Perspektif

Rashdul Qiblah: Metode Tradisional yang Masih Relevan

4 Mins read

Dalam berbagai literatur astronomi Islam di Indonesia, istilah Rashdul Qiblah secara etimologi diartikan “observasi kiblat”. Sementara itu di Malaysia, istilah yang digunakan secara resmi dan konsisten adalah  “istiwa’ a’dzam” yang berarti “kulminasi agung”. Dalam konteks astronomi Islam (ilmu falak), Rashdul Qiblah adalah metode menentukan arah kiblat dengan melakukan observasi posisi matahari pada saat tertentu ketika ia tepat berada di atas Kakbah di Mekah.

Pada saat itu, bayangan benda tegak lurus yang ada di mana saja di permukaan bumi akan menunjukkan arah kiblat secara langsung dan akurat. Pada saat itu deklinasi matahari sama dengan lintang geografis Kakbah, yaitu sekitar 21° 25′ LU. Pada waktu tersebut, matahari berada tepat di Zenit Kakbah, dan bayangan benda apa pun yang berdiri tegak sejajar akan menunjukkan arah kiblat secara langsung dan akurat.

Kapan Terjadi Rashdul Qiblah?

Peristiwa Rashdul Qiblah terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 27 dan 28 Mei pukul 16:18 WIB dan pada tanggal 15 dan 16 Juli pukul 16:27 WIB. Metode ini dianggap sangat praktis karena tidak membutuhkan alat ukur modern seperti theodolit atau kompas, melainkan cukup dengan benda tegak lurus seperti tongkat dan cahaya matahari.

Dalam konteks masyarakat tradisional, ini adalah teknologi astronomi Islam yang ramah, murah, dan mudah diterapkan. Salah seorang tokoh Nusantara yang mengembangkan konsep Rashdul Qiblah dalam menentukan arah kiblat adalah K.H. Muhammad Faqih Maskumambang, dalam bukunya yang berjudul “Raddu al-Ghaflati an al-Ijtihadi fi al-Qiblati”. Hasil kajian Mada Sanjaya WS menyimpulkan bahwa konsep Rashdul Qiblah yang dikembangkan K.H. Muhammad Faqih merujuk Kitab “Tahrir Aqwa al-Adilla fi Tahsil ‘Ain al-Qiblah” karya Habib Usman Mufti Betawi. 

Habib Usman merupakan salah seorang tokoh  yang mengembangkan konsep Rashdul Qiblah di Nusantara. Gagasan ini, kemudian dilanjutkan oleh K.H. Muhammad Faqih untuk melakukan pengamatan konsep Rashdul Qiblah pada tahun 1344 H/1926 M.

Baca Juga  Mana yang Lebih Penting, Ibadah atau Akhlak?

Dalam pandangan Habib Usman, peristiwa Rashdul Qiblah terjadi setiap tahun dua kali, yaitu pada tanggal 30 Mei dan 18 Juli di Tahun 1320 H/1902 M. Menurut Rinto Anugraha sebagaimana dikutip Mada Sanjaya WS, peristiwa Rashdul Qiblah masih akurat untuk dilakukan pengamatan selama rentang waktu 26-30 Mei dan 14-18 Juli setiap tahunnya, sehingga dapat dikatakan konsep Rashdul Qiblah yang dikembangkan K.H. Muhammad Faqih adalah sangat akurat.

Rashdul Qiblah: Perpaduan Ibadah dan Sains

Rashdul Qiblah bukan sekadar metode astronomi Islam, melainkan juga sarana literasi keislaman yang mempertemukan persoalan ibadah dan sains. Dalam konteks ini, kehadiran konsep Rashdul Qiblah memiliki nilai strategis dalam memasyarakatkan astronomi Islam di tengah umat. Dengan menjadikan Rashdul Qiblah sebagai praktik tahunan dan media pembelajaran langsung, mendorong masyarakat untuk memahami keterkaitan antara fenomena langit dan perintah agama.

Di tengah tantangan rendahnya literasi sains umat Islam, pendekatan semacam ini sangat relevan. Ia menjadi contoh bagaimana konsep ilmiah dapat dibumikan melalui pendekatan sederhana namun berbasis dalil syar’i dan data empiris. Dalam konteks pendidikan, ini membuka ruang bagi pengajaran sains berbasis agama yang menyenangkan dan aplikatif, khususnya di lingkungan Kementerian Agama.

Selain itu, Rashdul Qiblah juga memicu kuoriositas masyarakat tentang peredaran matahari, waktu shalat, bahkan arah mata angin, yang semuanya adalah bagian dari astronomi dasar. Literasi semacam ini memperkuat semangat Iqra’ dalam arti luas—membaca alam sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.

Seiring berkembangnya teknologi digital, banyak umat Islam saat ini mengandalkan aplikasi berbasis Play Store dan Apple Apps Store dalam menentukan arah kiblat. Salah satu aplikasi yang banyak diunduh adalah Muslim Pro: Quran Athan Prayer. Aplikasi ini telah diunduh lebih dari 100 juta kali dan menurut situs resmi Muslim Pro, aplikasi ini telah digunakan oleh lebih 170 juta pengguna di seluruh dunia.

Baca Juga  Tiga Tawaran Moderasi Keindonesiaan dari Muhammadiyah

Secara umum aplikasi-aplikasi yang berkembang di tengah masyarakat akurat, meskipun demikian teknologi tersebut tetap membutuhkan validasi lapangan, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti gangguan magnetik, ketidaktepatan posisi, hingga interpretasi pengguna.

Rashdul Qiblah Masih Relevan

Dalam konteks ini, Rashdul Qiblah hadir sebagai alat verifikasi tradisional yang tetap relevan. Ia memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan pengecekan mandiri terhadap arah kiblat dengan mengamati bayangan benda secara langsung saat posisi matahari tepat di atas Kakbah. Dengan begitu, umat Islam tidak semata-mata bergantung pada alat, tetapi memiliki kemandirian ilmiah dan rasa percaya diri dalam praktik ibadah.

Salah satu kekuatan konsep Rashdul Qiblah adalah sifatnya yang universal dan inklusif. Ia tidak terikat pada mazhab fikih tertentu, organisasi keagamaan tertentu, atau pendekatan teknologi tertentu. Dengan kata lain, Rashdul Qiblah merupakan “objective observation” dan tidak berpihak.

Siapa pun bisa mengamati bayangan matahari pada waktu yang ditentukan, dan siapa pun bisa memperoleh hasil yang sama. Dalam dunia Islam yang kadang terfragmentasi oleh perbedaan pandangan keagamaan, Rashdul Qiblah dapat menjadi jembatan menuju persatuan umat.

Dalam praktiknya, metode ini bisa mendorong kolaborasi antar ormas, pesantren, sekolah, dan pemerintah, misalnya pada tahun 1445/2024 Kementerian Agama RI melaksanakan kegiatan “Hari Sejuta Kiblat” yang memperoleh Rekor MURI. Kegiatan ini perlu dilanjutkan dengan menggandeng berbagai ormas besar seperti Muhammadiyah, NU, dan PERSIS mengadakan kampanye “meluruskan arah kiblat”. 

Jika semangat ini diperluas dan difasilitasi secara nasional, akan muncul kesadaran kolektif umat untuk memperbaiki arah masjid dan mushala secara serempak, dan ini tentu berdampak langsung pada kesempurnaan ibadah. Gagasan ini telah ditanamkan oleh K.H. Ahmad Dahlan yang melakukan pengukuran arah kiblat Masjid Gedhe Kauman pada tahun 1315 H/1897 M.

Hal ini sebagaimana dituturkan Kyai Syujak dalam bukunya yang berjudul “Islam Berkemajuan” halaman 37 sampai 39. Awalnya gagasan ini ditolak, namun seiring perkembangan zaman akhirnya gagasan Ahmad Dahlan diterima dan menjadi kesadaran umum dan alam pikiran umat Islam Indonesia.

Baca Juga  Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

***

Di era digital, konsep Rashdul Qiblah masih memiliki daya transformasi yang kuat. Salah satu tantangan besar dalam pengembangan Astronomi Islam di Indonesia adalah keterbatasan ruang dalam kurikulum pendidikan Islam. Rashdul Qiblah dapat menjadi pintu masuk untuk memperkenalkan astronomi Islam secara sistematis dan kontekstual dalam pendidikan formal dan nonformal.

Dalam kurikulum madrasah maupun pesantren, Rashdul Qiblah dapat dikemas sebagai kegiatan lapangan tahunan yang terintegrasi dengan pelajaran fikih, IPA, bahkan geografi. Siswa dapat diajak untuk mengamati bayangan, mencatat waktu, membandingkan hasil dengan aplikasi digital, dan menyusun laporan ilmiah. 

Dengan metode ini, mereka tidak hanya belajar teori, tetapi juga mengalami proses ilmiah yang sesungguhnya. Di sisi lain, pemerintah melalui Kemenag dan instansi terkait juga dapat menjadikan momentum Rashdul Qiblah sebagai bagian dari kalender dakwah dan literasi keagamaan. 

Catatan

Metode Rashdul Qiblah sangat berguna, meskipun demikian, tetap ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, metode ini sangat bergantung pada cuaca cerah dan pengamatan manual yang bisa keliru jika tidak disiapkan dengan benar. Oleh karena itu, perlu adanya pelatihan atau panduan yang jelas agar masyarakat tidak salah menerapkannya.

Kedua, tidak semua orang memahami bahwa waktu Rashdul Qiblah perlu disesuaikan dengan zona waktu setempat. Kesalahan interpretasi waktu bisa menyebabkan hasil yang melenceng. Dalam hal ini, pendekatan yang memadukan teori dan praktik menjadi contoh penting.  ilmu tidak hanya diajarkan, tapi juga dimonitor dalam pelaksanaannya.

Ketiga, dalam konteks masyarakat urban, keterbatasan ruang terbuka dan bayangan yang terganggu oleh bangunan tinggi dapat menyulitkan pengamatan Rashdul Qiblah. Namun demikian, kelemahan-kelemahan tersebut tidak mengurangi nilai penting Rashdul Qiblah sebagai media dakwah ilmiah dan praktik ibadah berbasis sains di era gigital.

Wa Allahu A’lam bi as-Sawab

Editor: Soleh

Avatar
57 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Anti Filsafat: Membaca Ulang Pemikiran Ibn Taimiyyah

4 Mins read
Ketika sejarah mencatat guncangan besar dalam dunia Islam pada abad ke-13, satu nama yang terus bergema hingga hari ini adalah Ibn Taimiyyah….
Perspektif

Dua Wajah Pengurus Masjid

5 Mins read
Kata matsal atau perumpamaan dalam kamus Bahasa Arab Lisanul Arab karangan Imam Ibn Mandhur al-Afriqiy atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Mandzur…
Perspektif

Kiai, Santri, dan Kekuatan Pesantren sebagai Institusi Tradisi

3 Mins read
Keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari konteks kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan Islam di Nusantara. Sejarah pesantren adalah kaleidoskop perjuangan umat Islam dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *