Opini

Empati Sosial sebagai Kunci Kedamaian Bangsa

3 Mins read

Yorke (2019) menyatakan, “If we start to develop humility about our own lived experiences and understand other people more, we will find far greater ties of humanity between us. We all share similar struggles & aspirations. So it will help us to connect more.” Kutipan ini bermakna bahwa kemampuan membangun kerendahan hati dan empati hanya dapat tercapai dengan meresapi pengalaman hidup kita dan memahami orang lain. Dengan demikian, ikatan kemanusiaan akan semakin terjalin di antara sesama, sehingga memperkuat solidaritas sosial.

Dengan penuh harap dan doa kepada Allah SWT, penulis menyusun tulisan sederhana ini. Semoga gejolak demonstrasi masyarakat akibat ketidakpuasan terhadap kinerja wakil rakyat, khususnya DPR/DPRD, dapat berlangsung secara kondusif dan tertib. Ketidakpuasan dan kemarahan masyarakat dipicu oleh kenaikan tunjangan anggota DPR di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan daya beli masyarakat yang terus menurun. Ketidakpuasan ini bahkan berpotensi menjadi bola salju. Mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap pelayanan dan kebijakan pemerintah secara makro, termasuk dalam penegakan hukum dan ketimpangan ekonomi yang semakin nyata.

Di tengah hiruk-pikuk demonstrasi yang bahkan menimbulkan korban jiwa, baik dari pihak pendemo maupun aparat. Demonstrasi besar-besaran sebagai gerakan rakyat (people power) masih dianggap sebagai senjata ampuh untuk mengubah kebijakan di ranah yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Namun, gejolak demonstrasi yang berujung pada kekacauan, kerusuhan, penjarahan, dan kekerasan masih terjadi di beberapa daerah. Dalam kacamata hukum dan tatanan sosial yang beradab, tindakan seperti perusakan fasilitas umum, penjarahan, pemukulan. Serta kekerasan verbal dan fisik yang tidak terkait dengan mekanisme unjuk rasa jelas tidak dapat dibenarkan. Respons pihak yang menjadi sasaran demonstrasi, seperti kepala daerah, anggota DPRD, kepolisian, atau aparat keamanan, pun beragam.

Baca Juga  Di Sumatera Barat: Harapan Lama Sekolah Tinggi, Tapi Beasiswa Kuliah Masih Minim

Hilangnya Simpati Pejabat Wakil Rakyat

Menurut hemat penulis, akar dari gejolak sosial berupa demonstrasi atau unjuk rasa, baik di pusat maupun daerah, adalah menurunnya—bahkan bisa dikatakan hilangnya—rasa empati dari kalangan legislatif. Terutama terkait kenaikan tunjangan jabatan dan cara komunikasi anggota DPR dalam menanggapi tuntutan masyarakat. Pernyataan verbal anggota DPR yang menyebut orang-orang yang ingin membubarkan DPR sebagai “orang terto sedunia” jelas tidak pantas diucapkan. Terlebih lagi, aksi tarian gembira beberapa anggota DPR saat pengumuman kenaikan tunjangan, yang terekspos media massa, di tengah kesulitan ekonomi masyarakat, semakin memperburuk keadaan.

Empati adalah kemampuan untuk merasakan (feeling) dan berbagi (sharing) kondisi yang dialami orang lain. Empati ditunjukkan dengan tidak melakukan tindakan atau sikap yang dapat melukai, menyinggung, memicu kecemburuan, atau membuat orang lain merasa inferior. Sebagai makhluk sosial yang hidup dalam komunitas, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa mempertimbangkan kondisi orang lain di sekitarnya. Hal ini penting untuk menjaga kerukunan dan keamanan sosial di tengah kesenjangan status sosial yang masih cukup lebar. Oleh karena itu, luapan kemarahan masyarakat melalui demonstrasi merupakan akibat dari menurunnya empati wakil rakyat dan penyelenggara negara.

Kekesalan dan aksi anarkis yang memuncak, seperti perusakan fasilitas umum hingga Gedung DPR, terjadi karena tersumbatnya saluran komunikasi. Demonstrasi sebagai wujud demokrasi seharusnya direspons secara langsung dengan komunikasi verbal dan non-verbal yang mampu menenangkan emosi pendemo. Komunikasi yang empatik, tulus, persuasif, dan efektif dapat meredam kemarahan massa. Kehadiran fisik pihak yang menjadi sasaran demonstrasi untuk berdialog akan jauh lebih efektif ketimbang memasang barikade kendaraan atau perisai aparat kepolisian dan TNI. Kehadiran aparat sejatinya harus didampingi oleh pejabat pemerintah, kepala daerah, atau anggota legislatif untuk meredam emosi massa dan mencegah tindakan anarkis.

Baca Juga  Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

Membaur dan Menumbuhkan Empati

Sudah saatnya anggota DPR/DPRD, pejabat publik, dan birokrat lebih arif dan bijaksana dalam mengeluarkan pernyataan. Atau narasi tanpa menghakimi atau menggunakan kata-kata yang memicu kontroversi dan perlawanan dari masyarakat. Rencana kenaikan tunjangan anggota DPR sebaiknya ditunda dan dikaji ulang hingga masyarakat puas dengan kinerja wakil rakyat dan penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah. Perlu diingat, menjadi anggota DPR/DPRD atau pejabat pemerintahan pada hakikatnya adalah menjadi pelayan masyarakat. Bukan atasan atau pesuruh rakyat, apalagi dengan kebijakan yang tidak prorakyat dan justru menyengsarakan masyarakat.

Semoga gejolak demonstrasi disikapi oleh pemerintah dan wakil rakyat dengan mengedepankan dialog yang simpatik dan empatik. Dengan hadir langsung di tengah kerumunan massa, disertai permohonan maaf atas keresahan publik akibat kebijakan yang kurang berempati terhadap kondisi masyarakat. Semoga para pemimpin, penyelenggara negara, dan wakil rakyat semakin memiliki empati yang tinggi dan menyadari bahwa amanat rakyat harus memberikan manfaat positif, bukan hanya untuk memperkaya diri atau memamerkan kekuasaan. Semoga Indonesia tetap damai!

Editor: Assalimi

7 posts

About author
Rudi Haryono adalah seorang akademisi dan dosen di STKIP Muhammadiyah Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta program studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris. Adapun peminatan kajiannya adalah Ilmu Pragmatik (Pragmatics), Pragmatik Lintas Budaya (Intercultural Pragmatics), Bahasa dan Politik (Language and Politics), dan Isu terkait Kepemudaan (Youth Issues). Saat ini juga penulis aktif sebagai Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bogor serta merintis dan mengembangkan SMK Muhammadiyah 9 Nanggung (Muhammadiyah Boarding School/MBS) di Kabupaten Bogor.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *