Inspiring

H.M. Rasjidi (1): Tokoh Muhammadiyah, Menteri Agama Pertama

6 Mins read

Setahun yang lalu, saat Resepsi Milad ke-107 tahun lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebagaimana disampaikan Ketua Umum Prof. Dr. Haedar Nashir, mengusulkan pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk dua orang tokoh Muhammadiyah yang besar jasanya kepada bangsa dan negara, yaitu Prof. Dr. H.M. Rasjidi dan Dr. H. Roeslan Abdulgani.

Pengusulan dua tokoh tersebut sangat tepat dan pantas, namun tetap harus dikawal dengan baik oleh PP Muhammadiyah dan diperjuangkan sesuai persyaratan pengusulan pahlawan nasional. Sama halnya seperti ketika almarhum Bapak A.M. Fatwa selaku Ketua Panitia Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional untuk Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, Prof. Abdul Kahar Mudzakir yang dibentuk PP Muhammadiyah.    

Bertepatan dengan momentum milad ke-108 Muhammadiyah pada tanggal 18 November 2020, saya ingin mengenang lewat tulisan ini sosok tokoh Muhammadiyah yang menjadi Menteri Agama Pertama Republik Indonesia, ia adalah Mohammad Rasjidi.

Biografi H.M. Rasjidi, Menteri Agama Pertama Republik Indonesia

Nama lengkapnya Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Beliau dilahirkan di Kotagede Yogyakarta pada 20 Mei 1915 (4 Rajab 1333 H) dan wafat di Jakarta pada 30 Januari 2001 dalam usia 86 tahun.   

Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai ilmuwan, ulama, diplomat, dan penulis dengan pengalaman keilmuwan serta pengabdian yang panjang. Rasjidi semasa kecil menempuh pendidikan Sekolah Ongko Loro, setingkat Sekolah Dasar dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas.

Ketika Muhammadiyah mendirikan Sekolah Rendah di Kotagede, Rasjidi yang nama kecilnya Saridi, tertarik sehingga pindah ke sekolah Muhammadiyah. Ia juga sempat masuk Sekolah Guru atau Kweekschool Muhammadiyah, namun hanya sampai Kelas 3. Selanjutnya, ia masuk Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyah di Lawang, Jawa Timur, yang diasuh oleh Syaikh Ahmad Soorkati, salah seorang tokoh pembaharuan Islam di awal abad 90. 

Setamat dari Perguruan Al-Irsyad, ia mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke Kairo, Mesir. Ia masuk Darul ‘Ulum dan mengikuti ujian persamaan Sekolah Menengah Umum. Kedua kegiatan itu diselesaikannya pada 1934. Empat tahun kemudian (1938), Rasjidi menyelesaikan studinya di Fakultas Sastra Jurusan Filsafat di Universitas Kairo.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam buku 70 Tahun Rasjidi, mengungkapkan bahwa Rasjidi dalam usia mudanya telah melakukan pengembaraan intelektual yang luas. Betul sekali.

Ia adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) dalam ilmu keislaman dari Universitas Sorbonne pada tahun 1956 dengan disertasi mengenai Serat Tjentini.  Pada tahun 1958-1963, ia menjadi Associate Professor di McGill University, Montreal, Canada. 

Sebagaimana diungkapkan dalam biografinya, pengembaraannya di luar negeri diakhiri dengan menjabat sebagai Wakil Direktur Islamic Centre di Washington DC, Amerika Serikat. Rasjidi kembali ke Tanah Air dalam hari-hari terakhir kekuasaan Presiden Soekarno.

Baca Juga  Yusuf Al-Qaradawi: Ijtihad Harus Memberikan Solusi untuk Masalah Umat

Ia sempat menumpang tinggal di Jalan Menteng Raya 58 Jakarta, markas Sekretariat Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Pelajar Islam Indonesia (PII), selama 9 bulan karena rumahnya di Jalan Diponegoro 42 Jakarta ditempati orang lain.

Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi

Ketika Rasjidi mencapai usia 70 tahun, Panitia Penulisan Buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang diketuai Prof. Dr. H.A. Mukti Ali (mantan Menteri Agama) menerbitkan buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Penyunting: Endang Basri Ananda, 1985).

Saya mengutip kembali sambutan Menteri Agama H. Munawir Sjadzali pada buku itu. Munawir menulis, “Terdapat tiga hal yang mendorong saya untuk mendukung prakarsa sementara kawan untuk menandai genap 70 tahun usia Profesor Dr. H.M. Rasjidi. Pertama, beliau adalah Menteri Agama RI yang pertama; kedua, beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan; dan ketiga, beliau adalah seorang ilmuwan Islam dan cendekiawan Muslim yang tangguh dan berwatak.”

Buku 70 Tahun yang diterbitkan oleh Harian Umum Pelita ini memuat tulisan tentang dan untuk Rasjidi, antara lain dari mantan Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri, Prof. A. Hasjmy, H.A. Mukti Ali, Djarnawi Hadikusuma, E.Z. Muttaqien, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Rosihan Anwar, Ihromi, dan lain-lain.  

Ia diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Sjahrir II tanggal 3 Januari 1946. Pada Jum’at malam 4 Januari 1946, Menteri Agama H.M. Rasjidi menyampaikan pidato perdana melalui RRI Yogyakarta, menegaskan,

“…berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.” 

Kisah Pengangkatan Rasjidi sebagai Menteri Agama Pertama yang Unik

Pengangkatan Rasjidi sebagai Menteri Agama Pertama di masa revolusi kemerdekaan cukup unik. Semula, ia sendiri tidak tahu tentang penunjukan itu.

Satu hari, Ia menyuruh pembantunya membeli surat kabar Merdeka. Dilihatnya ada pengumuman pembentukan kabinet. Ia melihat ada nama H. Rasjidi. Ia mengira itu nama orang lain yang kebetulan sama dengan namanya, apalagi ia sendiri merasa tidak pernah dihubungi oleh siapa pun untuk duduk di kabinet.

Rupanya, orang-orang di kampungnya membaca juga pengumuman itu. Di Kotagede Yogyakarta, ia lebih dikenal dengan nama Haji Rasjidi. Mereka mengirim kawat menanyakan apakah Haji Rasjidi yang dibaca di koran dan diangkat sebagai menteri itu, apakah dirinya. Sesudah beberapa lama kemudian, datang utusan kabinet ke rumahnya di Jalan Kebon Kacang Jakarta untuk menjemputnya menghadiri sidang kabinet di Jalan Jawa, rumah kediaman Perdana Menteri Sutan Sjahrir. 

Baca Juga  KH Adang Qomaruddin; Sang Penyair Kota Hujan Telah Tiada

Dalam wawancara dengan majalah Panji Masyarakat No 371 – 23 Zulqaidah 1402/11 September 1982, Rasjidi mengemukakan pandangannya bahwa Departemen Agama (kini Kementerian Agama) di Indonesia jauh lebih luas ruang lingkup tugasnya dibanding Kementerian Wakaf seperti yang ada di negara-negara Arab.

Menanggapi wacana yang menghendaki digantinya nama Departemen Agama menjadi “Departemen Keagamaan”, Rasjidi memandang pikiran-pikiran semacam itu sebagai pikiran yang kacau dan hanya mengada-ada, namun kita perlu waspada.    

Dalam perjuangan kemerdekaan, Rasjidi ikut berperan mengupayakan dukungan dari negara-negara Islam terhadap kemerdekaan Indonesia. Perjuangan diplomasi RI di Timur Tengah yang dilakukan oleh Rasjidi dan kawan-kawan menghasilkan pengakuan kedaulatan dari negara-negara anggota Liga Arab terhadap Republik Indonesia sebelum negara-negara lain memberi pengakuan.   

Mengenang Peran dan Kontribusi Rasjidi sebagai Ilmuwan Islam yang Berbobot

Di samping itu, patut dikenang peran Rasjidi dalam peta pemikiran Islam dan kontribusinya membangun tradisi ilmiah serta etos intelektualisme Islam di Indonesia.

Menurut Munawir Sjadzali, salah satu sisi mengesankan dari sosok Rasjidi sebagai ilmuwan Islam yang berbobot, adalah keyakinannya yang mutlak terhadap kebenaran Islam dan penguasaannya tentang ilmu keislaman yang utuh dan lengkap. Serta didukung oleh pengenalan yang cukup dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain, khususnya penguasaannya terhadap filsafat. 

Pada 1968, Rasjidi dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam Universitas Indonesia (UI). Pidato pengukuhannya berjudul Islam dan Indonesia Di Zaman Modern.

Dalam pidatonya, Rasjidi mendorong umat Islam Indonesia agar melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap ajaran-ajaran Islam secara ilmiah, seperti yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat. Ia menolak metode orientalis dalam memahami Islam karena akan hilanglah kekuatan jiwa yang didapat dari Al Quran. 

Dalam sejarah pengembangan perguruan tinggi Islam, khususnya IAIN; tak dapat dilupakan peranan dan jasa Rasjidi yang merintis dan membimbing studi purnasarjana bagi dosen-dosen IAIN di Jakarta ketika itu sebagai cikal bakal berdirinya Sekolah Pascasarjana UIN. 

Dalam wawancara dengan majalah Serial Media Da’wah tahun 1989, Rasjidi menceritakan liku-liku perjalanan karirnya. “Saya ini masuk pemerintahan dari tiga jurusan. Di Departemen Agama, saya adalah Menteri Agama pertama. Kemudian menjadi Sekretaris Jenderal di bawah Menteri Agama Faturrachman.

Di Departemen Luar Negeri, saya pernah menjadi Sekretaris Delegasi Diplomatik Indonesia ke negara-negara Arab, kemudian menjadi Ketua Delegasi setelah Ketua Delegasi Haji Agus Salim berangkat ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk memperkuat delegasi Indonesia di sana.

Pada 1950-1952, saya menjadi Dutawaktu itu belum ada istilah Duta Besar—di Mesir merangkap Saudi Arabia. Pada 1952-1953, saya menjadi Duta di Iran merangkap Afghanistan. Pada 1953-1955, saya menjadi Kepala Direktorat Penerangan Departemen Luar Negeri, dan pada 1956-1958 saya Duta Besar di Pakistan.” paparnya.

Baca Juga  Muhammadiyah di Mata Orang Awam

Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

Sebagai tokoh dan pejuang umat, Rasjidi pada tahun 1967 ikut mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) bersama Mohammad Natsir dan sejumlah tokoh Masyumi lainnya. Ia lalu ditunjuk menjadi Wakil Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Di samping itu, Rasjidi adalah Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Rasjidi juga mendapat amanah sebagai Imam Besar Masjid Agung Sunda Kelapa Menteng Jakarta. Sekitar tahun 1980-an ia diminta oleh Kerajaan Saudi Arabia menjadi Kepala Kantor Perwakilan Rabithah Alam Al Islami di Indonesia dari tahun 1981  sampai 1988. 

Menurut mantan Rektor Unisba dan Ketua MUI K.H.E.Z. Muttaqien (1985), Rasjidi adalah seorang ilmuwan yang pendiam, tetapi kalau berbicara selalu berisi mutiara.

Sedangkan M. Dawam Rahardjo dan Cak Nur menjuluki Rasjidi sebagai “The Guardian (penjaga) dunia pemikiran Islam Indonesia yang selalu cemas bila melihat gejala ‘penyimpangan’ atau ‘penyelewengan’ dalam kegiatan intelektual.” Seperti diketahui, Rasjidi menulis buku yang mengoreksi pemikiran Cak Nur tentang sekularisme pada tahun 1972. 

Dalam kapasitas sebagai ulama dan pejuang Islam, Rasjidi merasa terpanggil untuk menjaga akidah umat dari bahaya sekularisme dan Kristenisasi yang menjadi isu hangat di Tanah Air pasca G30S/PKI dan dekade awal Orde Baru.

Rasjidi Menentang RUU Perkawinan yang Kontroversial

Ketika pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang isinya kontroversial ke DPR tahun 1973, Rasjidi menentang keras RUU tersebut. Ia menulis di media massa, “Sekitar RUU Perkawinan Bukankah Aku Telah Memperingatkan?”

RUU tersebut dikritisinya karena bertentangan dengan hukum Islam yang dianut oleh 90 persen bangsa Indonesia. Dalam draf awal RUU Perkawinan, perbedaan agama disamakan dengan perbedaan suku dan daerah asal sehingga tidak menghalangi sahnya perkawinan. Hal itu sangat bertentangan dengan agama Islam.

Narasi seputar polemik RUU Perkawinan dihimpun olehnya menjadi buku berjudul Kasus Rancangan Undang-undang Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen yang diterbitkan pada 1974 dan sempat dilarang beredar. 

(Bersambung)

Editor: Zahra

M Fuad Nasar
15 posts

About author
Akitivis zakat. Penulis buku Fiqh Zakat Indonesia yang diterbitkan BAZNAS tahun 2015. Anggota Tim Editor Buku Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra (2015/2016)
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *