Opini

Dyah Respati: Guru, Relawan, dan Cahaya Kemanusiaan

2 Mins read

Pada medio 2017, ketika Pak Agus Sumiyanto (Wakil Ketua Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah 2015-2022) meminta bantuan saya untuk melacak tulisan Pak Djasman Al-Kindi, saya belum menyadari bahwa pencarian ini akan membawa saya berkenalan dengan sosok luar biasa: Dyah Respati Suryo Sumunar. Makalah yang dicari—”Implementasi Ajaran Tokoh Pendidikan dalam Menyongsong PJPT II: Kumpulan Makalah Seminar Dies Natalis XXVII IKIP Yogyakarta”—ternyata merupakan salah satu karya yang pernah beliau sunting sebagai editor saat masih berstatus sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial UNY.

Buku tersebut terbit pada 1992 dan termasuk langka. Saya mencarinya di perpustakaan UNY melalui katalog online, namun fisik buku itu tidak ditemukan di rak. Petugas menyarankan saya mengecek di lantai tiga, tempat penyimpanan buku lama. Setelah hampir menyerah, saya mencoba menghubungi salah satu editor buku tersebut, yaitu Ibu Dyah Respati Suryo Sumunar, kolega di Fakultas Ilmu Sosial (kini FISIP UNY).

Maaf, Mas, saya malah lupa pernah mengedit buku itu. Saya juga tidak punya salinannya,” jawab Bu Dyah via WhatsApp. Beberapa waktu kemudian, saya kembali ke perpustakaan UNY dan akhirnya menemukan buku kecil itu setelah berjam-jam mencari. Rasanya lega, seperti menemukan harta berharga.

Saya segera mengabari Pak Agus dan Bu Dyah. “Tolong difotokopi ya, nanti saya minta satu,” pesan Bu Dyah. Saya pun menggandakan beberapa eksemplar untuk Pak Agus, Bu Dyah, dan arsip pribadi.

Kenangan yang Tak Terlupakan

Saya mengantarkan fotokopi buku itu ke lantai tiga Gedung Dekanat FISIP UNY. Sayangnya, saya tidak bertemu langsung dengan Bu Dyah. “Tolong letakkan saja di meja saya,” pesannya via WA. Saya pun menuruti permintaannya.

Baca Juga  Pentingnya Cerdas dalam Beragama

Momen itu menjadi kenangan berharga. Perkenalan melalui karya akademik membuktikan bahwa buku adalah warisan abadi yang bisa menjadi penghubung persahabatan.

Kabar Duka dan Ketangguhan

Waktu terus berlalu hingga suatu hari saya mendengar kabar bahwa Bu Dyah sakit. Kondisinya serius—beliau harus menjalani cuci darah. Kabar ini saya dapatkan dari Prof. Suhadi Purwantara dalam sebuah rapat fakultas. “Bu Dyah Respati juga sedang sakit,” ujarnya lirih.

Saya pun mengecek kebenaran kabar itu kepada Dr. Nurul Khotimah, Sekretaris Departemen Pendidikan Geografi UNY. “Benar, Mas. Bu Dyah mengalami masalah ginjal,” jelas Bu Nurul. Sejak itu, saya rutin memantau kondisi Bu Dyah melalui WA dan telepon.

Suatu hari, Bu Nurul mengabari, “Bu Dyah sedang di kantor, di ruang G04.” Saya bersama Prof. Mukhamad Murdiono (kini Dekan FH UNY) menjenguk beliau sambil membawa sumbangan dari dosen dan tenaga kependidikan FISIP.

Terima kasih, Pak Mur dan Mas Benni. Insyaallah saya sudah semakin baik,” ujar Bu Dyah saat menerima bantuan.

Dyah Respati: Perempuan Tangguh yang Penuh Kasih

Bu Dyah adalah pribadi yang penuh semangat. Meski sakit, beliau tetap aktif di kampus, bahkan menguji mahasiswa doktoral sambil duduk di kursi roda dengan selang infus di sampingnya.

Ketangguhannya juga terlihat saat menjadi relawan Covid-19. Beliau berada di garda terdepan dalam pemulasaraan jenazah. “Bu Dyah siap 24 jam membantu korban Covid-19,” kenang Budi Setiawan, Takmir Masjid Gedhe Kauman, dalam sambutan pemakamannya.

Sinar Terang Dyah Respati

Nama Dyah Respati Suryo Sumunar bukan sekadar rangkaian kata, melainkan cerminan sempurna dari jati dirinya—bagaikan sang surya yang tak pernah berhenti menyinari dunia. “Dyah” yang bermakna cahaya, “Respati” yang berarti pemimpin bijak, dan “Suryo Sumunar” yang artinya matahari bersinar, menyatu dalam pribadinya yang penuh keteladanan.

Baca Juga  Menjadi Dosen Ideal Sangat Berat, Tapi Harus Diikhtiarkan

Seperti matahari pagi yang hangat, beliau menghidupi setiap ruang dengan ilmu, ketulusan, dan semangat berbagi. Dedikasinya di dunia akademik sebagai pendidik yang tekun, kolaborator penelitian yang visioner, dan teladan bagi mahasiswa, berpadu sempurna dengan pengabdian sosialnya sebagai relawan kemanusiaan.

Selamat jalan, Bu Dyah Respati. Amal jariyahmu akan menjadi bekal terbaik menghadap Allah SWT. Sinar terangmu takkan pernah padam; ia akan terus menyinari kami yang ditinggalkan, mengingatkan bahwa kebaikan sekecil apapun takkan pernah sia-sia. Hingga akhir zaman, namamu akan tetap dikenang sebagai perempuan pejuang yang mengajarkan kita arti ketangguhan, keikhlasan, dan cinta tanpa pamrih.

Editor: Assalimi

Avatar
7 posts

About author
Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Anggota Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *