Dalam sejarah pemikiran Islam kontemporer, banyak cendekiawan yang berusaha mengkritik dan menggeser dominasi Barat di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, hingga sosial-budaya. Tokoh-tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr, Muhammad Iqbal, dan lain-lain, dengan lantang menentang pandangan-pandangan Barat yang mereka nilai reduktif, materialistik, dan kurang spiritual.
Namun, di balik berbagai upaya dan gagasan besar tersebut, fakta menunjukkan bahwa usaha mereka belum berhasil. Mengapa?
1. Kritik Tanpa Bukti Nyata yang Kuat
Salah satu alasan mengapa pemikiran para cendekiawan Muslim seperti Nasr dan Iqbal tidak mampu mendobrak dominasi Barat adalah karena mereka seringkali tidak dapat menunjukkan bukti konkret dan faktual atas kritik-kritik mereka.
Mereka menyebut bahwa Barat memiliki pendekatan yang reduktif dalam ilmu pengetahuan, memisahkan spiritualitas dari sains, dan terlalu menekankan materialisme. Namun, kenyataannya, tradisi akademik Barat justru menghasilkan kemajuan-kemajuan yang bermanfaat untuk umat manusia secara global.
Misalnya, inovasi dalam kedokteran, teknologi, dan sains, yang sebagian besar muncul dari universitas-universitas dan lembaga penelitian di Barat, sangat berkontribusi bagi kehidupan manusia sehari-hari.
Sementara itu, dunia Islam seringkali gagal menunjukkan hasil nyata yang bisa dibandingkan dengan kemajuan Barat. Misalnya, meski banyak intelektual Muslim yang mengkritik metode ilmiah Barat, hingga saat ini belum ada bukti kuat bahwa metode alternatif yang diusulkan bisa mengungguli atau menyamai keakuratan dan dampak positif dari metode yang digunakan di Barat.
Akibatnya, kritik mereka seringkali dianggap sebagai sekadar “omong kosong” tanpa dukungan dari hasil penelitian atau bukti-bukti nyata yang mampu menggeser kredibilitas akademik Barat.
2. Kritik Terhadap Nilai-Nilai Barat yang Justru Tidak Relevan
Para cendekiawan Muslim kerap menganggap masyarakat Barat sebagai masyarakat yang “miskin spiritual.” Mereka menyampaikan pandangan bahwa kehidupan Barat terlalu kering akan nilai-nilai rohani dan hanya fokus pada materialisme. Namun, fakta berbicara sebaliknya. Banyak negara-negara Barat yang memiliki tingkat kesejahteraan tinggi, kebersihan lingkungan yang terjaga, sistem pendidikan yang mapan, serta tingkat kriminalitas yang rendah.
Negara-negara seperti Swedia, Norwegia, dan Kanada sering menempati posisi teratas dalam indeks kebahagiaan dan kedamaian dunia, menunjukkan kualitas hidup yang relatif nyaman dan damai.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa argumen “kemiskinan spiritual” Barat terasa tidak relevan, karena masyarakat Barat justru berhasil mencapai kesejahteraan yang tinggi tanpa terlalu menonjolkan spiritualitas dalam kehidupan publik mereka.
Di sisi lain, beberapa negara di dunia Islam justru dihadapkan pada berbagai masalah sosial seperti korupsi, konflik internal, dan kesenjangan sosial yang tinggi. Dengan kondisi seperti ini, sulit bagi dunia luar untuk melihat dunia Islam sebagai alternatif yang lebih baik daripada Barat.
3. Tidak Adanya Model Alternatif yang Jelas
Jika cendekiawan Muslim ingin menggantikan dominasi Barat, maka idealnya mereka menyediakan model alternatif yang lebih baik dan lebih unggul. Namun, realitas menunjukkan bahwa belum ada sistem yang dikembangkan oleh dunia Islam yang bisa memberikan kenyamanan, kemajuan, dan kesejahteraan seperti yang dimiliki Barat.
Misalnya, pada bidang pendidikan dan penelitian, lembaga-lembaga Islam masih tertinggal jauh dibandingkan universitas-universitas besar di Barat. Demikian pula dalam hal sistem pemerintahan dan ekonomi, belum ada sistem yang benar-benar terbukti memberikan stabilitas, kemajuan, serta keadilan sosial sebagaimana yang diinginkan.
Dengan tidak adanya alternatif yang jelas dan teruji, banyak orang di dunia, termasuk masyarakat di negara-negara Muslim sendiri, tetap melihat Barat sebagai standar kemajuan dan kesejahteraan. Kritik-kritik terhadap Barat pun seolah hanya menjadi suara sumbang tanpa bisa memberikan solusi yang konkret bagi masalah-masalah yang ada.
4. Ketimpangan Internal di Dunia Islam Sendiri
Selain itu, dunia Islam seringkali menghadapi ketimpangan internal yang membuat suara-suara kritis terhadap Barat terasa kontradiktif. Di berbagai negara Muslim, masalah-masalah seperti korupsi, kemiskinan, konflik sektarian, hingga penindasan terhadap kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia masih menjadi isu utama. Ketika masyarakat Muslim dihadapkan pada kondisi yang penuh dengan masalah seperti ini, sulit bagi mereka untuk mendukung ide bahwa dunia Islam memiliki potensi yang lebih unggul daripada Barat.
Selain itu, ketidakstabilan politik dan ekonomi di beberapa negara Islam juga menghambat kemajuan intelektual dan ilmiah, membuat masyarakat sulit percaya bahwa dunia Islam bisa benar-benar menjadi teladan yang lebih baik. Ketika negara-negara Muslim sendiri tidak bisa membuktikan diri sebagai tempat yang aman, makmur, dan damai bagi warganya, kritik terhadap Barat menjadi tidak berarti karena tidak disertai dengan solusi internal yang bisa diteladani.
5. Menyalahkan Barat, Alih-Alih Fokus Memperbaiki Diri
Terakhir, kegagalan ini juga terjadi karena sebagian cendekiawan Muslim lebih fokus pada menyalahkan Barat daripada memperbaiki masalah internal di dunia Islam. Sering kali, masalah-masalah dalam masyarakat Muslim dikaitkan dengan “pengaruh Barat” atau “penjajahan budaya,” padahal banyak dari masalah tersebut yang sebenarnya bersumber dari ketidakmampuan dunia Islam sendiri dalam mengelola negara, sistem pendidikan, dan ekonomi yang berkelanjutan.
Sikap menyalahkan pihak luar ini justru memperlemah posisi para cendekiawan Muslim, karena masyarakat dunia cenderung lebih tertarik pada ide-ide yang solutif dan dapat diaplikasikan daripada sekadar kritik tanpa dasar perbaikan. Jika saja dunia Islam dapat menunjukkan bukti konkret atas kemajuan mereka, masyarakat dunia akan lebih mudah menerima gagasan dan sistem yang ditawarkan.
Pada akhirnya, kegagalan para pemikir Muslim dalam mendobrak dominasi Barat lebih disebabkan oleh kelemahan internal daripada kekuatan eksternal. Kritik mereka terhadap Barat, meski ada benarnya, tidak dibarengi dengan bukti nyata yang menunjukkan bahwa sistem atau pandangan Islam lebih unggul. Selama dunia Islam belum mampu menunjukkan kemajuan yang nyata dalam berbagai bidang, sulit bagi masyarakat internasional untuk memandang dunia Islam sebagai teladan.
Sebaliknya, alih-alih hanya mengkritik Barat, upaya perbaikan yang dimulai dari dalam, melalui pembangunan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pemberantasan korupsi, akan lebih efektif dalam meningkatkan posisi dunia Islam di mata dunia. Ketika dunia Islam benar-benar dapat menunjukkan keberhasilan yang dapat dirasakan oleh masyarakatnya, barulah dunia akan melihatnya sebagai sebuah alternatif yang layak, bukan hanya sekadar retorika.
Editor: Soleh