Tahun ajaran baru 2025/2026 diproyeksikan sebagai titik awal sejumlah perubahan strategis dalam sistem pendidikan nasional. Di bawah komando Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, sedikitnya lima kebijakan baru siap diterapkan sebagai bagian dari langkah reformasi yang menyasar efektivitas dan relevansi pendidikan menengah. Salah satu kebijakan yang langsung menyita perhatian publik adalah wacana menghidupkan kembali sistem penjurusan di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Kebijakan ini mengindikasikan perubahan arah dari pendekatan Kurikulum Merdeka. Yang sebelumnya menekankan fleksibilitas dan pilihan personal siswa dalam menentukan mata pelajaran sesuai minat dan bakat mereka.
Gagasan penjurusan kembali menghadirkan diskursus publik yang cukup kompleks. Di satu sisi, sistem penjurusan dinilai mampu mengarahkan siswa pada peminatan yang lebih terstruktur. Khususnya dalam menyiapkan jenjang pendidikan tinggi atau dunia kerja. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga menuai kritik karena berpotensi membatasi eksplorasi siswa serta menghidupkan kembali stigma superioritas jurusan tertentu seperti IPA dibandingkan IPS atau Bahasa.
Dalam konteks ini, tantangan ke depan bagi pemerintah adalah bagaimana mengimplementasikan penjurusan dengan pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif. Sehingga tidak hanya mempertimbangkan kecenderungan akademik. Tetapi juga potensi individual serta kebutuhan sosial yang lebih luas.
Solusi atau Tantangan Baru?
Wacana ini muncul di tengah masa transisi kebijakan, mengingat sistem penjurusan sebelumnya baru saja dihapus melalui Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Penghapusan ini merupakan bagian dari penerapan Kurikulum Merdeka yang bertujuan memberi keleluasaan bagi siswa dalam memilih mata pelajaran sesuai minat dan rencana studi lanjut mereka. Selain itu, langkah ini juga diharapkan dapat mengikis stigma superioritas jurusan tertentu. Terutama dominasi IPA atas IPS dan Bahasa—yang kerap menimbulkan tekanan pada siswa dan orang tua.
Namun, idealisme tanpa kesiapan membawa konsekuensi. Dalam praktiknya, penghapusan jurusan justru memunculkan berbagai masalah baru. Ketimpangan minat pelajaran di kalangan siswa menyebabkan beban kerja guru tidak merata—ada yang kekurangan jam mengajar, ada yang kewalahan. Tak hanya itu, kebebasan memilih pelajaran bagi remaja usia SMA—yang masih dalam fase pencarian jati diri—berisiko menjerumuskan mereka dalam kebingungan yang mengasyikkan tapi tak produktif.
Tantangan Penghapusan Sistem Penjurusan dalam Praktik
Doni Koesoema, pemerhati pendidikan, mengingatkan bahwa kondisi ini justru dapat melahirkan generasi “manja akademik”—yang hanya belajar apa yang disukai tanpa benar-benar memperdalam pengetahuan. Keluhan serupa datang dari siswa bernama Ryu di Jakarta yang mengaku terlalu santai karena pelajaran P5 justru menyita banyak waktu, membuatnya merasa seperti tidak sedang belajar sama sekali.
Sistem evaluasi yang longgar dan minim arahan juga memperparah persoalan. Heriyanto, praktisi pendidikan (Kompas, 14/4/2025), mencontohkan bagaimana siswa yang semula ingin masuk jurusan kedokteran dapat memilih menghindari fisika. Namun kemudian berubah pikiran ingin masuk jurusan teknik—tanpa fondasi keilmuan yang memadai karena sebelumnya melewatkan pelajaran penting.
Dalam konteks inilah, gagasan menghidupkan kembali sistem penjurusan menjadi relevan. Abdul Mu’ti menyampaikan rencana ini dalam forum halalbihalal pada 11 April lalu. Selain mendukung pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti ujian nasional, penjurusan juga dimaksudkan untuk memulihkan keteraturan dalam sistem pendidikan kita.
Penjurusan sebagai Solusi untuk Keteraturan dan Pengarahan Siswa
Lebih dari sekadar alat seleksi masuk perguruan tinggi, penjurusan dapat menjadi kerangka struktural yang menopang keberlanjutan lintas jenjang pendidikan. Ia memberi arah yang jelas bagi siswa, memudahkan manajemen pembelajaran, dan mengoptimalkan peran guru.
Paulo Freire dalam Teachers as Cultural Workers, sebagaimana dikutip Waliyadin (2022), menekankan bahwa kebebasan dalam pendidikan tetap memerlukan struktur agar tidak terjebak dalam kekacauan tanpa arah. Dengan penjurusan, minat dan bakat siswa dapat diarahkan secara lebih sistematis dan proporsional.
Namun demikian, penting untuk memastikan agar kebijakan ini tidak menjadi ajang kebangkitan kembali praktik favoritisme dan kastanisasi jurusan. Regulasi yang akan dirancang, baik dalam bentuk Permen maupun model lainnya, harus menjamin inklusivitas dan keadilan bagi seluruh siswa. Jangan sampai sistem yang bertujuan memperbaiki justru mengabadikan diskriminasi baru dalam wajah lama.
Semoga kebijakan ini menjadi langkah untuk menghadirkan keteraturan dan keberlanjutan yang lebih baik dalam pendidikan kita.
Editor: Assalimi
Thank for Information
Greeting:
Telkom University