Opini

Khazanah Tafsir Klasik Islam: Tafsir Madarik al-Tanzil karya Imam Al-Hanafi

3 Mins read

Imam Al-Nasafi, penulis tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, memiliki nama lengkap Abu al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasafi. Ia berasal dari kota Nasaf, yang terletak antara Sungai Jihun dan Samarkand, di tenggara Bukhara dan barat Kesh. Ayahnya, Ahmad bin Mahmud al-Nasafi, dikenal sebagai Imam Kabir. Ia diperkirakan lahir di daerah Idzaj, meskipun tanggal kelahirannya tidak tercatat pasti. Sebagian pendapat memperkirakan ia lahir sekitar tahun 620 H, berdasarkan hubungannya dengan wafatnya Syekh al-Kurdari pada 642 H.

Imam Al-Nasafi hidup pada akhir masa Kekhalifahan Abbasiyah, saat dunia Islam menghadapi konflik dan perubahan politik akibat peperangan, termasuk invasi Mongol. Masa itu ditandai dengan perpecahan antara mazhab Sunni yang didukung Abbasiyah dan mazhab Syiah yang didukung Khawarizm Syah. Ia hidup di tengah situasi krisis yang penuh pertumpahan darah dan kemunculan berbagai aliran akibat kebebasan beragama, yang memicu persaingan dalam memengaruhi penguasa dan masyarakat.

Jejak Hidup dan Warisan Keilmuan Imam Al-Nasafi

Imam Al-Nasafi dikenal sebagai sosok zuhud, saleh, dan bertakwa, serta memiliki pengetahuan luas dan kontribusi besar dalam keilmuan Islam. Ia digelari Hafidh al-Din (Pelindung Agama) karena dedikasinya dalam membela mazhab yang dianutnya. Dalam akidah, ia mengikuti Ahlus Sunnah wal Jamaah, sedangkan dalam fikih ia menganut mazhab Hanafi, sebagaimana terlihat dalam karyanya Kanz ad-Daqaiq. Ia belajar dari banyak ulama terkemuka pada masanya dan unggul dalam ushul, fikih, dan ilmu bahasa. Di antara guru-gurunya adalah Shams al-Aimma al-Kurdari dan Hamid ad-Din ad-Darir. Imam Al-Nasafi juga memiliki banyak murid yang menjadi ulama besar, seperti As-Sighnaqi dan Al-Jayli.

Sebagai ulama besar, Imam Al-Nasafi menghasilkan banyak karya ilmiah di berbagai bidang keahlian. Selain Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karya-karyanya yang terkenal meliputi Umdat al-Aqaid fi al-Kalam, Al-I’timad (syarah Umdat al-Aqidah fi al-Kalam), Manar al-Anwar fi Ushul al-Fiqh, Al-Kafi fi Syarh al-Wafi fi al-Mazhab al-Hanafi, Kanz ad-Daqaiq fi al-Mazhab al-Hanafi, Al-Mustasyfa fi Syarh al-Manzhumah, Al-Manafi’ (syarah An-Nafi’), dan Al-Umdat fi Ushul ad-Din.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai tahun wafat Imam Al-Nasafi. Pendapat yang paling kuat menyatakan ia wafat pada tahun 710 H, sementara pendapat lain menyebutkan tahun 701 H, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Hajar al-Asqalani dan Imam Ali al-Qari. Ada pula pendapat lemah yang menyebut tahun 711 H. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini terdapat dalam berbagai kitab sejarah Islam.

Baca Juga  Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

Kedalaman Pendekatan Tafsir Madarik al-Tanzil

Imam Al-Nasafi dalam Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil menggunakan metode tahlili dengan penekanan pada makna kata, munasabah ayat, asbab an-nuzul, dan riwayat terkait. Ia menafsirkan ayat secara berurutan sesuai mushaf, diawali dengan penjelasan huruf muqatta‘ah, lalu mengaitkannya dengan analisis bahasa, hadis Nabi, qiraat, serta pendapat berbagai mazhab. Ia juga menghubungkan antarayat dalam satu surah maupun antarsurah lain, dengan perhatian khusus pada keterkaitan makna (munasabah).

Tafsir Al-Nasafi tidak memiliki kecenderungan khusus dalam menafsirkan Al-Qur’an. Abdul Halim Mahmud menganggap tafsir ini ilmiah, dengan pemahaman, pengalaman, dan pengetahuan yang luas. Beberapa corak yang dapat diidentifikasi dalam tafsirnya meliputi: corak adab al-ijtima‘i yang menekankan persoalan kemasyarakatan, corak ilmi yang mengaitkan ayat-ayat kauniyah dengan ilmu pengetahuan modern, corak fikih yang menyoroti hukum, serta corak lughawi yang berfokus pada bahasa Arab. Meskipun Imam Al-Nasafi memadukan i‘rab dengan qiraat, bidang ini tidak terlalu menonjol dalam tafsirnya. Tafsir ini memberikan penjelasan yang panjang lebar dan dikategorikan sebagai penafsiran ilmiah yang cermat.

Hikmah Jilbab dalam Tafsir QS. Al-Ahzab Ayat 59

Berikut contoh penafsiran Imam Al-Nasafi dalam QS. Al-Ahzab ayat 59:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا


Artinya: “Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Imam Al-Nasafi menjelaskan bahwa jilbab yang dimaksud adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, seperti selimut besar (mirip milhafah). Makna “يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّ,” adalah agar mereka mengulurkan jilbab tersebut untuk menutupi tubuh, termasuk wajah dan bagian samping tubuh. Jika kain seorang wanita tersingkap dari wajahnya, ia diperintahkan untuk menutupkan kembali kainnya ke wajah sebagai bentuk kehati-hatian dan perlindungan.

Baca Juga  Etika Islam dan Semangat Filantropisme (4): Gerakan Filantropi dan Kritik Pembangunan

Wanita diperintahkan untuk mengulurkan sebagian jilbab mereka dan menutupi wajah dengan kelebihan kain jilbab tersebut sehingga mereka berkerudung (tatqanna‘) dan menutupi wajahnya. Tujuannya adalah agar mereka terbedakan dari budak perempuan (al-ama). Wanita beriman diperintahkan untuk mengenakan jilbab yang lebih lengkap, bukan hanya pakaian sederhana seperti baju panjang (dir‘) dan kerudung (khimar) seperti yang dikenakan budak perempuan. Wanita merdeka harus memakai jilbab sebagai simbol kehormatan.

Tujuan Perintah Berjilbab

Karena wanita merdeka terkadang diganggu karena dianggap sebagai budak, mereka diperintahkan untuk memakai jilbab yang lebih tertutup, seperti selendang besar (milhafah) yang menutupi kepala dan wajah, agar berbeda dari budak dan tidak menjadi sasaran gangguan. Hal ini bertujuan agar mereka tetap dihormati dan terhindar dari gangguan.

Penjelasan ayat selanjutnya:ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ” berarti perintah bagi wanita beriman untuk mengenakan jilbab adalah agar mereka dikenali sebagai wanita terhormat dan beriman, sehingga terhindar dari gangguan atau pelecehan. Dengan mengenakan jilbab, mereka menonjol sebagai wanita yang menjaga kehormatan dan kesucian. Kalimat “وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا” bermakna bahwa Allah Maha Pengampun atas kesalahan mereka yang mungkin sebelumnya tidak mengetahui atau lalai dalam berpakaian sesuai ajaran Islam, dan Maha Penyayang dengan memberikan bimbingan serta ajaran mengenai etika berpakaian yang lebih baik.

Imam Al-Nasafi: Ulama Zuhud dan Berilmu Luas

Imam Al-Nasafi adalah ulama besar abad pertengahan yang dikenal zuhud, berilmu luas, dan berdedikasi tinggi dalam pengembangan ilmu keislaman. Ia hidup pada masa akhir Kekhalifahan Abbasiyah yang penuh konflik, dan aktif membela mazhab Hanafi serta Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karyanya yang paling terkenal, Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, menggunakan metode tahlili dengan pendekatan bahasa, munasabah ayat, dan fikih. Tafsir ini mencerminkan corak ilmiah, sosial, fikih, dan lughawi, serta dikenal cermat dan mendalam. Tafsir Al-Nasafi menjadi salah satu warisan penting dalam khazanah tafsir klasik Islam.

Baca Juga  KHGT: Menyatukan Umat dalam Bingkai Ilmu dan Waktu

Editor: Assalimi

Haya Naila Alfi Chasuna
3 posts

About author
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al Ishlah (STIQSI) Lamongan
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *