Opini

Nasionalisme Gaya Baru Saudi

3 Mins read

Pemberhentian saya selanjutnya adalah Al Ula. Tempat ini jadi ikon wisata baru di Saudi. Pengunjungnya banyak turis internasional. Meskipun banyak juga wisatawan lokal. Kawasan ini memang disiapkan untuk menjadi tujuan turis internasional. Setidaknya itu jika dilihat dari berbagai infrastrukturnya.

Saudi memang tengah mengejar berbagai proyek pariwisata. Yang terbesar tentu adalah Neom. Terletak di provinsi Tabuk, sebelah Barat Laut Saudi. Dekat Yordania dan Laut Merah. Dua jam di selatan Petra yang terkenal itu.

Neom dibangun sebagai tempat wisata baru tingkat internasional di atas padang pasir dan gunung tua. Akan ada danau buatan, kota vertikal, dan salju di atas gunung. Salju di tengah gurun? Memang begitulah pemimpin muda Saudi sekarang: MBS. Muda, ambisius, agresif.

Al Ula sendiri sebenarnya sudah sangat hebat. Batu-batu di sana besar sekali. Tingginya mungkin setara gedung 30 lantai. Jumlahnya banyak. Ratusan. Megah dan besar. Maka turis-turis pun berdatangan ke situ. Infrastrukturnya sudah sangat bagus. Sudah ada bandaranya sendiri. Hampir semua staf, pedagang, dan pelayan di sana bisa Bahasa Inggris.

Ketika saya ke sana, sedang ada festival balon udara. Setahun hanya sekali. Juga ada banyak pertunjukan lain. Salah satunya adalah bioskop di Maraya. Bioskop terbuka di bawah langit. Di gedung yang dindingnya penuh dengan kaca. Carilah di Google. Cantik sekali. Eh sekarang Anda sudah jarang mencari di Google. Tapi di TikTok.

Proyek-proyek wisata ini sejalan dengan Vision 2030 Kerajaan Saudi. Di bawah MBS, Saudi serius melakukan diversifikasi ekonomi. Selama ini, mayoritas pendapatan negara ini dari minyak. Menjadikan Saudi negara dengan “tangan di atas”.

Harga minyak naik drastis di tahun 1970an. Setelah populer nasionalisasi minyak yang diawali oleh Gamal Abdul Nassir, orang kuat dari Mesir. Negara-negara Arab mengikuti langkah Mesir. Ingin mengelola minyaknya sendiri. Tanpa campur tangan Barat. Berhasil. Harga minyak dunia naik secara drastis. Lihatlah Qatar dan Emirat sekarang. Doha dan Dubai menjadi sangat maju berkat itu.

Baca Juga  Syaikh Nawawi Al-Bantani: Nasionalisme di Tanah Rantau

Namun Saudi sadar, minyak itu tidak langgeng. Suatu saat akan habis. Maka mereka perlu pemasukan lain. Yang paling nampak adalah dari wisata dan olahraga. Untuk olahraga Anda sudah tau. Saudi mendatangkan bintang dunia Ronaldo. Juga Kante dan Benzema. Juga beberapa pemain tingkat dunia lainnya. Juga menjadi tuan rumah piala dunia tahun 2034. Sebagaimana Qatar tahun 2022.

Tentu banyak orang meragukan Vision 2030. Tapi toh Saudi tidak punya banyak pilihan. Diversifikasi ekonomi harus berhasil. Jika tidak, mereka akan kehilangan pemasukan yang sangat signifikan. Toh kini Saudi masih sangat kaya. Punya cukup uang untuk mendanai proyek-proyek ambisius.

Neom adalah salah satu megaproyek terbesar di dunia. Konon, proyek ini baru akan selesai sekitar 2050. Panjang sekali perjalanannya. Wilayah Neom juga besar sekali. Melebihi Singapura.

Selain fokus ke diversifikasi ekonomi, pemimpin baru Saudi ini tampaknya juga mulai menyingkirkan peran agama. Anda tahu, Saudi dibangun atas perkawinan agama dan politik. Agama diwakili oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Politik diwakili oleh dinasti Saud.

Abdul Wahhab ingin Islam diimplementasikan secara sempurna di masyarakat. Namun ia adalah ulama. Ia tidak punya kekuatan riil. Sementara Dinasti Saud ingin mendapatkan lebih banyak pengikut. Ia perlu legitimasi. Legitimasi terbaik di Tanah Arab adalah agama. Klop. Dua kepentingan bertemu.

Maka muncul kerajaan Saudi dengan paham agama berdasarkan apa yang diajarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.

MBS ingin mengubah itu. Anda mungkin tidak asing dengan pernyataan bahwa Al Qaeda lahir dari Saudi. Ini bukan semata-mata karena Bin Laden berkebangsaan Saudi.

Ketika Soviet menginvasi Afghanistan, Amerika ingin menghentikannya. Amerika menghubungi Saudi, teman baiknya di Timur Tengah. Yaitu untuk membantu US menghalangi Soviet. Maka Saudi menghimpun jihadis-jihadisnya ke Afghanistan. Didanai langsung oleh negara.

Baca Juga  MUI: Menguatkan Nasionalisme, Mengedepankan Islam Wasathiyah

Mujahidin berperang dengan ideologi yang kuat di gurun-gurun Afghanistan. Dengan dukungan Saudi dan US, mereka berhasil memulangkan Soviet.

Bin Laden pulang ke Saudi sebagai seorang pahlawan. Kerajaan senang dengan hasil kerja kerasnya.

Setelah Soviet pergi, ribuan mujahidin di Afghan nganggur. Jihad telah usai. Tapi semangat mereka belum hilang.

Semangat ini membuat Bin Laden pergi ke Yaman. Ia ingin menyingkirkan partai komunis di sana, Partai Demokratik Republik Yaman. Sayangnya, kerajaan tidak merestui langkah Bin Laden. Ini adalah titik awal perselisihan Bin Laden dengan kerajaan.

Perselisihan kedua adalah ketika Iraq menginvasi Kuwait tahun 1990. Bin Laden ingin mengangkat senjata melawan Saddam Husein, presiden Irak. Alih-alih merestui, kerajaan justru mengundang Amerika dan sekutu-sekutunya.

Akumulasi dari kekecewaan Bin Laden ini membuatnya memusuhi Saudi dan Amerika. Ia pun berpikir dapat mengalahkan US. Wong Soviet saja bisa ia libas, masa Amerika tidak bisa? Begitu pikirnya. Sehingga muncullah peristiwa 9/11 yang fenomenal itu.

Kebijakan seperti ini yang disesali oleh MBS sekarang. Ia menganggap dulu Saudi terlalu dekat dengan Islamis. Maka sekarang harus menjauh. Setidaknya menjaga jarak.

Maka ia menawarkan apa yang oleh para pengamat disebut dengan new nationalism. Sebuah nasionalisme baru yang tidak bergantung pada legitimasi agama. Agama tetap penting. Namun penting karena ia digunakan “sekedar” untuk mendukung legitimasi nasionalisme. Bukan untuk menentukan berbagai kebijakan negara.

Maka Anda pun mendengar beritanya. Perempuan mulai boleh pegang stir. Pergi juga tanpa mahram. Kekuatan “polisi syariat” dikurangi. Mulai ada konser dan bioskop. Serta memenjarakan ulama-ulama yang kritis.

Buku ajar sekolah pun ikut diubah. Menjadi lebih menonjolkan nasionalisme Saudi dan mengurangi nuansa Islam.

Baca Juga  Belajar dari Nasionalisme Rakyat Amerika

Di Indonesia, moderasi berarti mensintesiskan agama, politik, dan budaya. Di Saudi, moderasi berarti membuka gedung bioskop baru.

Editor: Soleh

Avatar
124 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *