Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read

Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi penanda kesungguhan individu dalam menjalankan agamanya. Namun, fenomena yang muncul belakangan ini, terutama di banyak konteks sosial menunjukkan bahwa kesalihan ritual tidak selalu berbanding lurus dengan kesalihan sosial. Seseorang yang terlihat tekun beribadah terkadang menunjukkan sikap intoleran terhadap perbedaan agama, etnis-budaya, suku atau pandangan keagamaa. Praktik tersebut bisa disebut kemudian dengan praktik beragama yang intoleran. 

Tentu, fenomena semacam ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang hubungan antara dimensi ritual dan sosial dalam beragama. Mengapa praktik spiritual yang semestinya membentuk pribadi yang penuh kasih dan toleran justru berujung pada eksklusivitas? Apakah ini disebabkan oleh pemahaman agama yang sempit, pengaruh budaya, atau bahkan tantangan modernitas yang mereduksi agama menjadi identitas formal semata?  

Rasionalitas Beragama

Salah satu penyebab munculnya sikap intoleran adalah absennya sikap rasional dan kritis dalam mencerna ajaran agama. Berulang kali Nabi saw mendalilkan “agama itu nalar, tidak ada agama bagi yang tidak bernalar” (ad-dinu aqlun, la dina liman la ‘aqla lah). Berpikir rasional-kritis dalam beragama bukan sekadar anjuran, melainkan suatu kewajiban. 

Bagi umat beragama semestinya tidak hanya menggunakan satu perspektif dalam membaca dan memahami suatu teks suci. Melainkan ada banyak perspektif yang dapat digunakan sehingga tidak melahirkan truth claim (klaim tunggal atas kebenaran). Problem mendasar dari munculnya intoleransi, ekstremisme, misalnya, adalah problem dalam memahami cita-cita teks agama. Problem memahami tersebut tidak lain disebabkan absennya pendayagunaan akal dalam beragama. Dasar dari semua pemahaman keberagamaan berikut aliran-alirannya yang berkembang itu sama, yakni al-Qur’an dan hadits. Namun, pemahaman mereka terhadap dua teks itu berbeda-beda, bergantung pada metode dan pendekatan yang dipakai. Agar kesimpulan yang didapatkan lebih mendekati kebenaran dan relatif sejalan dengan yang dimaksud oleh kedua teks tersebut.

Baca Juga  Simone de Beauvoir: Lingkungan Juga Musuh Gerakan Feminisme

Menangkal Beragama yang Intoleran

Dalam konteks ini, tentu saja, pemahaman manusia terhadap agama memililki pengaruh penting dalam mengejawantahkan sikap dan perilakunya di ruang publik. Tidak dapat dipungkiri, konstruksi pemahaman keagamaan juga berkelindan dengan pilihan ideologis penganut umat beragama. Di Indonesia, misalnya, konstruksi pemahaman keagamaan ini begitu variatif. Setidaknya ada dua sikap dalam memahami agama yakni eksklusif dan inklusif. Dua sikap ini membawa pengaruh yang berarti dalam bagaimana mendudukkan agama dalam konteks kehidupan konkret.

Oleh karena itu, agama dalam hal ini perlu didekati secara rasional. Tuhan tidak mungkin menurunkan suatu agama tanpa dibarengi rasionalitas yang dapat dicerna oleh manusia. Kepentingan agama sesungguhnya tidak melulu soal penyembahan vertikal, melainkan pengabdian horizontal-sosial terhadap sesama. Alquran, misalnya, dalam ayat-ayatnya banyak mengampanyekan sekaligus mendorong manusia untuk mendayagunakan akal guna merenungi tanda-tanda kebesaran Tuhan. Ungkapan seperti afala ta’qilun (apakah kalian tidak berpikir), afala tatafakkarun (apakah kalian tidak merenungi), afala tubshirun (apakah kalian tidak memperhatikan). Sering kali muncul sebagai ajakan bagi umat manusia untuk lebih menggunakan akal sehatnya dalam memahami ajaran agama dan fenomena kehidupan. Dengan begitu beragama intoleran dapat diantisipasi akan terjadi.

Rethinking Revelation

Fenomena konflik, kekerasan, ekstremisme, dan pertikaian atas nama dan antar agama masih menghantui kehidupan manusia. Tentu saja, fenomena tersebut tidak dapat ditarik relevansinya dengan sisi normatif agama-agama. Karena yang demikian merupakan buah dari hegemoni tafsir kebencian belaka yang “dikembangkan” di masing-masing peradaban agama. 

Satu kata yang harus diucapkan adalah agama tidak mengajarkan kebencian. Di dalam ajaran agama manapun, teks suci tidak pernah melegitimasi perilaku saling membenci, intoleran, ekstrem, dan kawan-kawannya. Terlebih perintah saling bertikai dan menumpahkan darah satu sama lain. Sebab jika umat beragama mau – meminjam istilah Masdar Hilmy – memikirkan kembali (rethinking revelation) relevansi ajaran agama masing-masing. Dalam konteks kehidupannya, maka elemen inti setiap agama pada hakikatnya selalu mengajarkan keselamatan (salvation), kedamaian dan perdamaian (salam) dan berbagi kasih antar sesama (rahman-rahim, philanthropy). 

Baca Juga  Jangan Mengkritik Cadar, Bijaklah Sedikit!

Watak dasar agama sesungguhnya amat humanistik. Dalam arti, agama sangat memanusiakan manusia. Namun, belakangan ini, watak dasar agama – dalam amatan Masdar Hilmy – juga bisa diselewengkan dengan hadirnya klaim kebenaran (truth claim) sepihak yang muncul baik secara eksternal maupun internal.

Munculnya Klaim Kebenaran

Pertanyaannya adalah apa yang melatarbelakangi munculnya klaim kebenaran? Satu analisis yang dapat diketengahkan adalah tiada ruang yang cukup untuk membongkar tafsir kebencian agama melalui rethinking revelation dalam tradisi Islam. Sebenarnya hal ini bukanlah hal baru, sebab sudah banyak dilakukan oleh sejumlah dekonstruksionis muslim seperti Fazlur Rahman, Arkoun, Al-Jabiri, Farid Esack, Syahrur, Cak Nur, Buya Syafi’I, dan seterusnya. Pada kenyataannya, gaung intelektual muslim tersebut belum mampu mendekonstruksi hegemoni tafsir kebencian agama di kalangan umat Islam, sebagian disebabkan trauma sejarah dan sindrom psikologis yang berkepanjangan pasca kemunduran Islam, perang Salib, dan imperialisme Barat.

Memang terdapat sejumlah ayat-ayat Quran yang sepintas menjadi pangkal lahirnya kebencian di antara agama Ibrahimi (Yahudi, Nasrani, Islam). Namun tidak dapat dipungkiri, sejumlah ayat tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks sebab turunnya (asbabun nuzul) sekaligus konteks ruang dan waktu. Artinya, kemunculan ayat tersebut tidak berada dalam ruang hampa. Ia memiliki konteks sosiologis di masanya, yang tentu berbeda dengan realitas sekarang. Dalam hal ini, teori gerak ganda (double movement) yang ditawarkan Fazlur Rahman sangat membantu kita dalam menafsirkan Alquran. 

Jelaslah bahwa Alquran memiliki dimensi “kekinian” dan “kedisinian” yang sangat kuat dalam setiap rentang sejarah umat Islam. Ayat-ayat yang sering dirujuk sebagai “amunisi” kebencian yang kemudian melahirkan intoleran pada dasarnya tidak berada dalam bingkai nalar destruktif yakni untik menghabisi eksistensi agama di luar Islam beserta penganutnya. Dalam konteks inilah, memikirkan kembali konteks pewahyuan (rethinking revelation) menjadi penting guna menghindari munculnya klaim kebenaran tunggal berikut hegemoni tafsir kebencian demi memperadabkan peradaban umat manusia itu sendiri. Dengan demikian, praktik beragama yang intoleran dapat dibendung laju pertumbuhannya.

Baca Juga  Indonesia itu Humanisme Religius atau Humanisme Sekuler?

Editor: Assalimi

Avatar
33 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds