Opini

Perempuan Saudi Lepas Jilbab

2 Mins read

Saya duduk di samping perempuan seumuran tak berjilbab. Itu di penerbangan London-Jeddah. Saat mendarat, ia keluarkan kain hitam lebar. Rupanya ia memakai gamis hitam ala perempuan Saudi. Mulai dipakai di Jeddah. Sebelumnya di London ia seperti perempuan “bule” pada umumnya. Kini di Jeddah ia seperti perempuan Saudi pada umumnya.

Biasa saja, batin saya. Setiap orang tentu ingin menyesuaikan diri dengan kepantasan di mana ia tinggal.

Peristiwa lain terjadi. Lagi. Tapi kebalikan. Di kereta cepat Jeddah–Madinah. Banyak perempuan berjubah hitam masuk kereta. Setelah kereta berjalan, mereka melepas jilbab. Loh? Ini baru unik, pikir saya.

Padahal, di gerbong kereta ya banyak laki-laki. Berbaur seperti biasa.

Kejadian ini berulang lagi beberapa kali. Saya kemudian menemukan pola. Bahwa sebagian perempuan di Saudi menggunakan pakaian longgar serba hitam itu karena aturan saja. Terutama di Makkah dan Madinah. Dua kota suci yang aturan beragamanya lebih ketat.

Di kota lain saya tidak tau. Kapan-kapan silahkan Anda lihat sendiri.

Meski tak lazim di Indonesia, ini bisa dimaklumi. Pemerintah Saudi mengatur cara berpakaian. Maka apa boleh buat. Masyarakat mengikuti. Tanpa benar-benar menghayati aturan tersebut. Jilbab hanya digunakan sekedar untuk agar tidak dihukum.

Ya begitulah resiko negara yang mengatur cara berpakaian masyarakatnya. Pun negara sekular seperti Prancis juga mengatur. Sama-sama mengatur tapi kebalikan. Di Prancis, tidak boleh ada jilbab di ruang publik. Eh tidak hanya jilbab, tapi juga simbol agama lain. Semua simbol agama dilarang di negara Napoleon itu.

Di Aceh juga sama. Anda tidak bisa pacaran di ruang publik di kota Serambi Makkah itu.

Itu juga yang dikhawatirkan sebagian orang di Indonesia. Negara tidak boleh mengatur keyakinan seseorang, kata mereka. Konon, orang beragama itu harus seperti orang dewasa. Bebas bertanggungjawab. Sesuai keyakinan masing-masing. Diatur itu seperti anak kecil. Orang beragama tidak boleh seperti anak kecil.

Baca Juga  Memandang Kesetaraan Gender dengan Perspektif Sufisme

Ini argumen untuk melawan upaya penerapan syariat Islam menjadi hukum positif. Isu ini sepertinya lama tak terdengar. Atau pendukungnya sudah pada lelah? Eh tapi di daerah masih berjalan. Beberapa perda disusun berdasarkan syariat Islam.

Saya pernah membaca survei, konon daerah dengan perda syariah terbanyak adalah Jawa Barat. Provinsi ini bahkan mengalahkan Aceh.  Juga daerah dengan tingkat diskriminasi terhadap kelompok minoritas beragama tertinggi. Tapi tentu itu dulu. Kini provinsi tersebut dipimpin oleh Dedi Mulyadi. Tokoh yang sering disebut sebagai penganut Sunda Wiwitan. Ia jauh dari hal yang berbau syariat-syariat itu tadi.

Dulu, pendukung syariatisasi yang paling terkenal adalah FPI. Jangan sampai Anda lupa dengan organisasi ini. Memang, setelah dicabut izinnya beberapa tahun lalu, organisasi ini seperti lenyap ditelan angin. Konon berganti nama. Tapi panggung bagi mereka sudah tidak ada.

Presiden yang dulu mereka dukung, Prabowo Subianto, sudah menang. Tapi mereka tak ikut di dalam gerbong. Tertinggal nun jauh di belakang. Imam besarnya yang kontroversial itu entah ke mana sekarang. Itu kalau di tingkat nasional. Di daerah, mungkin lebih dinamis.

Beragama adalah pilihan. Tuhan memberi kita pilihan. Tapi pemerintah juga bisa memilih. Memilih menerapkan hukum Islam atau hukum manusia. Atau kombinasi keduanya. Anda pilih mana?

Editor: Soleh

Avatar
124 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *