Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh bagi perserikatan tersebut. Tidak butuh waktu lama, hal ini direspons positif dan dikembangkan oleh tokoh lokal pesisir Jawa Timur, salah satunya Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi.
Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi melihat Muhammadiyah cocok sebagai motor dakwahnya untuk mengajak masyarakat kembali ke ajaran Islam yang murni. Tokoh asal Paciran, pesisir Lamongan, Jawa Timur ini terukir cukup detail oleh salah satu murid sekaligus kerabatnya, Prof. Syafiq A. Mughni, dalam bukunya yang berjudul “Sang Mujaddid dari Paciran: Jejak Perjuangan K.H. Muhammad Ridlwan Syarqawi”.
Seperti diketahui, literatur sejarah mengenai tokoh lokal Muhammadiyah sangat jarang dijumpai. Namun, berkat kesadaran dan kesabaran Syafiq, serta kepakarannya dalam bidang sejarah mampu menyajikan informasi penting ini di tengah masyarakat majemuk. Selain itu, dia juga pernah mengalami langsung dididik oleh Ridlwan semasa sekolah menengah.
Sumber data yang diperoleh merupakan hasil wawancara langsung Syafiq dengan Kiai Ridlwan semasa hidupnya sejak tahun 1981, serta sumber sekunder lainnya, seperti wawancara subyek yang pernah berinteraksi langsung dengan sang kiai dan catatan tertulis yang kredibel.
Meski begitu, sebenarnya buku ini merupakan hasil penelitiannya pada tahun 1995 dengan judul “Muhammad Ridlwan Syarqawi: Pejuang, Pendidik, dan Pemurni di Paciran”. Hanya saja bahan yang terkumpul saat itu dirasa masih kurang, dan baru sempat menyempurnakan literatur sejarah ini di tengah kesibukannya, sehingga terbit kembali pada Agustus 2024.
Figur Kiai Muhammadiyah yang Kharismatik
Muhammad Ridlwan Syarqawi lahir pada 15 April 1914 dari pasangan suami istri yang dihormati di masyarakat Paciran kala itu, yakni Syarqawi dan Aisyah. Ia hidup dalam 12 bersaudara, antara lain, Mu’raf; Khadijah; Haulah; Ridlwan Syarqawi; Rusnah; Hasan; Husain; Asyhuri; Husni; Niswah; Muntamah; dan Fatimah.
Keluarga Syarqawi sejak awal telah mengorientasikan anak-anaknya untuk memperdalam ilmu agama dengan berguru kepada para kiai. Uniknya, para guru dari anak-anak Syarqawi justru lebih banyak dari ulama Nahdlatul Ulama (saat itu belum resmi terbentuknya organisasi tersebut).
Di antara gurunya, Ridlwan Syarqawi dan Husain berguru kepada Kiai Faqih Maskumambang, Gresik. Sementara, Asyhuri mendalami ilmu agama di Peterongan, Jombang, Jawa Timur. Dari 12 anak Syarqawi, empat di antaranya berhasil menjadi ulama yang disegani di wilayah Paciran.
Namun demikian, hanya Ridlwan yang dikenal sebagai ulama Muhammadiyah, sedangkan Hasan, Husain, dan Asyhuri menjadi ulama Nahdlatul Ulama. Mereka memiliki motto dakwah yang berbeda namun melembaga. Ridlwan mendirikan Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan dan ketiga saudaranya membangun Pondok Pesantren Mazra’atul Ulum. Keduanya merupakan pesantren besar di Paciran.
Ketokohan Ridlwan telah teruji dengan kompleksitas permasalahan masyarakat sosial. Pada awal dakwahnya untuk memurnikan ajaran Islam, Ridlwan muda menghadapi kepercayaan masyarakat yang sulit disembuhkan, seperti sedekah bumi dan sedekah anjir.
Pada dasarnya, kedua sedekah ini memiliki kemiripan, tetapi hanya berbeda di tujuan penyelenggaraan. Sedekah bumi ditujukan untuk penjaga tumbuh-tumbuhan yang keluar dari bumi, menurut mereka. Adapun sedekah anjir, berasal dari kata ‘nganjir’, yang menurut masyarakat Paciran berarti pohon siwalan yang ditancapkan terbalik di karang dekat pantai dan ditujukan untuk memuja Mbah Danyang sang penjaga laut (hal. 53).
Lebih dari itu, ada setidaknya tiga tantangan terberat dakwah Ridlwan di masyarakat Paciran, antara lain pengkhianatan Kepala Desa Paciran bernama Samsul Hadi yang bersekongkol dengan kolonial Belanda untuk membunuh para ulama kontra penjajah, disantet dukun tenung, dan dipaksa turun dari mimbar saat khutbah Jum’at oleh sekelompok masyarakat yang menolak dakwahnya (hal. 110-113).
Resonansi Sang Pembaharu dari Paciran
Secara bertahap, meski banyak penolakan di awal langkah dakwahnya, Ridlwan muda memiliki mental konsisten, mencari peluang yang tepat, dan menjadikan masyarakat sebagai obyek yang hidup (hal. 105). Peran sentralnya sebagai tokoh agama kala itu digunakan sebaik mungkin untuk mencerdaskan masyarakat yang awam.
Ridlwan selalu menyisipkan pesan dakwah pembersihan takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC) ketika menjadi khatib salat Jum’at, mengisi ceramah undangan warga, memberikan kajian rutin, diskusi santai, hingga puncaknya melembagakan hasil pemikirannya menjadi Pondok Modern Muhammadiyah Paciran.
Adapun kitab yang dibahas dalam kajiannya, antara lain tafsir al-Qur’an, hadits Bulughul Maram, al-Targhib wa al-Tarhib, Ta’limul Muta’allim, Mu’awanah, Zubad, Iqtidla al-Shirath al-Mustaqim, al-Siyasah al-Syar’iyah, Tauhid karya Abdullah bin Baz, Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab, al-Sunan wa al-Mubtada’at, al-Tawasul wa al-Washilah, dan al-Din al-Haq (hal 102).
Apabila diperhatikan secara seksama, maka akan kita dapati bahwa sebagian besar pemikiran Ridlwan terpengaruh oleh gerakan Wahabi di Arab Saudi. Hal itu sebagaimana gurunya Kiai Ammar Faqih yang membawa semangat gerakan tersebut, tetapi keduanya tetap berpegang teguh pada akidah Ahlussunah wal jama’ah.
Pada akhir abad 19 hingga awal abad 20, para haji yang pulang ke tanah air banyak yang membawa semangat pembaharuan akibat dari proses pengembaraan ilmu dan dialog dengan kalangan Wahabi di sana, termasuk Kiai Ammar Faqih (hal 94). Hal ini termasuk pengaruh saat berdiskusi dengan rekan perjuangannya saat pergi ke Makkah, yaitu Kiai Mas Mansyur, Moh. Natsir, dan Isa Ansori.
Walaupun jasadnya telah ditimbun bumi sejak 18 Maret 1990, resonansi jasanya tetap berjalan di atas permukaan bumi dan menjadi pelita harapan bagi masyarakat umum. Tradisi mistis yang dahulu menjadi musuh besar Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi kini berubah menjadi ritual keagamaan yang berdasar dalil Al-Qur’an dan Hadits. Semua dia korbankan, meski taruhannya nyawa.
Biodata Buku
Judul buku: Sang Mujaddid dari Paciran; Jejak Perjuangan K.H. Muhammad Ridlwan Syarqawi (1914-1990)
Penulis: Prof. Dr. Syafiq A. Mughni
Tahun Terbit: Agustus 2024
Penerbit: Suara Muhammadiyah
Jumlah Halaman: 140
Editor: Soleh