Opini

Apakah Umat Islam Benar-benar Telah Selesai dengan Toleransi?

3 Mins read

Salah satu pernyataan yang cukup mengganggu adalah kepercayaan diri yang terlalu dini di internal umat Islam bahwa mereka telah selesai dengan toleransi. Dengan dada yang membusung, mereka menyebut umat Islam tidak perlu diajari soal ini. Padahal jika melihat realitas yang terjadi di lapangan, pernyataan itu sepenuhnya keliru dan jauh panggang dari api. Rentetan kasus yang terjadi belakangan makin menguatkan. Termutakhir adalah kasus yang menimpa warga Krisitiani di Padang. Dipentaskan dengan terang bagaimana hak agama beribadah terancam dan direnggut. Mereka diserang secara brutal dan premanistik. Lebih parahnya lagi, mereka tak menganggap ini sebagai kesalahan yang patut disesali.

Kita tidak tahu dari mana lahirnya kepercayaan diri tersebut. Jika itu lahir dari keyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang penuh dan cinta damai, kita mungkin tidak berdebat panjang. Tapi mungkin mereka lupa. Selalu ada gap antara ajaran dan perilaku penganut. Jika Islam mengajarkan cinta damai, maka tidak otomatis menjadikan muslim sebagai orang yang cinta damai. Buktinya kita melihat banyak pihak-pihak yang dalam aksi-aksi kekerasan dan terornya justru mengatanasnamakan dan menggunakan slogan-slogan agama. Padahal jelas agama tak pernah merestui tindakan semacam ini. Maka di sini benarlah Ali bin Abi Thalib bahwa agama sangat tergantung siapa yang membunyikan dan mendendangkannya.

Menormalisasi Kebajikan yang Salah

Salah satu perintah agama yang nyaring disuarakan oleh umat Islam adalah perintah menegakkan kebajikan atau yang dalam frasa agama disebut amar ma’rūf. Namun miss-understanding terhadap perintah ini masih sering terjadi. Sehingga dalam realitanya sering dipraktikkab dan dijalankan secara sembrono. Akibatnya, bukannya memperbaiki citra Islam, malah semakin memperburuk. Karena amar ma’ruf dilakukan dengan cara-cara preman; dikrimininasi dan intimidasi, baik fisik dan verbal.

Baca Juga  Sistem Akreditasi Tak Menjamin Mutu Pendidikan!

Riset-riset yang ada menunjukkan kecenderungan ini secara kuat. Misal dalam satu wawancara terhadap mereka yang melakukan perusakan tempat ibadah, terdapat satu fakta yang mengejutkan dan membuat kita mengelus dada. Alih-alih menganggap apa yang mereka lakukan sebagai dosa atau kesalahan, mereka justru dengan bangga menyebutnya pemenuhan panggilan keagamaan dan suatu tindak kebajikan (Burhani, 2020 :14). Mereka ini, sebagaimana diistilah Ahmad Najib Burhani, terjebak pada false virtue (kebajikan yang salah).

Menghadapi umat beragama seperti ini cukup melelahkan. Sulit meyakinkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang salah. Karena mereka terlampau meyakini tengah melakukan tugas mulia dan merasa mendapat justifikasi dari agama. Mereka selalu punya pembelaan atas tindakan-tindakan yang dilakukan. Pun jika negara menghukum, mereka berkeyakinan bahwa itu adalah konsekuensi yang mesti mereka terima ketika memperjuangkan kebenaran.

Kedewasaan Pemuka Agama

Perangai umat yang demikian tentu tak bisa dilepaskan dari pengaruh pemuka agama. Mereka berperan besar dalam menanamkan kepercayaan yang terlalu dini di internal umat Islam. Dalam forum-forum yang biasa saya ikuti, tidak jarang terdengar suara-suara sumbang atas usaha sebagian kalangan untuk menguatkan pendidikan toleransi di internal umat Islam. Menuduh mereka sebagai antek asing, perusak akidah, lebih bersahabat dengan kafir dan sebagainya. Namun ketika ada kejadian semacam ini, mereka membisu dan menutup mulut rapat-rapat.

Kepercayaan diri bahwa umat Islam telah selesai akhirnya menjadi slogan kosong. Karena kita tak melihat bukti yang riil atas pernyataan itu. Di sinilah pemuka agama harus menjadi tauladan (uswah hasanah) dengan menampilkan sikap terbuka pada kirtik dan kesediaan untuk terus belajar. Jika ada yang keliru, maka alih-alih membela diri, sebaiknya mengakui dan berusaha memperbaikinya. Sikap ini masih menjadi sesuatu yang mahal dari pemuka-pemuka agama kita. Padahal jika saja mereka bersedia, mewujudkan masyarakat yang damai dan harmoni barang kali tidak lagi menjadi mimpi kosong dan jalan menuju ke sana semakin terang.

Baca Juga  Jangan Remehkan Ibadah Sunah!

Sikap dewasa dan matang dalam beragama amat diperlukan di sini. Sebab toleransi adalah kerja aktif. Banyak yang masih keliru karena memandang toleransi hanya sekadar pembiaran, mengabaikan dan tidak peduli. Padahal lebih dari itu, kerja-kerja toleransi hanya akan efektif jika kita memberikan pengakuan atas orang lain (co-existence), melakukan penerimaan (accaptence) dan bersikap akomodatif terhadap mereka yang berbeda (Mu’ti, 2022: 16)

Kemanusiaan Mendahului Keberagamaan

Gelora beragama yang terlalu tinggi dan tidak ditopang oleh pemahaman yang baik dan sehat terhadap teks-teks agama seringkali mencelakakan. Akibatnya ia tidak lagi beragama berdasarkan petunjuk akalnya, melainkan hawa nafsu. Inilah yang sering keliru dari kebanyakan umat Islam. Mereka menyangka bahwa beragama dengan semangat itu cukup. Padahal yang lebih penting adalah dengan ilmu. Agar kemudian perangai beragama kita menjadi lebih terarah dan selamat.

Salah satu yang jarang dan sering luput dari perhatian kaum penganut teologi maut (meminjam Syafi’i Maarif) adalah penghargaan agama Islam yang tinggi pada kemanusiaan. Penghargaan itu terlihat dengan jelas pada ajaran-ajaran yang ditayangkan oleh al-Qur’an. Al-Qur’an dalam beberapa kesempatan memberikan penghargaan yang nyata terhadap kebebasan beragama dan hak umat agama lain untuk menjalankan ibadahnya. Sebagai manusia ia telah dikaruniai hak, terutama haknya untuk hidup aman dan dilindungi.

Islam tidak pernah hadir dengan ajaran yang mengeliminasi hak-hak manusia itu kendati menganut agama yang berbeda. Sebaliknya, ia justru untuk melindungi dan memfasilitasi agar hak tersebut terpenuhi dan terberikan. Doktrin la ikraha fi ad-dīn (tidak ada paksaan dalam beragama) menjadi bukti nyata akan pengakuan Islam terhadap kemanusiaan dan keberagamaan seseorang. Bagi Mohsen Kadivar (cendekiawan Muslim berkebangsaan Iran), ketika ajaran Tuhan ini melakukan peniadaan (nafi’) dan pelarangan (nahy) atas paksaan dalam beragama, maka di saat yang bersamaan ia menerima dan mengajurkan kebebasan beragama (Kadivar, 2020: 227). Akhirnya, jika ajaran Islam demikian terangnya mengakui kebebasan beragama dan kemanusiaan seseorang, kita patut bertanya dengan sinis kepada mereka yang mengganggu umat Kristiani di Padang, kepada siapakah mereka belajar dan mengambil pijakan atas tindakan-tindakan premanismenya itu?

Baca Juga  KHGT: Upaya Muhammadiyah Membayar Hutang Peradaban Islam

Editor: Soleh

Avatar
20 posts

About author
Bendahara Umum DPD IMM DKI Jakarta 2024-2026
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *