Di era ketika klaim kebenaran lalu lalang dari semua arah -dari algoritma media sosial, mimbar dakwah, hingga podium ilmiah- pertanyaan besar kembali mengemuka: dari mana sebenarnya manusia memperoleh pengetahuan yang pasti? Apa yang membuat kita yakin bahwa sesuatu itu benar? Dan lebih penting lagi, adakah titik temu yang damai antara keyakinan agama dan rasionalitas?
Pertanyaan ini bukanlah hal baru. Ia telah menghantui para pemikir sepanjang sejarah. Tapi seorang tokoh Muslim abad ke-14 bernama Ibn Taimiyyah (w. 1328)(Al-‘Imrān 2019) menawarkan satu jawaban yang radikal sekaligus membumi, sebuah upaya orisinal untuk menjembatani jurang antara wahyu dan akal, antara teks dan realitas, antara iman dan pengetahuan.
Ibn Taimiyyah membangun teori pengetahuan yang sangat khas, bukan dengan meniru filsafat Yunani atau teologi rasional kalam, tetapi justru dengan menafsirkan ulang khazanah Islam klasik secara kreatif dan sistematis (Kazi 2013; Sharif El-Tobgui 2019a; Al-Jalaynid 1988).
Tawatur: dari Ilmu Hadis menuju Epistemologi Universal
Di jantung pemikiran epistemologis Ibn Taimiyyah terdapat satu konsep yang tampaknya sederhana, tapi sangat strategis: tawātur (El-Tobgui 2018a). Dalam dunia keilmuan Islam, tawātur dikenal sebagai metode untuk memastikan keaslian hadis, yaitu ketika suatu informasi diriwayatkan oleh banyak orang, dari generasi ke generasi, dalam jumlah besar yang mustahil berbohong atau keliru bersama-sama.
(Laher 2024) biasanya, konsep ini terbatas pada validasi teks-teks keagamaan. Tapi di tangan Ibn Taimiyyah, tawātur menjelma menjadi fondasi seluruh sistem pengetahuan manusia. Ia tidak hanya menjadi alat untuk membenarkan ḥadis atau ayat, tetapi juga menjadi jaminan atas semua bentuk pengetahuan yang diperoleh manusia, baik melalui indra, akal, pengalaman sejarah, hingga kesepakatan kolektif umat manusia.
Menurut Ibn Taimiyyah, jika seluruh umat manusia – tanpa konspirasi atau koordinasi – sepakat tentang sesuatu, maka kita berhak menyimpulkan bahwa hal itu benar. Misalnya, bahwa api itu panas, bahwa dua objek tidak bisa menempati tempat yang sama dalam waktu bersamaan, atau bahwa manusia cenderung mencintai kebenaran dan membenci kebohongan. Semua ini, menurutnya, adalah bentuk tawatur fitri,(El-Tobgui 2018a) pengetahuan yang dijamin oleh kesepakatan alami manusia.
Rasionalitas yang Membumi
Salah satu kekuatan besar Ibn Taimiyyah adalah keberaniannya menantang ‘akal filsuf’ yang dianggap terlalu spekulatif dan menjauh dari kenyataan. Ia menolak model rasionalisme kalaam dan falasifah (para filsuf Muslim) yang sibuk dengan definisi metafisika rumit, tetapi justru gagal menjawab kebutuhan konkret umat. Ia menyebut akal yang sehat sebagai ‘aql ṣariḥ,(Sharif El-Tobgui 2019a) akal jernih yang bekerja sesuai fiṭrah dan pengalaman nyata.(El-Tobgui 2018b) Akal semacam ini, menurutnya, tidak pernah bertentangan dengan wahyu. Sebaliknya, akal dan wahyu adalah dua cahaya yang saling menerangi. Ketika terjadi benturan antara keduanya, maka kesalahan pasti ada pada tafsir wahyu atau cara menggunakan akal, bukan pada wahyu itu sendiri atau akal yang sejati.(Sharif El-Tobgui 2019b).
Dalam pandangannya, pengetahuan yang shahih bisa bersumber dari tiga hal: (1) persepsi inderawi, (2) akal dan intuisi rasional yang fitri, dan (3) khabar (informasi) yang valid, terutama dari sumber yang mutawatir. Ketiga sumber ini bekerja sama, bukan saling mengalahkan.
Fitrah: Kompas Internal Kebenaran
Unsur penting lain dalam sistem pengetahuan Ibn Taimiyyah adalah konsep fitrah, yaitu kecenderungan alami manusia menuju kebenaran.(Al-Barīdī 2021) Dalam dirinya, manusia membawa benih kemampuan mengenal yang benar dan yang salah, bahkan sebelum belajar dari luar.
Namun fitrah ini bisa rusak. Akal bisa tertutup oleh hawa nafsu, maksiat, fanatisme mażhab, atau bahkan metode berpikir yang terlalu rumit dan menjauh dari kenyataan. Di sinilah tawatur kembali berperan. Ketika seorang individu mulai meragukan kebenaran intuitif karena terlalu terpengaruh oleh filsafat atau logika spekulatif, maka Ibn Taimiyyah mengajak kita untuk kembali melihat kesepakatan umat manusia: apakah ada satu pun manusia waras yang benar-benar meyakini bahwa api itu dingin atau bahwa benda bisa muncul tanpa sebab? Ia menyebut ini sebagai tawatur fitrah insaniyyah. Ketika seluruh manusia waras sepakat atas satu kebenaran dasar, maka inilah pengetahuan yang paling kuat, bahkan lebih kuat dari argumen logika abstrak.
Kritik terhadap Akal Spekulatif
Salah satu kritik tajam Ibn Taimiyyah ditujukan kepada mutakallim (teolog) seperti al-Razi yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berada ‘di dalam’ atau ‘di luar’ alam semesta.(Al-Sa‘īd 2018) Bagi Ibn Taimiyyah, ini adalah penyangkalan terhadap logika paling dasar, karena menurutnya, setiap entitas pasti memiliki posisi eksistensial: ia ada di dalam sesuatu, atau terpisah darinya.
Ketika al-Razi berargumen bahwa tidak mustahil bagi Tuhan untuk berada di luar kategori ‘dalam’ dan ‘luar,’ Ibn Taimiyyah menjawab dengan tajam, ini bertentangan dengan fitrah manusia, yang secara naluriah memahami bahwa ‘ada’ itu selalu memiliki sifat eksistensial tertentu. Dan jika seluruh manusia -melalui akal sehat dan pengalaman mereka- meyakini hal itu, maka tidak boleh dibatalkan hanya karena akal seorang filsuf memikirkan alternatif yang mustahil.
Warisan yang Masih Relevan
Gagasan Ibn Taimiyyah masih relevan hingga saat ini. Di tengah krisis epistemik global – ketika semua orang merasa berhak mendefinisikan ‘kebenaran’ versi mereka sendiri – pendekatan Ibn Taimiyyah menawarkan keseimbangan antara akal dan iman, antara pengalaman dan teks, antara pengetahuan individual dan konsensus publik.
Ia mengajarkan bahwa ada kebenaran yang tidak perlu dibuktikan melalui perdebatan panjang, karena sudah diakui bersama oleh umat manusia secara spontan. Bahwa logika sehat tidak boleh dikorbankan demi mempertahankan dogma rumit. Dan bahwa wahyu tidak harus berseteru dengan akal; justru keduanya berasal dari sumber yang sama: Tuhan.
Dalam konteks ini, tawatur bukan sekadar metodologi ilmiah, tetapi juga filosofi sosial. Ia menunjukkan bahwa kebenaran sejati tidak lahir dari individu yang mengisolasi diri dalam menara gading pemikiran, melainkan dari kesadaran kolektif umat manusia yang hidup, merasa, dan berpikir bersama. Di sinilah letak kejeniusan Ibn Taimiyyah, ia tidak membebani umat dengan teori, tetapi memandu mereka kembali ke jalan akal jernih dan fitrah yang bersih.
Wasathiyyah: Kembali ke Jalan Tengah
Ibn Taimiyyah bukan sekadar polemis ulung atau tokoh kontroversial yang gemar mengkritik. Ia adalah arsitek sistem pengetahuan yang kokoh, berbasis pada akar tradisi Islam, tapi terbuka pada akal sehat dan pengamatan kuat.
Hari ini, pelajaran dari Ibn Taimiyyah sangat jelas: jangan tergoda oleh kecanggihan argumen yang kehilangan intuisi; jangan juga puas dengan keyakinan yang buta terhadap dalil. Pengetahuan sejati lahir dari keseimbangan antara akal, wahyu, dan kesadaran kolektif manusia.
Di tengah hiruk-pikuk zaman, Ibn Taimiyyah mengajak kita untuk kembali mendengar suara paling jernih dalam diri, suara fitrah. Dan kadang, di situlah letak kebenaran yang paling sunyi, tapi paling meyakinkan.
Editor: Soleh