“Tidak ada perbedaan yang mendasar dalam hasil penelitian kami.”
Kalimat di atas diucapkan oleh Mohammad Abdus Salam, ilmuwan muslim pertama yang meraih Penghargaan Nobel pada tahun 1979, sebagaimana dikutip Fahruddin Faiz dalam bukunya Nalar Keislaman dan Keilmuan (2024, 15).
Abdus Salam adalah seorang fisikawan teoretis kelahiran Pakistan. Sebagai seorang muslim, ia sangat membanggakan identitas keagamaannya. Ia bersama dengan Steven Weinberg, seorang aties, mengembangkan teori unifikasi gaya elektrolemah dalam fisika modern.
Zakaria Virk, dalam tulisannya tentang Abdus Salam yang berjudul Religion and Science… Friends or Enemies? Dr Abdus Salam – His Faith and His Science, menceritakan bagaimana Abdus Salam justru menonjolkan identitas keislamannya, yaitu jenggot dan nama Mohammad, ketika pemerintah Pakistan menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah bukan Islam.
Masih dalam tulisan yang sama, Virk mengutip tulisan Abdus Salam dalam Pengantar untuk buku Islam and Science karya Profesor Hoodbhoy. Ia menulis,
“Aku setuju dengan segala hal yang ditulis Dr. Hoodbhoy dalam buku ini. Dr. Hoodbhoy mengutip penelitian saya dan Steven Weinberg, dan mengatakan tidak ada perbedaan mendasar dalam penelitian kami, meskipun saya adalah ‘seorang pemeluk agama yang taat dan Weinberg adalah seorang ateis yang taat’…”
Pernyataan Abdus Salam di atas secara tegas menunjukkan padangannya yang menolak adanya pembedaan antara sains dan ilmu agama. Baginya, sains bersifat universal. Tidak ada sains Islam, sains Kristen, atau sains-sains agama lainnya. Hukum alam tidak mengenal batas agama, budaya, atau geografis. Sebab, ia bersifat universal.
Ketegasan Abdus Salam merupakan kritik terhadap adanya usaha untuk melakukan islamisasi terhadap ilmu pengetahuan, atau, dalam istilah yang lebih populer, ia dikenal dengan nama islamisasi ilmu.
Islamisasi Ilmu
Beberapa cendikiawan muslim di abad ke-20 melihat adanya temuan-temuan ilmiah, khususnya sains Barat, yang tidak sesuai dengan ajaran syariat agama Islam serta hanya membawa pengaruh negatif. Karenanya, mereka memandang perlunya untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan, khususnya sains Barat.
Di antara tokoh yang aktif melakukan upaya ini adalah Muhammad Iqbal, Seyyed Hossien Nasr, Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Bagi Iqbal, sebagaimana ditulis oleh Moh Hafid dalam artikel jurnalnya, ilmu dan sains yang dikembangkan oleh Barat bersifat ateistik yang mengoyahkan akidah umat Islam. Sedangkan bagi Hossien Nasr, terdapat bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam dalam sains Barat.
Jika melihat pada istilah yang digunakan, islamisasi berarti suatu upaya ‘pengislaman’. Sikap ini diperlukan mengingat – bagi beberapa cendikiawan muslim – perkembangan sains Barat membawa pengaruh merusak bagi muslim di dunia. Bagi Fahruddin Faiz, upaya islamisasi ilmu ini mengarah pada pola fondasionalis, suatu upaya menentukan fondasi (dasar) yang menjadi acuan.
Fondasi-fondasi tersebut berfungsi sebagai filter (saringan) dalam menghadapi sains Barat sebelum dimasukkan dan diadaptasi oleh umat muslim. Dalam hal ini, filter yang dimaksud adalah seperangkat prinsip dasar yang dipandang sebagai nilai fundamental Islam yang diambil dari al-Qur’an dan hadis-hadis sahih, yang oleh al-Faruqi disebut sebagai ‘prinsip-prinsip tauhid’ (Faiz, 2024: 11).
Pola fondasionalis ini disebut oleh Faiz sebagai sesuatu yang menggelikan. Untuk menjelaskan mengapa pola tersebut menggelikan, ia mencantumkan salah satu contoh kasus, yaitu rekomendasi dari Institute for Policy Studies (Institut Kajian Kebijakan) di Islamabad dalam upaya islamisasi ilmu.
Pertama, tidak boleh menyebut suatu fakta ilmiah tanpa merujuk pada kuasa atau kebajikan Allah. Misalnya, kita harus bertanya, “Apa yang terjadi jika Allah tidak memberikan minuman kepada manusia?”, bukan bertanya, “Apa jadinya jika manusia tidak mendapatkan minuman?”
Kedua, diktat ilmiah (sains) hanya boleh ditulis oleh mereka yang benar-benar meyakini Islam sebagai dasar segala hal, termasuk hukum alam. Mereka pun harus sepenuhnya dekat dengan Al-Qur’an dan sunah.
Ketiga, ‘akibat’ tidak boleh dikaitkan oleh sebab fisik. Misalnya, tidak boleh menyatakan, “Adanya panas karena cahaya matahari”. Pernyataan itu ateistik. Yang benar adalah, “Adanya panas karena Allah mengizinkan”.
Keempat, bab pertama buku-buku fisika seharusnya adalah “Al-Qur’an dan Fisika”. Dan setiap bab harus dimulai dengan ayat Al-Qur’an yang relevan dengan masalah yang akan dibahas.
Kelima, tidak seharusnya nama hukum alam dinamakan dengan nama ilmuwan penemunya, seperti “Hukum Newton” dan “Hukum Archimedes”. Penamaan seperti itu adalah bentuk kesyirikan, karena semua hukum hakikatnya milik Allah.
Dan keenam, kelahiran semua temuan sains harus dikembalikan ke zaman Islam. Sains kimia berasal dari Jabir Ibn Hayyan, fisika nuklir bersumber dari Ibnu Sina, dan lain sebagainya.
Islamisasi Ilmuwan
Bagi Faiz, alih-alih melakukan islamisasi pada ilmu, lebih tepat untuk melakukan islamisasi pada orang atau ilmuwannya. Hal ini bukan berarti memaksa ilmuwan non-muslim menjadi muslim, tetapi lebih pada meningkatkan kualitas seorang ilmuwan muslim dalam tataran keagamaannya, khususnya pada aspek aksiologi atau etika.
Faiz mengutip Van Peursen yang berpandangan bahwa ilmu itu lahir dari proses: fakta a data a fenomena a nilai. Pada tataran fakta, data, dan fenomena, apa pun latar belakang ilmuwan penelitinya, mereka akan bersikap seobjektif mungkin dan menghasilkan temuan yang sama, sebagaimana telah disebutkan oleh Abdus Salam.
Dalam kajian kealaman, subjektivitas ditekan sekecil mungkin agar fakta dan data tampil semurni mungkin. Aneh, kata Faiz, bahwa dalam kajian kealaman seorang ilmuwan diwajibkan untuk “mensubjektifkan persepsinya”. Subjektivikasi dapat dilakukan pada tataran nilai, bukan fakta, data, dan fenomena.
Manusia diberikan akal dan kebebasan untuk mengembangkan diri dan dunia. Akan tetapi, sebagai konsekuensinya, manusia dibebani tanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Dalam sains, apa yang perlu dimasuki nilai-nilai keislaman adalah pada aspek tanggung jawab ini.
Pertanyaan berdimensi moralitas seperti, “Ke arah mana temuan ilmiah ini akan digunakan?”, “Apakah perkembangan sains ini membawa maslahat bagi manusia, atau justru sebaliknya?”, dan lain sebagainya sangat penting untuk diperhatikan oleh ilmuwan. Integritas moral harus dimiliki setiap ilmuwan. Karena tanpa moralitas, seorang ilmuwan dapat dengan mudah tergelincir dalam pelanggaran-pelanggaran intelektual.
Di akhir subbab bukunya, Faiz menutup dengan pernyataan bahwa yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara untuk mencetak ilmuwan yang profesional dan memiliki integritas intelektual, moral, serta religius. Cara ini dapat mewujudkan terciptanya kembali peradaban ilmiah umat Islam yang unggul.
Editor: Soleh