Perspektif

Begini Relasi Ideal Antara Guru, Murid, dan Orang Tua

4 Mins read

Heboh kriminalisasi guru menjadi tranding topic dalam beberapa waktu terakhir ini. Beberapa guru yang sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik harus berurusan dengan hukum bahkan ada yang mendapat kekerasan fisik. Dalam relasi pendidikan liberal, posisi guru tidak lebih dari seorang babu yang dituntut bekerja dengan secara perfeck karena dibayar

Relasi Transaksional Antara Guru, Murid, dan Orang Tua

Relasi transaksional antara guru, murid, dan orang tua muncul sebagai hasil dari pendekatan pragmatis dan berfokus pada pencapaian tujuan individu dan hasil. Relasi ini cenderung didasari oleh prinsip transaksi atau pertukaran manfaat, di mana setiap pihak berperan sebagai “pemberi” dan “penerima” dalam proses pendidikan.

Prinsip umum relasi transaksional antara guru, murid, dan orang tua dalam konteks pendidikan liberal dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, guru sebagai penyedia layanan atau fasilitator. Dalam pendidikan liberal, guru sering kali dipandang sebagai penyedia layanan pendidikan atau fasilitator yang bertugas untuk memberikan keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan kebutuhan murid.

Peran guru bukan lagi pendidik moral, tetapi lebih kepada penyedia informasi dan pelatihan yang relevan dengan tujuan akademis dan karier murid. Guru diharapkan menyediakan materi yang “bernilai tambah” bagi murid, dengan orientasi lebih pada pencapaian target atau nilai akademis.

Guru dalam relasi ini sering diukur kinerjanya berdasarkan hasil belajar yang dihasilkan oleh murid, sehingga peran mereka menjadi lebih teknis daripada pembimbing moral atau spiritual.

Kedua, murid sebagai konsumen atau penerima layanan. Murid dalam pendekatan ini dipandang sebagai “konsumen” yang menerima layanan pendidikan dari guru dan sekolah. Pendekatan ini menekankan hak murid untuk menerima layanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan menekankan individualitas serta kebebasan dalam memilih metode atau konten pembelajaran yang sesuai.

***

Murid memiliki hak untuk menuntut layanan pendidikan yang berkualitas, yang bisa dilihat dari akses ke sarana pendidikan, kualitas kurikulum, dan metode pengajaran yang relevan dengan tujuan masa depan mereka. Terkadang, murid cenderung lebih fokus pada capaian akademik atau karier masa depan, dan relasi dengan guru bersifat transaksional sejauh guru bisa menyediakan manfaat yang mendukung pencapaian tujuan mereka.

Baca Juga  Syahadat Ekologi: Menyelamatkan Lingkungan dari Kerusakan

Ketiga, orang tua sebagai pengawas atau investor pendidikan. Orang tua dalam sistem ini sering dipandang sebagai “investor” dalam pendidikan anak-anak mereka. Mereka mengeluarkan biaya dan dukungan untuk mendapatkan hasil tertentu, seperti pencapaian akademis atau keterampilan yang berguna di masa depan.

Orang tua biasanya menilai keberhasilan pendidikan dari hasil nyata seperti nilai, sertifikat, atau penerimaan di universitas. Ini mendorong adanya target tertentu yang perlu dicapai oleh murid dengan bantuan guru.

Peran orang tua cenderung bersifat pengawasan atau manajemen terhadap proses pendidikan, dan mereka mengharapkan sekolah dan guru untuk memberikan hasil nyata dari pendidikan anak-anak mereka.

***

Keempat, fokus pada tujuan, capaian, dan nilai praktis. Dalam relasi transaksional, pendidikan cenderung dilihat sebagai sarana mencapai tujuan pragmatis, seperti persiapan untuk karier, pengembangan keterampilan, atau pencapaian nilai akademis yang tinggi. Relasi antara guru, murid, dan orang tua cenderung berpusat pada capaian-capaian ini.

Guru berperan untuk mengarahkan murid mencapai nilai atau keterampilan yang diharapkan, murid terlibat untuk menerima dan menguasai ilmu, sedangkan orang tua menilai kesuksesan pendidikan berdasarkan pencapaian anak-anak mereka. Fokus ini sering membuat pendidikan lebih hasil-atau orientasi (outcome-oriented), dengan ukuran keberhasilan berupa capaian nilai atau penerimaan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kelima, kurangnya kedalaman moral atau spiritualitas. Relasi transaksional dalam pendidikan liberal sering mengabaikan aspek moral, etika, atau spiritual yang menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan tradisional.

Murid dan orang tua mungkin melihat pendidikan lebih sebagai alat untuk mencapai tujuan individual, sehingga relasi guru-murid menjadi pragmatis dan tidak selalu mengarah pada pembinaan karakter atau adab yang mendalam.

Akibatnya, relasi ini sering kurang melibatkan aspek kepercayaan, kepedulian moral, atau peran guru sebagai pembina spiritual atau etis. Guru lebih berfokus pada aspek akademis atau teknis daripada memberikan nilai-nilai moral atau etika.

Baca Juga  Gus Pur, Inovasi Pesantren Sains untuk Mencetak Ilmuwan cum Ulama

Keenam, dampak pada motivasi belajar dan lingkungan sekolah. Hubungan transaksional bisa berdampak pada motivasi murid, di mana mereka belajar lebih untuk memenuhi target atau ekspektasi daripada untuk kecintaan atau keingintahuan akan ilmu.

Pada lingkungan sekolah, ini bisa menciptakan suasana persaingan yang ketat dan berorientasi nilai, kadang mengurangi minat untuk belajar dalam konteks yang lebih luas, seperti pengembangan karakter atau pemahaman lintas disiplin.

Relasi transaksional dalam pendidikan liberal dapat mendukung pencapaian akademik dan keterampilan praktis secara efektif, namun bisa mengurangi makna pendidikan sebagai sarana pengembangan karakter dan pembinaan moral. Dalam sistem ini, hubungan antara guru, murid, dan orang tua berpusat pada pertukaran manfaat konkret, dengan perhatian lebih kepada capaian akademik, keterampilan, dan hasil nyata yang diharapkan.

Relasi Etis Antara Guru, Murid, dan Orang Tua

Sementara itu, relasi antara guru dan murid dalam sistem pendidikan Islam sangat dihormati dan didasari oleh prinsip-prinsip spiritual, etika, dan moral yang tinggi. Relasi ini tidak sekadar hubungan akademis, tetapi juga melibatkan dimensi pembinaan karakter, adab, dan kedalaman makna ibadah.

Guru dalam pendidikan Islam sering disebut sebagai murabbi atau pembimbing, yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membimbing murid dalam pembentukan karakter, adab, dan keimanan. Guru dianggap sebagai sosok panutan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hal ilmu pengetahuan maupun moralitas.

Sedangkan murid disebut sebagai muta’allim, atau pencari ilmu. Murid diwajibkan memiliki niat yang tulus dalam belajar, bukan hanya untuk mencari pengetahuan, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sikap hormat, patuh, dan penuh adab terhadap guru adalah bagian penting dari proses pendidikan.

Dalam Islam, adab adalah unsur yang fundamental dalam belajar dan mengajar. Murid diajarkan untuk berperilaku sopan, menghormati guru, serta bersikap rendah hati dalam menuntut ilmu. Sebaliknya, guru juga diajarkan untuk berperilaku baik, mengajar dengan ikhlas, dan memperhatikan kebutuhan murid.

Baca Juga  Mencoba Memahami Konsep Habitus, Kapital, dan Arena Pierre Bourdieu

Relasi ini juga dibangun atas dasar komitmen spiritual dan keilmuan yang tinggi. Guru dianggap sebagai penerus risalah para nabi yang mengajarkan kebenaran dan pengetahuan. Murid diharapkan mengikuti jejak guru, baik dalam penguasaan ilmu maupun dalam aspek moral dan spiritual. Dalam Islam, proses transfer ilmu dilihat sebagai ibadah, sehingga keikhlasan dan kesungguhan dalam belajar menjadi nilai utama.

Guru memiliki kewajiban untuk mendidik, mengayomi, dan membimbing murid dengan baik. Mereka bertanggung jawab tidak hanya untuk mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga untuk mengajarkan akhlak dan adab. Sementara itu, murid memiliki hak untuk mendapatkan ilmu dan perhatian yang tulus dari gurunya, dan kewajiban untuk menghormati dan mentaati guru.

Rasulullah SAW memberikan contoh hubungan guru dan murid yang penuh kasih sayang, keteladanan, dan kesabaran. Rasulullah selalu berinteraksi dengan para sahabatnya (sebagai murid-murid beliau) dengan kelembutan, kejelasan, dan perhatian mendalam terhadap perkembangan mereka.

Mana yang Relevan?

Dalam konteks pendidikan modern, prinsip-prinsip ini masih relevan. Relasi yang didasari oleh sikap hormat, adab, dan ikatan spiritual dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif, penuh kepercayaan, dan bermakna bagi perkembangan murid. Relasi antara guru, murid, dan orang tua tidak semestinya bersifat transaksional, namun harus bersifat etis.

Relasi ini bukan berarti menafikan aspek akademis, namun lebih pada bagaimana relasi itu dibangun bukan hanya transaksional pragmatis tetapi juga mengusung nilai-nilai moral, agama, dan budaya sebagai identitas kebangsaan. Relasi yang baik akan menghindarkan prilaku kriminal dan kekerasan baik bagi guru maupun murid.

Editor: Soleh

Avatar
12 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, dan Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo
Articles
Related posts
Perspektif

Perlukah Muhammadiyah Menunda Penggunaan KHGT?

3 Mins read
Diskusi seputar hisab dan rukyat menjadi isu yang menarik setiap menjelang Ramadan. Apalagi dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan. Kalender…
Perspektif

Ketika Ustadzah Ba’alawi Bangun Otoritas Keagamaan Baru di Ruang Publik

2 Mins read
Di tengah-tengah perdebatan tentang nasab para habaib keturuan Ba’alawi, nyatanya tidak menyurutkan semangat untuk melihat sisi lain dari kehadiran kaum hadrami di…
Perspektif

Ternyata Ada 8 Madzhab Fiqih, 4 Diantaranya Jarang Diketahui!

4 Mins read
Dalam agama Islam, dikenal istilah mufti yang sering diartikan sebagai seorang mujtahid. Istilah yang dimaksud cukup masyhur khususnya pada konteks fiqih, dengan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds