Opini

K.H. Masthuro: Harmonisasi Tradisi Islam dan Kearifan Lokal Sunda

2 Mins read

Lahirnya Islam yang ramah, damai, toleran, dan terbuka di Indonesia tidak terlepas dari peran para penyebar Islam, mulai dari ulama, kyai, hingga kaum santri. Kepiawaian mereka dalam menghadirkan ajaran Islam yang selaras dengan karakter khas Nusantara menjadi bukti nyata bahwa penyebaran Islam dilakukan melalui pendekatan kemanusiaan. Termasuk dalam hal ini dilakukan salah satu ulama kharismatik bernama K.H. Muhammad Masthuro.

Para ulama memainkan peran penting dalam menjaga keberlangsungan negara dengan menyelaraskan dakwah mereka dengan kearifan lokal—yakni tata nilai dan moralitas yang dihormati dalam suatu komunitas. Di Sukabumi, pendekatan dakwah dilakukan melalui jalur sosio-kultural-religius, mencakup penanaman konsep-konsep utama dalam Islam hingga hal-hal yang bersifat praktis. Contohnya, penggunaan istilah “Gusti Anu Maha Agung” sebagai bahasa lokal untuk menyebut Allah Swt.

Pendekatan inilah yang dijalankan oleh K.H. Muhammad Masthuro dalam dakwahnya, melalui pitutur, wasiat, atau pikukuh yang ia sampaikan kepada keluarga, santri, dan masyarakat di Sukabumi.

Biografi K.H. Muhammad Masthuro

K.H. Muhammad Masthuro lahir pada tahun 1901 di Kampung Cikaroya. Ia adalah putra dari Amsol, yang dikenal juga dengan nama samaran “Uha”, digunakan untuk menghindari kejaran penjajah Belanda. Amsol merupakan keturunan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), dengan silsilah yang dapat ditelusuri hingga Panembahan Ratu dan Sunan Gunung Jati.

Ayahnya adalah seorang amil desa yang bertugas mengurus urusan keagamaan. Ia melarikan diri dari Kuningan ke Bogor karena menolak tunduk pada pemerintahan kolonial dan kemudian menikah dengan Ibu Eswi dari Cimande, Bogor. Dari pernikahan tersebut lahirlah K.H. Muhammad Masthuro.

Sebagai seorang pendidik, K.H. Masthuro dikenal karena kecerdasan, kesabaran, dan ketelitiannya dalam mengajarkan ilmu agama kepada anak-anak dan santrinya. Ia mendirikan Pondok Pesantren Al-Masthuriyah pada tahun 1920, yang berlandaskan prinsip: “Mempertahankan nilai lama yang baik, dan menggali nilai baru yang lebih baik.”

Baca Juga  Safari Ramadhan MUI dan BAZNAS: Ramadhan Bersama Palestina, Ramadhan Membasuh Luka Palestina

Wejangan Enam Wasiat (Washaya Sittah)

Menjelang akhir hayatnya, K.H. Masthuro mewariskan pemikiran dalam bentuk pitutur atau nasihat, yang dikenal dengan nama Washaya Sittah (enam wasiat). Pitutur adalah tradisi lisan yang telah mengakar dalam budaya Sunda, dan dalam hal ini, mewakili pertemuan antara kearifan lokal dan nilai-nilai Islam. Wasiat tersebut dalam bahasa Sunda berbunyi:

“Kudu ngahiji dina ngamajukeun pasantren, madrasah, ulah pagirang-girang tampian. Ulah hasud ka batur. Kudu nutupan kaaeban batur. Kudu silih pikanyaah. Kudu boga karep sarerea hayang mere. Kudu mapay thorekat anu geus dijalankeun ku Abah.”

Terjemahannya: “Harus bersatu dalam memajukan pesantren dan madrasah. Jangan saling berebut menjadi pemimpin. Jangan dengki kepada orang lain. Harus menutupi kesalahan orang lain. Harus saling menyayangi. Harus memiliki tekad untuk memberi. Harus mengikuti tarekat yang telah ditempuh oleh Abah.”

Wasiat tersebut mencerminkan nilai-nilai kesundaan dan tasawuf secara bersamaan. Wasiat kedua, misalnya, adalah elaborasi dari nilai-nilai tradisional seperti “akur salembur, akur jeung batur, some’ah ka semah, silih asah, silih asih, jeung silih asuh”—yang menekankan hidup harmonis dan saling menyayangi.

Tiga Ruang Lingkup Wasiat K.H. Masthuro

K.H. Masthuro menyampaikan Washaya Sittah dalam bahasa Sunda sebagai strategi dakwah kultural, dengan cakupan pada tiga ranah:

  1. Pendidikan: Menurutnya, “kudu diajar saumur hirup” (harus belajar seumur hidup), dan “sing asak-asak nenjo bisi kaduhung jagana” (berpikir matang agar tidak menyesal di kemudian hari). Ia juga mengajarkan pentingnya adaptasi terhadap perkembangan zaman.
  2. Sosial-Kemasyarakatan: Ia menekankan pentingnya menjauhi dengki (ulah hasud ka batur), kesombongan, serta membangun kerukunan sosial melalui prinsip seperti sareundeug saigel sapihandeun (hidup selaras), silih rojong (saling membantu), dan ulah ngawaru su siku (tidak serakah).
  3. Tasawuf: Ia berpesan agar selektif dalam menerima segala sesuatu dan tidak dikendalikan oleh hawa nafsu serta ego. Sikap ini merupakan aktualisasi maqam zuhud dan syukur, sebagaimana dijelaskan oleh Dzun Nun al-Misri bahwa zuhud mencakup rasa cukup yang disertai kesabaran, sedangkan syukur berarti kesadaran penuh atas karunia Allah.
Baca Juga  Rasyid Ridha, Jalan Sunyi Sang Pena Peradaban dari Timur

Biodata Buku
Judul: Washaya Sittah K.H. Muhammad Masthuro dalam Pembentukan Islam Lokal di Sukabumi Jawa Barat
Penulis: Abdul Jawad
Penerbit: Jejak Publisher
Tahun Terbit: 2018
Jumlah Halaman: 183 hlm
ISBN: 978-602-5675-36-2

Editor: Assalimi

Dimas Sigit Cahyokusumo
23 posts

About author
Alumni Pascasarjana Studi Perdamaian & Resolusi Konflik UGM
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *