Opini

Siapa yang Bisa Menyelamatkan Palestina?

3 Mins read

Dari London, jam 11 malam saya mendarat di bandara Jeddah, tak jauh dari Laut Merah. Laut Merah menjadi salah satu jalur perdagangan yang paling sibuk. Melewati Terusan Suez di Mesir hingga Bab al-Mandab di Yaman.

Di ujung utara, laut itu bercabang jadi dua. Yang Barat ke Mesir, yang timur ke Teluk Aqaba. Anda pasti tidak asing dengan kata Aqaba. Itu kalau Anda pernah nonton film Lawrence of Arabia. Lawrence bersama Pangeran Faisal merebut Aqaba dari Ottoman.

Film ini memang bercerita tentang permberontakan Arab terhadap Utsmani. Saat Perang Dunia I, Inggris berjanji memberikan seluruh kawasan Arab kepada Raja Husein. Raja Hussein saat itu merupakan penguasa kota suci Makkah. Nama lengkapnya Hussein bin Ali al-Hashimi. Syaratnya 1: mereka harus membantu Inggris menyerang bos besarnya di Istanbul.

Raja Hussein saling bertukar surat dengan McMahon, seorang pejabat tinggi Inggris. Surat ini mengandung misteri yang besar. Sangat besar. Yaitu apakah wilayah Palestina termasuk ke dalam wilayah yang dijanjikan Inggris untuk Raja Hussein. Itu masih menjadi perdebatan sejarawan sampai sekarang.

Yang jelas, di tahun 1916, Inggris menghianati janjinya terhadap Raja Hussein. Mereka membagi-bagi wilayah Arab dan menguasainya sendiri bersama Prancis. Lalu Palestina diserahkan pada “international administration”. Apa yang dimaksud dengan “international administration” ini juga tidak jelas.

Satu tahun kemudian, Inggris kembali mblenjani janji. Seorang pejabat tinggi urusan luar negeri, Balfour mengirim surat pada Lord Rotschild, petinggi zionisme. Isi suratnya adalah Inggris akan memberikan Palestina untuk Yahudi. “A national home for Jewish people,” kata surat itu.

Di tahun 1920, kekuasaan Inggris atas Palestina sudah lengkap. Inggris dapat mandat resmi dari Liga Bangsa untuk menguasai Palestina. Eh, bukan menguasai. Sebenarnya fungsi mandat adalah agar negara yang diberi mandat membantu negara di bawah mandatnya untuk merdeka. Maka Inggris diberi wewenang atas Palestina untuk membantu Palestina merdeka. Alih-alih membantu mendirikan negara Palestina, Inggris justru menyiapkan pondasi bagi berdirinya negara zionisme.

Baca Juga  Cerpen: Rumah Mukidi Dijarah Para Koruptor

Seandainya Inggris menepati janji, mungkin Palestina sekarang akan berada di bawah kekuasaan Makkah. Tapi toh berandai-andai itu dilarang agama. Selain itu, kekuatan Makkah juga dinamis. Tak lama setelah memberontak terhadap Utsmani, Hijaz direbut dari Raja Husein oleh keluarga Saud. Yang nanti di tahun 1932 terjadi unifikasi. Penyatuan seluruh wilayah Saudi modern di bawah Raja Abdulaziz ibn Saud.

Lalu siapa yang bisa menyelamatkan Palestina sekarang? Jawabannya sulit ditemukan.

Negara Arab terdekat dengan Palestina adalah Mesir dan Yordania. Mereka punya perbatasan langsung. Mesir dengan Gaza, Yordania dengan Tepi Barat. Tapi, dua negara ini sangat bergantung pada Amerika. Setiap tahun, mereka perlu bantuan dana dan militer. Untuk “sekedar” menopang agar negara tetap berfungsi. Mesir menerima suntikan dana 1,3 miliar USD dari US setiap tahun. Yordania menerima lebih besar, sekitar 1,5 miliar USD.

Praktis, dua negara ini sudah tertawan Amerika. Tertawan Amerika berarti tertawan Israel. Sekali mereka “nakal” terhadap Israel, bos besar Amerika akan mengancam potong bantuan. Selesai.

Negara-negara Arab yang kaya ada di Teluk. Terutama Saudi, Qatar, dan Emirat. Emirat sudah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Tak ada harapan. Qatar memiliki diplomasi yang lincah. Elit-elit Hamas banyak yang tinggal di hotel mewah di Doha. Dengan fasilitas penuh dari Qatar. Kantor Hamas juga ada di kota ini.

Qatar kecil tapi lincah. Gesit. Dekat dengan semuanya. Dekat dengan Hamas sekaligus Israel. Padahal Hamas dan Israel adalah musuh sejak dalam pikiran. Qatar juga dekat dengan Iran sekaligus Amerika. Padahal keduanya juga musuh bebuyutan sejak 1979.

Saudi terlihat bimbang. Penguasa dataran Arab ini adalah loyalis Amerika. Saudi tidak mau konflik Palestina memperburuk hubungan dengan bos besarnya di Washington. Maka Saudi tak pernah serius memperjuangkan Palestina. Malah, negara ini tinggal selangkah menuju normalisasi hubungan dengan Israel. Lalu ada peristiwa 7 Oktober. Normalisasi batal. Eh, entah batal atau hanya diundur.

Baca Juga  Secara Historis, Petani itu Orang Kaya: Membaca Ulang Zakat Pertanian

Yang paling peduli sebenarnya Iran. Tapi Iran dilemahkan. Oleh Amerika dan gengnya. Saudi pun ikut memusuhi Iran. Eh itu dulu. Setelah 2023 sepertinya sudah tidak lagi. Maka ini jadi kabar baik. Saudi sudah normalisasi hubungan dengan Iran. Dimediasi oleh China. Awal tahun 2023 lalu.

Sudah ada beberapa kemajuan. Kedutaan kedua negara dibuka kembali. Duta besar ditunjuk. Penerbangan langsung Saudi-Iran dibuka. Latihan militer bersama digelar. Saudi sudah tak malu-malu membela Iran di forum internasional. Yaitu ketika Israel menyerang Iran tahun lalu.

Skenario yang baik bagi Palestina adalah Saudi semakin dekat dengan Iran. Lalu kekuatan Amerika di kawasan melemah. Digantikan dengan dominasi China. Atau China tak perlu mendominasi. Biarkan negara-negara Timur Tengah menjadi tuan di rumahnya sendiri.

Jika pengaruh Amerika melemah, negara-negara Arab dan Timur Tengah akan lebih independen. Termasuk independen dalam menyelesaikan konflik Palestina. Israel juga akan kehilangan bos besar. Tanpa US, Israel hanya negara kecil yang bisa dilibas kapan saja.

Sebaiknya jangan dilibas. Cukup diusir dari Tepi Barat. Juga diusir dari perbatasan Gaza. Supaya Gaza bisa bernafas. Kawasan itu sudah belasan tahun menjadi penjara. Blokade total dari seluruh penjuru. Termasuk dari perbatasan Rafah di Mesir.

Lalu negara Palestina bisa merdeka. Dengan garis 1967. Dengan dua wilayah utama: Tepi Barat dan Gaza. Tentu Palestina rugi. Tidak bisa merebut kembali seluruh wilayahnya. Tapi, itu sudah cukup. Kawasan lain ikhlaskan saja untuk penjajah. Itung-itung sedekah.

Editor: Soleh

Avatar
124 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *