Perspektif

Simone de Beauvoir: Lingkungan Juga Musuh Gerakan Feminisme

3 Mins read

Dewasa ini, berbagai wacana mengenai gerakan feminisme terbilang sudah sangat marak. Kita bisa lihat dan pantau sendiri lewat internet, atau sosial media. Terdapat juga platform-platform yang secara khusus menyebarkan ide-ide dan pandangan-pandangan dari gerakan feminisme, hingga membuat wacana dari gerakan ini semakin ramai tersebar, dan murah untuk diakses.

Akan tetapi di lain sisi, keramaian dari gerakan feminisme ini juga turut menimbulkan semacam efek samping, atau (katakanlah) menemukan antitesisnya sendiri; yang tak jarang bertransformasi menjadi pembenci ide, pandangan, serta gagasan yang diperjuangkan oleh kawan-kawan (yang mendaku diri) feminis.

Hal sedemikian itu barangkali terjadi karena kekeliruan atas gagasan yang dibawa dan disampaikan oleh para feminisme. Feminisme sendiri adalah gerakan/movement yang memuat spirit egaliterianisme di dalam gerakannya. Pada intinya, feminisme adalah keyakinan penuh bahwa perempuan itu setara dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik (At its core, feminism is the belief in full social, economic, and political equality for women) (Burkett, 2023)

Gerakan Feminisme

Seperti yang telah disebutkan di atas, feminisme adalah gerakan yang meyakini secara penuh bahwa perempuan itu setara dalam berbagai aspek kehidupan. Tak dapat dipungkiri bahwa movement ini telah memberi dampak besar untuk kesejahteraan perempuan.

Upaya perempuan (feminis-feminis sebelumnya) dalam perjuangan-perjuangannya telah menyelamatkan banyak perempuan hingga mendapatkan apa yang semestinya mereka dapatkan. Laki-laki adalah biang dari ketertindasan yang dialami oleh perempuan. Tak terbantahkan, hal demikian benar adanya.

Karena hal tersebut, pada tatanan praktik para feminis kerap melihat laki-laki sebagai musuh dalam zona perjuangannya. Padahal bila kita layangkan pandangan nan jauh, lalu kita tukikkan pandangan nan dekat, “musuh” yang membuat ketidaksetaraan/ketertindasan itu secara terus-menerus eksis bukanlah laki-laki seluruhnya. Bahkan perempuan sendiri bisa saja menjadi sebab mandegnya perjuangan dari para feminis, sehingga ketidaksetaraan kian sukar dimusnahkan.

Baca Juga  Ekofeminisme: Perempuan dan Lingkungan Menurut Vandana Shiva

Lantas bagaimana agar apa yang diperjuangkan oleh kawan-kawan feminis tidak menyasar ke pihak “musuh” yang keliru, supaya para laki-laki tidak alih-alih dijadikan “musuh,” malah dapat menjadi rekan untuk sama-sama berjuang melawan apa yang sejatinya memanglah musuh bersama, bukan salah satu pihak saja (perempuan atau laki-laki).

Pada tulisan ini saya akan coba merentangkan jawabannya, siapa sebenarnya “musuh” itu, yang akan banyak mengadopsi pemikiran dari seorang feminis dan filsuf-eksistensialis terkenal; Simone de Beauvoir.

Sekilas Tentang Simone de Beauvoir

Simone Lucie Ernestine Marie Bertrand de Beauvoir adalah seorang filsuf berkebangsaan Prancis yang banyak melibatkan diri pada isu-isu feminisme dan eksistensialisme. Ia dilahirkan pada 9 Januari 1908 di Paris pada pukul empat pagi. Bukunnya Le Deuxième Sexe yang terbit pada 1949 telah menjadi rujukan bagi para feminis seluruh dunia. Beauvoir menjadi ikon feminis, ia juga akrab dipredikatkan sebagai feminis-eksistensialis. Teorinya pun disebut sebagai feminism-eksistensialis. (Lianawati, 2021)

Bagi para penikmat kajian filsafat eksistensialisme, nama Simone de Beauvoir kerap dipersandingkan dengan seorang filsuf-eksistensialis lain Jean-Paul Sartre. Beauvoir dan Sartre memiliki hubungan yang sangat dekat, baik sebagai rekan romantik, maupun rekan beradu pikiran bersama. Pemikiran keduanya juga relatif tak jauh berbeda, yakni membicarakan eksistensi manusia.

Beauvoir meninggal pada 15 April 1986, enam tahun setelah meninggalnya Sartre. Ia dimakamkan bersebalahan dengan makam Sartre. Sekitar puluhan ribu orang ikut hadir untuk memberikan penghormatan terakhir dalam upacara pemakamannya di Kuburan Montparnasse. (Lianawati, 2021)

Subjek yang Terkondisikan

Berlainan dengan Sartre yang mengatakan bahwa subjek/individu adalah selalu merupakan makna dari suatu situasi, bahkan jika faktisitasnya (fakta-fakta yang mengitarinya) di luar pilihan dari si subjek/individu. Sedangkan menurut Beauvoir, suatu situasi dapat menjadi kondisi yang menentukan pemaknaan pada diri subjek/individu, bahkan situasi yang melingkungi seorang individu dapat menembus subjektivitas pada titik diri tengah berefleksi, dan dengan demikian kebebasan seorang individu tidak lagi dapat dimungkinkan. (Kruks, 1992)

Baca Juga  Remaja di Barat Alami Krisis Identitas, Apa Penyebabnya?

Setiap subjek/individu, laki-laki maupun perempuan, hidup dan tumbuh dewasa dalam suatu situasi lingkungan tertentu. Bagi Beauvoir, kondisi dari situasi-lingkungan itu dapat memengaruhi subjektivitasnya.

Keterpengaruhan itu disebut juga oleh Beauvoir sebagai historical/factical situation, yaitu kondisi lingkungan (atau secara lebih umum; dunia) yang terlebih dahulu diimbuhi oleh makna orang-orang yang hidup sebelumnya di lingkungan tersebut. Kondisi lingkungan tersebut memuat kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan symbolic systems. (Morgan, 2008)

Subjek/individu lantas kemudian mau tidak mau perlu untuk menyingkap kondisi-kondisi yang telah bertaburan di hadapannya melalui kesadaran. Akan tetapi, tidak semua subjek/individu mafhum dengan factical situation ini.

Siapakah “Musuh” Feminisme?

Saya selalu senang mengikuti perbincangan yang bertemakan feminisme, dan dalam beberapa perbincangan yang saya ikuti, saya kerap menemukan narasi yang meletakkan laki-laki dan perempuan ke dalam kotak yang berbeda untuk saling diperbenturkan. Saya sebut kenyataan serupa itu sebagai dichotomic phenomenon.

Dalam dichotomic phenomenon ini, laki-laki melulu diposisikan sebagai pihak yang menindas, dan perempuan sebagai pihak yang ditindas. Bila kita telaah lebih lanjut, perempuan dan laki-laki sebagai subjek/individu adalah sama-sama merupakan korban yang secara tidak sadar “ditindas” oleh factical situation-nya masing-masing.

Begini, perlu diketahui bahwa suatu subjek/individu itu tidak dapat memilih di mana ia akan dilahirkan, atau di situasi-lingkungan seperti apa ia mau dibesarkan. Situasi di luar kuasa tersebut kemudian memengaruhi subjek/individu sedari ia kecil (atau sebelum baligh, dalam Islam).  

Pandangan yang memposisikan perempuan dan laki-laki selayaknya pion yang mesti saling dibenturkan harus dimusnahkan, karena hanya akan menimbulkan perbincangan yang kontra-produktif. Sekarang ini, perempuan dan laki-laki sebagai subjek/individu adalah hasil dari pengaruh kondisi situasi-lingkungan tertentu.

Baca Juga  Kemerdekaan Istri dan Nilai Seks: Jawaban untuk Argumen PSK

Supaya tidak terus terperangkap dalam keterpengaruhan itu, kita mesti menyingkapnya, sekaligus memberikan makna/proyek lain kepadanya (situasi-lingkungan). Selama situasi-lingkungan tidak berubah, maka ia akan terus memproduksi orang-orang yang secorak dengannya (situasi-lingkungan). Dan sudah semestinya perempuan dan laki-laki berkolaborasi untuk mengubahnya.

Konklusi

Sudah seeloknya suatu perjuangan yang menggebu-gebu dan penuh gelora itu dikekerkan ke target yang tepat, supaya energi yang dikuras dari perjuangan itu tidak jadi abu, sia-sia belaka. Menurut hemat saya, ketimbang saling membenturkan, baiknya kita sadar bahwa kita adalah bentukan dari kondisi situasi-lingkungan. Dengan begitu akan tumbuh rasa ketersalingan, dan kesadaran kolaboratif untuk sama-sama mengubah situasi-lingkungan yang memang seharusnya sudah perlu diubah.

Editor: Soleh

Avatar
2 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *