Opini

Beasiswa Pendidikan Muhammadiyah untuk Semua

3 Mins read

Pendidikan tinggi di Indonesia tengah menghadapi tantangan serius dalam hal aksesibilitas. Terutama bagi masyarakat dari golongan ekonomi lemah dan yang tidak termasuk kategori “unggul” secara akademik. Fenomena privatisasi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) dan menurunnya komitmen subsidi negara telah menjadikan pendidikan tinggi semakin eksklusif. Akibatnya, kelompok masyarakat yang berada di Kuadran D—yakni mereka yang miskin dan kurang pintar—kian terpinggirkan. Golongan ini nyaris tak tersentuh oleh skema beasiswa apa pun yang ada saat ini, terutama beasiswa yang dikelola negara atau pemerintah.

Privatisasi dan Beban Biaya yang Tak Terjangkau

Transformasi status banyak PTN menjadi PTNBH memberi otonomi yang besar kepada kampus. Kebijakan tersebut juga sekaligus menyerahkan sebagian besar beban pembiayaan ke mahasiswa. Catatan Kompas.id (21/5/2024), di berbagai kampus besar seperti UGM, UI, dan ITB, pendanaan dari pemerintah hanya menutup sekitar 20% kebutuhan operasional. Sisanya dibebankan kepada mahasiswa, termasuk lewat skema UKT yang naik tajam serta pungutan biaya pengembangan kampus melalui skema ujian mandiri. Salah satu contoh nyata terlihat di Universitas Indonesia (UI). Di mana dukungan dana dari pemerintah menurun dari Rp 619 miliar pada tahun 2017 menjadi Rp 523 miliar pada tahun 2022. Padahal, dalam kurun waktu yang sama. Kebutuhan anggaran kampus justru meningkat dari Rp 2,8 triliun menjadi lebih dari Rp 3 triliun.

Ini bukan sekadar soal nominal, melainkan konsekuensi struktural yang membatasi akses kelompok miskin terhadap pendidikan tinggi. Bahkan, jalur seleksi seperti SNMPTN (sekarang SNBP), atau mandiri lebih menguntungkan sekolah dan siswa dari latar belakang mapan. Kelompok D, yang biasanya berasal dari sekolah pinggiran, sulit bersaing bukan karena kurang usaha, tapi karena sistem tak berpihak.

Baca Juga  Mengapa Gejala Muhammadiyahphobia Itu Muncul?

Student Loan: Solusi yang Mengandung Risiko

Pemerintah era Nadiem Makarim saat ia masih menjabat sebagai Mendikkbudristek sempat mewacanakan pemberian student loan atau pinjaman pendidikan sebagai jalan keluar. Namun, pelajaran dari Amerika Serikat dan berbagai negara lain menunjukkan bahwa skema ini berujung pada lingkaran utang baru yang membebani mahasiswa beserta orang tua. Banyak mahasiswa dari kelompok minoritas dan ekonomi lemah akhirnya gagal membayar pinjaman, jatuh bangkrut, dan gagal meraih nasib yang lebih baik.

Indonesia pernah punya pengalaman dengan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) di era 1980-an, namun program ini juga gagal karena banyak pinjaman yang macet. Dalam konteks Indonesia saat in. Di mana belum ada jaminan kerja setelah lulus, sistem data kependudukan belum rapi, dan pemotongan gaji tidak otomatis—student loan berpotensi memperparah jeratan kemiskinan.

Muhammadiyah Menjawab Kebutuhan yang Tak Terpenuhi

Di tengah keterbatasan negara dalam menyediakan beasiswa yang adil dan transformatif, Muhammadiyah tampil sebagai kekuatan sipil (organization non-state) yang mengambil inisiatif. Muhammadiyah hadir mendorong akses pendidikan inklusif melalui Program Beasiswa Kader Muhammadiyah Tahun 2024. Program tersebut disupervisi Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani (MPK-SDI) PP Muhammadiyah dan Lazismu Pusat. Program beasiswa pendidikan Muhammadiyah ini tidak sekadar menawarkan bantuan keuangan. Melainkan menghadirkan solusi holistik untuk memperkuat kaderisasi dan pemberdayaan sosial berbasis nilai keislaman.

Yang menarik, program ini tidak eksklusif bagi kader internal semata. Ia secara sadar menyasar dua segmen strategis: kader organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah dan mahasiswa dari kategori mustadh’afin (kaum yang lemah secara ekonomi dan sosial). Dari total 400 penerima beasiswa, sebanyak 80 mahasiswa berasal dari kelompok mustadh’afin. Sebuah afirmasi yang secara nyata menyentuh lapisan Kuadran D yang selama ini luput dari kebijakan beasiswa nasional.

Baca Juga  Teks Khutbah Idul Fitri: Memetik Manisnya Buah Ramadhan

Riset Dampak Beasiswa dari Pusat Studi Muhammadiyah

Temuan dari Pusat Studi Muhammadiyah yang mengevaluasi program ini mengungkap hasil yang luar biasa dan layak menjadi rujukan kebijakan publik. Dari hasil evaluasi terhadap 368 mahasiswa aktif penerima program, beasiswa kader Muhammadiyah berhasil mendorong 97% penerima beasiswa meraih IPK di atas 3,50, mayoritas dengan predikat cumlaude; 89% mahasiswa S1 dan 91% mahasiswa S2 aktif dalam organisasi intra maupun ekstra kampus; 85% peserta mengikuti pelatihan soft skills secara penuh; dan yang paling signifikan, 99% penerima terlibat dalam kegiatan sosial dan pembinaan ideologi keislaman dan kemuhammadiyahan secara konsisten, koheren, dan juga berkelanjutan.

Capaian ini tidak hanya mencerminkan keberhasilan individual, tetapi menunjukkan bahwa jika diberi akses, pendampingan, dan pembinaan yang tepat. Kelompok yang semula dianggap lemah pun bisa tumbuh menjadi masyarakat unggul. Muhammadiyah, dalam hal ini, tidak hanya membantu menyelesaikan persoalan akses pendidikan, tetapi juga membentuk generasi baru yang berkarakter, berdaya saing, dan memiliki komitmen kemasyarakatan yang kuat.

Muhammadiyah sebagai Mitra Negara dalam Menjamin Akses Pendidikan Adil
Problem ketimpangan akses pendidikan tinggi bukan semata soal prestasi akademik, tetapi persoalan struktur, sistem, dan keberpihakan. Jika negara hanya mengandalkan mekanisme seleksi meritokratis dan skema beasiswa berbasis prestasi akademik semata, maka kelompok Kuadran D akan terus terpinggirkan. Di sinilah peran ormas keagamaan seperti Muhammadiyah sangat relevan, bukan sebagai pelengkap, tetapi sebagai mitra strategis negara dalam menjawab keadilan sosial yang belum tersentuh.

Beasiswa Kader Muhammadiyah

Model yang dibangun Muhammadiyah melalui Beasiswa Kader menunjukkan bahwa pendekatan berbasis komunitas, ideologi, dan pembinaan jangka panjang. Justru mampu menghasilkan dampak yang lebih terukur dibandingkan pendekatan institusional yang bersifat administratif. Hal itu dikuatkan dengan hasil evaluasi berbasis before–after oleh Pusat Studi Muhammadiyah menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam kompetensi akademik, kepemimpinan, dan wawasan keislaman pada setiap penerima beasiswa. Setelah adanya upaya intervensi program berupa pelatihan soft-skill dan pembinaan ideologi keislaman dan kemuhammadiyahan. Ini membuktikan bahwa skema pendidikan berbasis nilai dan komunitas punya kontribusi nyata dalam pembangunan bangsa.

Baca Juga  Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

Maka, sudah saatnya negara mendudukkan Muhammadiyah dan ormas-ormas serupa bukan semata sebagai pelaku filantropi pendidikan. Tetapi sebagai co-creator kebijakan pendidikan nasional. Kolaborasi antara negara dan masyarakat sipil harus diperluas dan dilembagakan, agar skema-skema afirmatif seperti yang dilakukan Muhammadiyah bisa diperkuat secara sistemik.

Jika negara sungguh-sungguh ingin mempersempit jurang ketimpangan, menciptakan mobilitas sosial, dan mencetak generasi emas 2045, maka inilah saatnya membuka ruang kolaborasi. Negara tidak bisa berjalan sendiri. Muhammadiyah telah membuktikan diri bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai pelaksana dan pengubah keadaan.

Faiz Arwi Assalimi
21 posts

About author
Anggota Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Mahasiswa Magister Administrasi Publik Fisipol UGM
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *