bahwa tujuan utama dari Neo-Sufisme adalah sebagai perbaikan akhlak dari masyarakat Muslim, yang berbeda dari sufisme lama, yang lebih menekankan individu daripada masyarakat. Rahman melihat tokoh dan ulama besar Ibn Taymiyah (w. 1328) dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 1350) sebagai kalangan Neo-Sufisme awal (Rahman: 1979).
Sebagai contoh, apa yang ditulis oleh Hamdan Magribi (2024) dalam bukunya Tasawuf Salafi Rekonstruksi Tasawuf Ibn Taimiyah, menggambarkan hal tersebut. Secara ringkas, Magribi menggambarkan Ibn Taimiyah ingin mengoreksi ajaran tasawuf di era sebelumnya dan memberikan definisi baru dalam setiap konsep, ajaran dan praktik dari tasawuf lama. Sebagaimana juga yang ditulis oleh Lalu Setiawan yang juga menggunakan kata Salafi Sufism untuk menjelaskan konsep tasawuf dari Ibn Qayyim.
Kedua tokoh tersebut atau konsep Neo-Sufisme secara garis besar ingin mengembalikan tasawuf kepada syariat, tanpa adanya praktik-praktik tasawuf populer yang muncul pada abad ke 11-16 masehi (Mughni, 2002). Misalnya seperti: berzikir secara bersama-sama, mengunjungi makam ataupun bahka secara radikal mengonsumsi opium atau berpenampilan gembel (Mahendra, 2024). Maka daripada itu, Ibn Taimiyah mendefinisikan ulang dari setiap praktik dan ajaran dari tasawuf klasik (Maghribi, 2024).
Neo-Sufisme sendiri memiliki sembilan tema besar, antara lain : 1) menolak praktik sufisme populer, seperti menari/sama, pemujaan kepada para wali dan berziarah ke makamnya. 2) menolak ajaran Ibn Arabi khususnya wahdat al-wujud. 3) Menolak hubungan hierarki guru-murid. 4). Lebih memilih konsep menyatu dengan Nabi Muhammad atau jalan kenabian, daripada menyatu kepada Allah 5). Legitimasi penerimaan praktik, ajaran dan posisi yang bersumber langsung dari Nabi, daripada pendiri tarekat 6). Pembentukan organisasi-organisasi kemasyarakatan 7). Penekanan pada hadis 8). Menolak taqlid dan pengupayaan ijtihad dan 9) adanya sikap militer dan politik dalam membela Islam. (O’Fahey dan Radtke: 1993)
Pada poin keempat, sebagaimana analisis yang dilakukan oleh Rahman, O’Fahey dan Radtke, bahwa mereka, para sufi abad ke-18 dan ke-19 lebih memilih ajaran atau konsep menyatu dengan Nabi Muhamamd yang disebut dengan kemudian, Tariqah Muhammadiyah daripada konsep menyatu dengan Tuhan atau Allah yang dikenal sebagai ittihad atau fana. Implikasi dari ajaran ini adalah merujuk pada sifat-sifat neo-Sufisme selanjutnya, seperti aktif dalam berpolitik mengusir penjajah yang pada saat itu tengah menyerang wilayah Islam, karena dalam hal ini adalah merupakan sikap yang dicontohkan Nabi. Dan ini merupakan sebuah bentuk pada “Sunnah” kenabian.
Salah satu sebagai contoh adalah Sanusiyah yang ada di Afrika Utara. Tarekat ini didirikan oleh Muhammad bin Ali Sanusi murid dari Ahmad bin Idris. Sanusi sangat menekankan pada pengajaran al-Qur’an dan Hadis, serta menolak ijma dan qiyas. Ia menekankan kepada para pengikutnya untuk aktif secara sosial kemasyarakatan. Awalnya, Sanusi sendiri tidak aktif secara politik dan militer, tetapi karena serangan dari koloni Prancis yangterus menerus, akhirnya menggugah anaknya, Sayyid Mahdi untuk melawan Prancis.
Misalnya contoh lainnya, adalah Syaikh Ahmad Barelvi (w. 1831), yang ada di India. Ahmad Barelvi sendiri merupkakan murid darri Syekh Abdul Aziz, anak dari Syah Waliullah al-Dihlawi yang paling tua. Meskipun ia mendahului Sanusi yang ada di Afrika Utara, Ahmad Barelvi sendiri menamai ajarannya sebagai Tariqa-yi Muhammadiyah. Sebagaimana layaknya seorang pembaru sufisme, ia juga mengkritik praktik sufisme populer dan sinkretisme Islam-Hindu yang ada di India. Ia bahkan sendiri disebut sebagai “Wahabi India”, meskipun sebutan ini paradoks, karena Ahmad Barelvi sendiri juga masih melakukan pengajaran tasawuf dengan konsentrasi pada hukum dan syariat yang ketat. Selain itu, ia juga merupakan seorang komandadn perang dan akhirnya Barelvi terbunuh pada 1831 di pertempuran melawan Ranjit Singh. Dan Tariqa-yi Muhammadiyah sendiri juga ikut aktif dalam berperang melawan melawan Inggris di India, dan juga terlibat dalam Indian Munity atau pemberontakan India pada tahun 1857 (Mahendra, 2024) (Metcalf, 1982).
Dalam literatur, istilah Tariqah Muhammadiyah juga digunakan sebagai nama sebuah kitab oleh Imam Birgivi Tarikat-i Muhammediyye (w. 1573) yang hidup pada era Ottoman. Dulunya Imam Birgivi adalah seorang Sufi lalu berjalannya waktu ia bertobat dan lebih memilih untuk orientasi syariat. Pada dua abad selanjutnya kitab-kitab Birgivi menginspirasi kelompok tergabung dalam Kadizadeli untuk melakukan serangan dan perlawanan kepada para sufisme dan tarekat yang ada di Ottoman pada abad ke 16 hingga 17 (Mahendra 2023).
Jika kita membaca beberapa contoh dari Neo-Sufisme, diciptakan oleh Rahman dan beberapa sarjana lainnya, kita akan menemukan beberapa bentuk yang kompleks dari neo-Sufisme. Mereka tidak sepenuhnya meninggalkan tasawuf klasik, karena mereka umumnya masih bertarekat, mempunyai guru dan lain-lain. Tetapi beberapa yang pasti dari bentuk Neo-Sufisme adalah penolakan mereka terhadap praktik-praktik Sufisme Populer; kritik atau meniggalkan ajaran wahdat al-wujud, dan yang pasti satu adalah mereka ingin menerapkan syariat sebagaimana mestinya.
Neo-Sufisme menolak beberapa doktrin falsafi seperti : ittihad, hulul, fana dan lain-lain. Neo-Sufisme lebih memilih tasawuf yang berkesadaran dalam konteks modern, yang lebih mementingkan aspek moral dan syariat dan meninggalkan tasawuf mabuk, misalnya seperti yang dicontohkan oleh al-Hallaj atau Abu Yazid al-Bustami. Karena doktrin-doktrin tersebut dinilai dapat menciderai ajaran-ajaran Islam misalnya seperti sinkretisme yang terjadi di India dengan agama Hindu.
Konsep Neo-Sufisme ini kemudian digunakan oleh beberapa para sarjana untuk menggambarkan corak tasawuf dalam organisasi Muhammadiyah, dan sebagai “label” dalam bentuk sufisme baru yang ada di Indonesia, dengan ada yang tetap dan berubah dari konsepNeo-Sufisme itu sendiri. Sebagai contoh yang berubah adalah praktik tarekat yang menekankan mursyid-sentris, tetapi dalam bentuk sufisme baru, mereka berkelompok dan berorganisasi yang berorientasi dalam pengamalan tasawuf.
Editor: Soleh