Jika ada pertanyaan tentang apakah manusia pada dasarnya baik? tidak ada jawaban tunggal tentang hal itu. Beberapa filsuf percaya bahwa manusia memiliki kecenderungan dasar yang baik, sementara yang lain percaya bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk menjadi baik atau jahat, namun kebanyakan orang ingin berpikir bahwa mereka adalah orang yang baik. Benarkah?
Pertanyaan tersebut hadir tanpa perlu respon yang terlalu bagaimana, melainkan sebagai cermin yang dapat membantu untuk perenungan batin lebih dalam.
Sebagian dari kita mungkin pernah merasa tidak dihargai setelah melakukan sesuatu hal yang baik atau merasa bahwa kerja dan usaha kita dalam kebaikan tidak diakui orang lain.
Tinggal di Hongshi College
Pemahaman saya mengenai sifat dan perilaku manusia sesungguhnya menjadi sangat komplit dimulai saat saya tinggal di Hongshi College, sebuah perguruan tinggi Buddhis yang dikelola oleh Bhikkhuni dan terletak di Kota Taoyuan, Taiwan.
Tugas pertama sebagai siswa saat tiba di Hongshi adalah memilih kertas yang berisi nama salah satu siswa dan merahasiakan nama tersebut hingga kapan kami tidak tahu.
Tugas lainnya yaitu, siswa diminta untuk menjaga dan mengupayakan sebaik yang kami mampu dalam perjalanan hidup untuk nama yang telah dipilih. Entah bagaimana bentuknya dan terserah bagaimana caranya, setidaknya satu tindakan kebaikan setiap hari, dapat berupa sebuah sikap yang paling sederhana seperti menyapa, memberi senyum atau kata-kata penyemangat, serta tindakan berupa bantuan dan lain sebagainya.
Membuka kertas yang berisi nama berarti tugas dimulai saat itu juga. Meskipun terlihat sangat sederhana, tanpa disadari perilaku tersebut nyatanya mampu memberikan refleksi mendalam bagi siswa dengan latar belakang negara, suku, bahkan agama yang berbeda.
Pasalnya, kita semua hidup dimana diri sering dikondisikan untuk mengharapkan sesuatu sebagai balasan atas perbuatan baik meski hanya ucapan terima kasih yang tulus atau rasa pengakuan dari hal baik yang telah kita perbuat. Namun, praktik sederhana yang dilakukan di Hongshi mampu menuntun siswanya untuk selalu berbuat baik tanpa bergantung pada imbalan eksternal yang kami inginkan dan angankan.
Praktik sederhana tersebut juga menyadarkan kami bahwa imbalan sesungguhnya dari perbuatan yang telah di lakukan adalah kedamaian hati tanpa merasa penting mendapat ucapan baik dari orang lain dan tanpa merasa ada kecenderungan untuk mencari pengakuan.
Seperti sikap altruisme sejati, yaitu ungkapan kasih sayang yang datang dari hati untuk berbuat baik karena memang kita bisa, sehingga mampu melepaskan harapan dan menghantarkan pada kemurahan hati dalam bentuk yang paling murni.
Mengembangkan Kasih Sayang Universal Melalui Metta Action
Sepakat dengan tugas pertama, tugas kedua menanti siswa sebelum menerima kunci kamar asrama, tugas kedua adalah mengambil kertas yang berisi warna yang akan membawa siswa pada kelompok berdasarkan warna yang telah dipilih.
Berbeda dengan instruksi tugas pertama, yaitu menyembunyikan apa yang telah dipilih, instruksi tugas ke dua meminta kami untuk mengumumkan apa yang telah dipilih, bukan tanpa maksud, tentu saja ada banyak rencana yang telah pihak Hongshi siapkan untuk siswanya. Kami menyebutnya dengan pembagian kelompok Metta. Sementara dua tugas telah sepakati, akhirnya siswa menerima kunci asrama yang sudah disediakan.
Hari demi hari dilalui, ada banyak cerita dan pembelajaran yang diambil dari semua kegiatan yang direncanakan untuk siswa, tapi tak ada satu pun siswa yang merasa berat atas tugas yang telah diberikan, setiap hari seperti “ditatar” bagaimana mengubah setiap tindakan kebaikan menjadi sumber kedamaian batin tanpa bergantung pada tanggapan orang lain.
Yang ada adalah semua orang mengamalkan fastabiqul khoirot atau berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Tidak hanya siswa, tetapi juga semua volunteer dan Bhikkhuni yang ada di Hongshi College. Ya, di Hongshi tidak ada staf, yang ada hanya volunteer, mereka datang dan pergi bergantian setiap hari, melakukan pekerjaan layaknya staf, tanpa digaji, tak terkecuali, pun juga berlaku untuk para Bhikkhuni.
***
Bhikkhuni, sebutan untuk wanita yang ditahbiskan menjadi anggota monastik dalam agama Buddha juga mengambil peran seperti kami, orang biasa. Memasak, mencuci baju dan piring, membuang sampah, berkebun, menyapu, mengepel, memotong rumput, membuat pupuk, hingga membersihkan toilet, dll dilakukannya setiap hari.
Jika saya menulis kata mencuci piring, jangan bayangkan yang dicuci adalah piring pribadi, jika saya menulis kata menyapu, saya meminta anda untuk membayangkan bahwa yang disapu bukanlah kamar pribadi, melainkan halaman dan ruang-ruang kelas di Hongshi College yang luasnya lebih besar dari Sekolah Menengah Atas Negeri rata-rata di Jawa.
Tak ada kata lelah atau merasa tidak pantas bagi para Bhikkhuni melakukan hal-hal teknis semacam itu, tak ada tugas yang didelegasikan, semua dikerjakan dengan tulus dan bahagia. Baginya, kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk dari Metta Action. Jika Altruisme dimaknai sebagai tindakan mementingkan orang lain, Metta olehnya dimaknai sesuatu yang lebih luas, tidak hanya tindakan, namun juga cinta kasih yang mendalam dan universal kepada semua tak terkecuali.
Metta Action atau tindakan yang mencerminkan cinta kasih dan kebaikan kami wujudkan dalam pembagian 4 kelompok Metta, yaitu: Mencuci Piring beserta dengan perabotan, memasak, menyapu seluruh halaman, dan membersihkan seluruh kelas beserta kamar mandi merupakan kegiatan wajib untuk dilaksanakan oleh seluruh penghuni Hongshi, tanpa sadar kegiatan ini justru mampu membuat relasi antar sesama siswa dan seluruh penghuni Hongshi semakin akrab.
***
Saya ingat saat kelompok saya mendapat tugas memasak, seorang teman laki-laki dari Korea, Yung-namanya, dengan semangat “berlagak” seperti Profesional Master Chef, dengan lihai mulai dari memotong sayur, menggoreng, hingga membuat sup yang lezat, tetapi merasa geli, lari terbirit-birit dan bersembunyi saat diminta untuk mengolah Stinky tofu yang amat sangat populer di Taiwan.
Yung, menjadi sangat terkenal dengan ketidaksukaannya dengan Stinky tofu, membuat teman-teman bisa lebih mudah mengetahui apa yang Yung suka dan Yung tidak suka, memudahkan teman-teman untuk bisa mengambil peran untuk Yung jika suatu saat nanti tersedia Stinky tofu.
Cerita lain tak kalah menyumbang ikatan cinta seluruh penghuni Hongshi. Karena sarapan dimulai sangat pagi, dan seluruh penghuni Hongshi diminta untuk berkumpul setidaknya pukul 04.15, hanya sedikit orang yang memiliki niat untuk mengikuti prosesi makan pagi, meskipun demikian, tak ada satupun penghuni Hongshi yang memiliki niat untuk melewati metta action berupa cuci piring dan perabotan, padahal tidak ada hukuman yang diberikan apabila salah satu dari kami melewati tugas itu.
Seorang teman dari Switzerland dan India, juga beberapa teman lainnya, sejak pertama sampai di Hongshi, mereka memutuskan untuk tidak mencentang jadwal sarapan yang di koordinir oleh salah satu Bhikkhuni, tidak mencentang kolom sarapan di Dining Hall artinya sepanjang tinggal di Hongshi mereka tidak akan dapat jatah sarapan yang dijadwalkan di jam pagi buta itu, namun yang membuat kagum adalah mereka tetap ingin melakukan metta action cuci piring dan perabot ataupun metta action lainnya.
Mereka akan tetap bangun pukul 05.00 atau 05.30 untuk membantu kelompoknya mencuci piring sekalipun dia sendiri tidak mengikuti sarapan, baginya, tidur lebih penting daripada harus bangun jam 04.00 pagi untuk sarapan “Sleep is more Important than Food”, katanya.
***
Lelucon-lelucon sering hadir justru pada saat aktivitas metta action, tidak sedikit dari kami yang justru akrab dari agenda itu, saya teringat betul ketika seorang teman “meledek” saya dengan celetukan “Oh Hindun, No., so poor, you wake up only for pizza?” dari guyonan itulah justru menjadi jembatan keakraban yang tak ternilai bagi kami.
Sering diantara kita percaya bahwa praktik metta ataupun altruisme memerlukan tindakan yang luar biasa, seperti memberikan sumbangan besar atau mendedikasikan diri dalam misi tertentu. padahal, metta dan altruisme dapat dipupuk dalam tindakan kecil di kehidupan sehari-hari seperti yang dilakukan oleh Bhikkhuni atau seluruh penghuni Hongshi. Tindakan kecil ini adalah cara untuk melatih praktik metta atau altruisme harian, sehingga, semakin sering kita mengulanginya, semakin alami cara bertindak ini menjadi bagian dari diri kita.
Kadanglaka kita juga merasa bahwa tidaklah penting dan perlu bagi kita untuk melakukan hal-hal teknis dan menganggap sebelah mata tindakan-tindakan kecil itu, banyak diantara kita yang merasa bahwa diri ini besar dengan jejaring yang kita punya, dengan jabatan dan gelar yang kita miliki hingga enggan melakukan hal kecil dan teknis.
Banyak diantara kita merasa bahwa tugas yang patut untuk kita hanyalah tugas kerja intelektual, tugas dengan kegiatan yang mengandalkan kemampuan berpikir, analisis, dan pemecahan masalah, serta pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada pemikiran untuk menghasilkan solusi, ide, dan inovasi-inovasi lain, pekerjaan yang tidak banyak membutuhkan keterampilan fisik atau manual sehingga memilih untuk mendelegasikan pekerjaan teknis kepada orang lain.
***
Berbeda dengan Bhikkhuni di Hongshi, jabatan “venerable” yang disematkan oleh warga dunia untuknya tidak menghalangi tetap berpikir dan melakukan hal-hal teknis lainnya. Power sebagai “venerable” benar dimanfaatkan dengan baik dan seharusnya, dalam tindakan yang sederhana, dalam kekuasaan yang meneduhkan, yang hadir bukan sebagai puncak dominasi, tapi sebagai sumur dalam kebijaksanaan yang terus memberi minum pada dahaga manusia lainnya akan makna, keadilan, dan harapan.
Interaksi sehari-hari dengan Bhikkhuni mengubah mindset saya untuk melihat bahwa setiap tindakan kebaikan kecil ataupun besar adalah kesempatan untuk pertumbuhan spiritual, dan nilai tindakan terletak pada apa yang dapat kita berikan, bukan pada apa yang kita terima sebagai balasannya.
Dalam berbagai kesempatan, Venerable Chao-Hwei salah satu Bhikkhuni Hongshi menyampaikan bahwa melupakan tindakan metta dan altruisme kepada orang lain adalah sesuatu yang seharusnya. Praktik metta dan altruisme ibarat air yang mengalir, air tidak memilih ke mana harus mengalir, air akan mengairi seluruh tanah tanpa membedakan apakah tanah itu gersang, subur, atau berbatu.
Metta dan altruisme tidak hanya mampu mengubah orang-orang di sekitar kita, tetapi juga diri kita. Kekuatan transformasi diri dapat diperoleh dengan praktik altruisme juga metta, seperti kata pepatah “Doing good feels good” adalah sebuah quotes yang bisa dikonfirmasi kebenarannya, kurangnya makna dalam hidup bisa jadi berasal dari keterputusan hubungan kita dari dunia di sekitar kita.
Saya adalah pelaku sekaligus contoh nyata dalam pengalaman ini, ketika kehampaan hati melanda, solusi yang saya cari yang mampu mengganti kehampaan itu salah satunya adalah mengontak teman lama, bertemu, dan menawarkan bantuan semampu kita, meskipun tidak semua butuh bantuan, tetapi lebih pada isyarat bahwa seseorang hadir, peduli, dan bersedia mendampingi yang berimbas pada rasa senang dan pengikat batin bahwa hidup kita bermakna.
Jalan Bodhisattva Menuju Pencerahan untuk Semua
Dalam agama Buddha, ada satu istilah yang disebut dengan Bodhisattva-seseorang yang berkomitmen untuk mencapai “pencerahan” dan memiliki komitmen untuk membantu semua makhluk dalam menemukan kebahagiaan.
Tugas pertama saat tiba di kampus yaitu memilih nama, merahasiakan, dan mengupayakan yang terbaik untuk nama yang kami pilih adalah praktik Bodhisattva.
Praktik Bodhisattva setidaknya membuat kami percaya bahwa membantu dan meringankan beban orang lain membuat beban diri sendiri menjadi lebih ringan. Meski siswa hanya diminta memilih satu nama tapi kebaikan mengalir tidak hanya tertuju untuk nama yang dipilih, kebaikan demi kebaikan mengalir secara pasti menyusuri kehidupan di Hongshi, meski tak selalu datang dalam hal besar dan gemerlap tapi kebaikan yang nyata dan konsisten adalah kunci.
Kembali pada kalimat awal, bagaimana jika sebagian dari kita tidak dihargai setelah melakukan sesuatu hal yang baik? Jawabannya adalah tidak apa-apa, mencari pengakuan adalah bagian dari ego manusia, kita sepakat untuk tidak membiarkan ego kita mengambil alih dengan cara selalu mencari pengakuan, mendambakan validasi, dan terus mengambil kendali.
Terakhir, saya ingin mengutip sebuah pesan yang saya dengar setiap hari di Hongshi: May I be safe, may I be at peace, may I be healthy, may I live with joy.
May you be safe, may you be at peace, may you be healthy, may you live with joy.
May all beings be safe, may all beings be at peace, may all beings be healthy, may all beings live with joy.
Editor: Soleh