Opini

Harmonisasi Nilai Islam dan Kearifan Lokal Kaili

5 Mins read

Di jantung Sulawesi Tengah, tepatnya di Kota Palu dan sekitarnya, terdapat fenomena menarik bagaimana Islam hidup dan berkembang dalam bingkai budaya lokal yang khas. Masyarakat suku Kaili telah menunjukkan cara berislam yang unik, memadukan nilai-nilai universal Islam dengan kearifan lokal yang telah mengakar berabad-abad. Fenomena ini sangat relevan untuk dikaji melalui lensa pemikiran M. Amin Abdullah dalam bukunya Dinamika Islam Kultural, yang menawarkan paradigma baru dalam memahami bagaimana Islam berinteraksi dengan kebudayaan lokal.

Amin Abdullah dalam karyanya mengajukan pertanyaan fundamental: Bagaimanakah cara yang objektif untuk membaca dan memaknai teks dan tradisi keagamaan? Haruskah modernitas dinilai oleh tradisi atau sebaliknya, tradisi yang diukur oleh modernitas? Pertanyaan ini menemukan jawabannya dalam praktik keislaman masyarakat Kaili yang berhasil menciptakan sintesis harmonis antara ajaran Islam dan budaya lokal, tanpa kehilangan otentisitas keduanya.

Dialektika Teks dan Konteks dalam Islam Kaili

M. Amin Abdullah menekankan pentingnya memahami Islam sebagai agama yang hidup dalam konteks kultural yang beragam. Konsep “Islam kultural” yang digagasnya tidak berarti melemahkan substansi ajaran Islam, melainkan mengakui bahwa Islam memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan berbagai konteks budaya tanpa kehilangan esensinya. Masyarakat Kaili telah mempraktikkan konsep ini jauh sebelum terminologi “Islam kultural” dipopulerkan.

Ketika Islam pertama kali masuk ke wilayah Kaili melalui para da’i seperti Syekh Abdullah Raqie yang bergelar Dato Karama. Merupakan orang pertama yang mengislamkan Raja Kaili yang bernama Pue Njidi pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, proses islamisasi tidak terjadi secara revolusioner yang menghancurkan struktur budaya yang ada. Sebaliknya, terjadi proses dialektis yang kreatif antara ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal. Menciptakan model Islam yang kontekstual namun tidak kehilangan universalitasnya.

Dato Karama juga mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat Kaili dengan menggunakan bahasa setempat. Menunjukkan pemahaman mendalam tentang pentingnya kontekstualisasi dalam dakwah. Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Amin Abdullah yang menekankan bahwa memahami dan menafsirkan ajaran agama harus mempertimbangkan konteks budaya dan bahasa lokal.

Sintuvu Maroso sebagai Manifestasi Islam Rahmatan Lil Alamin

Filosofi “Sintuvu Maroso” (persatuan yang kuat) yang menjadi inti kehidupan masyarakat Kaili menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam universal seperti persaudaraan (ukhuwah), keadilan (adl), dan kasih sayang (rahmah) terinternalisasi dalam kearifan lokal. Amin Abdullah dalam konsep Islam kulturalnya menegaskan bahwa Islam sejati adalah Islam yang mampu mewujudkan nilai-nilai universal dalam konteks lokal yang spesifik.

Baca Juga  Dulu Ngopi Jadi Ajang Merawat Religiusitas dan Nasionalisme, Sekarang?

Dalam praktiknya, Sintuvu Maroso tidak hanya mengatur hubungan sosial antar sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Ini mencerminkan pemahaman holistik tentang Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, sesuai dengan pandangan tentang perlunya pendekatan integral dalam memahami agama.

Nilai-nilai gotong royong yang menjadi manifestasi Sintuvu Maroso dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kaili sejalan dengan prinsip ta’awun (tolong-menolong) dalam Islam. Namun, yang menarik adalah bagaimana konsep ta’awun ini tidak dipahami secara tekstual-literalis, melainkan dikontekstualisasikan dalam sistem sosial budaya Kaili yang sudah ada sejak sebelum Islam datang.

Akulturasi Ritual Suku Kaili

Salah satu aspek paling menarik dari cara berislam masyarakat Kaili adalah bagaimana mereka mengelola ritual keagamaan. Setelah masuknya agama Islam, adat istiadat suku Kaili mengalami akulturasi dengan ajaran agama. Beberapa upacara adat, seperti pesta perkawinan dan kematian, telah disesuaikan dengan ajaran agama. Proses ini menunjukkan apa yang oleh Amin Abdullah disebut sebagai creative tension antara teks dan konteks.

Tradisi yang kini dijalankan dengan pengaruh Islam meliputi khitan (posuna), khatam (popatama), dan gunting rambut bayi (posombe bulua) yang diselenggarakan berdasarkan ajaran Islam. Yang menarik adalah bagaimana ritual-ritual ini tidak sekadar adopsi mekanistik praktik Islam Arab, melainkan merupakan hasil dari proses kreatif yang memadukan substansi ajaran Islam dengan bentuk-bentuk ekspresi budaya Kaili.

Fenomena akulturasi ritual ini mencerminkan pemikiran Amin Abdullah tentang perlunya membedakan antara yang normatif-universal dan yang historis-partikular dalam ajaran Islam. Substansi spiritual dari ritual-ritual Islam seperti khitan dan khatam Al-Qur’an dipertahankan, sementara bentuk pelaksanaannya disesuaikan dengan konteks budaya Kaili.

Tantangan dalam Praktik Pompaura

Salah satu contoh kompleks dari dinamika Islam kultural dalam masyarakat Kaili adalah praktik pompaura. Pompaura adalah salah satu budaya yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat suku Kaili dalam rangka upacara tolak bala yang mengandung arti menolak bahaya, malapetaka, dan bencana. Dalam pelaksanaannya terjadi pergulatan antara kaidah ajaran Islam sebagai agama yang dianut dengan praktik budaya tradisional.

Kasus pompaura menunjukkan kompleksitas yang dihadapi masyarakat Muslim dalam konteks kultural yang beragam. Di satu sisi, ada kebutuhan spiritual untuk mencari perlindungan dari bencana dan malapetaka, yang merupakan fitrah manusia yang diakui Islam. Di sisi lain, bentuk ritual dan praktik yang digunakan dalam pompaura mungkin mengandung unsur-unsur yang perlu dikaji ulang dari perspektif teologis Islam.

Baca Juga  Ketika Al-Ghazali Membela Al-Hallaj

Amin Abdullah dalam pemikirannya menekankan perlunya pendekatan hermeneutis dalam menghadapi situasi seperti ini. Bukan dengan menolak secara total praktik budaya lokal, tetapi melalui proses dialog kreatif yang memungkinkan transformasi makna dan bentuk praktik tersebut agar selaras dengan nilai-nilai Islam universal.

Balia: Dari Ritual Penyembuhan menuju Seni Budaya

Tradisi balia yang merupakan ritual penyembuhan tradisional masyarakat Kaili mengalami transformasi menarik pasca-islamisasi. Transformasi tradisi balia dalam komunitas suku Kaili di Palu menunjukkan bagaimana masyarakat Muslim dapat mengelola warisan budaya dengan bijaksana.

Alih-alih menghapus total praktik balia yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam, masyarakat Kaili melakukan reinterpretasi dan rekontekstualisasi. Balia yang semula berfungsi sebagai ritual penyembuhan dengan nuansa spiritual tradisional, bertransformasi menjadi seni budaya yang berfungsi sebagai media pelestarian sejarah dan identitas kultural.

Transformasi ini mencerminkan kematangan berpikir masyarakat Kaili dalam mengelola warisan budaya. Mereka memahami bahwa tidak semua aspek dari tradisi lama harus dibuang begitu saja ketika memeluk Islam. Yang perlu dilakukan adalah proses selektif yang memisahkan antara unsur-unsur yang bertentangan dengan akidah Islam dan unsur-unsur yang netral atau bahkan sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Amin Abdullah dalam pemikirannya menekankan perlunya pendekatan multidisplin, interdisiplin, dan transdisiplin dalam metode studi agama dan studi Islam di era kontemporer. Cara berislam masyarakat Kaili tidak dapat dipahami hanya melalui pendekatan teologis semata. Tetapi memerlukan perspektif antropologi, sosiologi, sejarah, dan ilmu budaya lainnya.

Ketika mengkaji bagaimana masyarakat Kaili mengintegrasikan ajaran Islam dengan sistem adat mereka, kita perlu memahami struktur sosial tradisional mereka, sistem kepercayaan pra-Islam, pola-pola interaksi sosial, serta dinamika perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Pendekatan multidispliner ini memungkinkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang kompleksitas fenomena Islam kultural.

Tantangan dan Peluang di Era Globalisasi

Era globalisasi membawa tantangan baru bagi cara berislam masyarakat Kaili. Di satu sisi, ada tekanan dari gerakan purifikasi Islam yang menganggap praktik akulturasi budaya sebagai bentuk bid’ah atau syirik. Di sisi lain, ada tekanan sekularisasi yang mendorong pemisahan total antara agama dan budaya.

Baca Juga  Kata Siapa Filsafat itu Cuma Omong Kosong?

Dalam menghadapi tantangan ini, pemikiran Amin Abdullah tentang dinamika Islam kultural menjadi sangat relevan. Masyarakat Kaili perlu mengembangkan kemampuan untuk melakukan dialog kreatif antara otentisitas dan kontekstualisasi, antara universalitas dan lokalitas, antara tradisi dan modernitas.

Peluang yang ada adalah potensi masyarakat Kaili untuk menjadi model bagi komunitas Muslim lainnya di Indonesia dalam mengembangkan Islam yang rahmatan lil alamin. Yaitu Islam yang tidak hanya memberikan manfaat bagi pemeluknya tetapi juga bagi seluruh alam semesta. Termasuk pelestarian kebudayaan lokal yang merupakan bagian dari kekayaan peradaban manusia.

Refleksi dan Masa Depan Masyarakat Kaili

Cara berislam masyarakat Kaili Sulawesi Tengah dalam perspektif M. Amin Abdullah menunjukkan bahwa Islam sebagai agama universal memiliki kapasitas luar biasa untuk beradaptasi dengan konteks budaya lokal tanpa kehilangan substansi spiritualnya. Fenomena Islam kultural dalam masyarakat Kaili membuktikan bahwa dakwah Islam yang efektif bukanlah yang bersifat impose atau memaksakan, melainkan yang bersifat dialogis dan transformatif.

Model Islam di suku Kaili juga menunjukkan bahwa preservasi budaya lokal dan islamisasi tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan. Sebaliknya, keduanya dapat bersinergi untuk menciptakan peradaban yang kaya, inklusif, dan bermakna. Ini sejalan dengan visi Abdullah tentang model dinamika Islam kultural yang memperhitungkan aspek moralitas, estetika, ekologi, ekonomi, hak-hak asasi manusia.

Ke depan, masyarakat Kaili memiliki tanggung jawab untuk terus mengembangkan dan memperkaya tradisi Islam kultural mereka. Sekaligus menjadi inspirasi bagi komunitas Muslim lainnya dalam menghadapi tantangan pluralitas dan modernitas. Dengan berlandaskan pada filosofi Sintuvu Maroso dan diperkaya dengan wawasan Islam universal. Masyarakat Kaili memiliki potensi untuk memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan peradaban Islam Indonesia yang otentik dan kontekstual.

Studi tentang cara berislam masyarakat Kaili dalam perspektif M. Amin Abdullah ini mengingatkan kita bahwa Islam bukan hanya agama teks, tetapi juga agama konteks. Islam yang hidup dan berkembang adalah Islam yang mampu berdialog dengan budaya lokal. Memberikan makna spiritual pada praktik-praktik kultural, dan menciptakan peradaban yang bermartabat dan berkeadaban. Inilah, mungkin, yang dimaksud Amin Abdullah sebagai dinamika Islam kultural yang autentik dan transformatif.

Editor: Assalimi

Rahmat Balaroa
4 posts

About author
Mahasantri Pondok Shabran UMS Mahasiswa Ilmu Al Qur'an dan Tafsir UMS
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *