Di era digital saat ini, realitas tidak lagi kokoh dan pasti. Realitas menjadi cair, mudah dimanipulasi, bahkan dapat dipalsukan dengan sangat meyakinkan. Deepfake, teknologi kecerdasan buatan yang mampu menciptakan wajah, suara, atau identitas digital palsu yang nyaris tak terdeteksi, menjadi contoh paling menakjubkan sekaligus mengkhawatirkan. Di sisi lain, kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism) bekerja secara senyap, melacak setiap klik, like, dan swipe kita untuk dikomersialkan sebagai data.
Kedua fenomena ini membentuk lanskap gaya hidup Generasi Z, generasi digital native yang lahir dan tumbuh dalam ekosistem algoritmik. Ambivalensi pun muncul: teknologi membuka peluang kreativitas, ekspresi diri, dan kebebasan, tetapi juga menghadirkan ancaman serius terhadap autentisitas, privasi, dan otonomi manusia.
Pertanyaan mendasar timbul: bagaimana Islam dengan nilai-nilai luhurnya merespons tantangan ini?
Filsafat Digital dalam Perspektif Islam
Filsafat digital mendorong kita untuk bertanya secara ontologis: apa itu “realitas” di era deepfake? Dalam Islam, realitas bukan sekadar fenomena lahiriah, melainkan hakikat yang ditopang oleh kebenaran (al-haqq). Al-Qur’an menegaskan, “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]: 42).
Deepfake menciptakan dunia yang rentan mencampuradukkan hak dan batil. Video palsu dapat menghancurkan reputasi, merusak kepercayaan publik, bahkan memicu konflik sosial. Dalam kerangka Islam, ini bukan sekadar masalah teknologi, melainkan isu moral yang berkaitan dengan fitnah, kezaliman, dan manipulasi kebenaran. Generasi Z perlu ditanamkan kesadaran bahwa teknologi bukanlah “tuhan baru”, melainkan alat yang harus tunduk pada prinsip haqq.
Epistemologi Digital Berbasis Tabayyun
Epistemologi digital menjadi kabur karena kebenaran bercampur dalam kebisingan data. Kapitalisme pengawasan menimbulkan masalah epistemologis: siapa yang mengendalikan pengetahuan? Data pribadi Generasi Z dikumpulkan, diolah, dan diperdagangkan oleh korporasi global. Algoritma menentukan apa yang mereka lihat, pikirkan, dan percayai.
Islam menekankan pentingnya epistemologi berbasis tabayyun (klarifikasi). Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya” (QS. Al-Hujurat [49]: 6).
Bagi Generasi Z, tabayyun digital menjadi benteng melawan manipulasi informasi. Literasi digital kritis yang berpijak pada etika Al-Qur’an perlu ditanamkan untuk memilah informasi valid dari rekayasa algoritma.
Deepfake dan Etika Digital Berbasis Islam
Aspek terpenting adalah dimensi etika. Baik deepfake maupun kapitalisme pengawasan berpotensi mereduksi manusia menjadi objek manipulasi—baik visual maupun data. Islam menolak reduksi ini, karena manusia adalah khalifah fi al-ardh, subjek aktif yang diamanahi menjaga bumi, bukan sekadar konsumen pasif dalam ekosistem digital.
Berikut adalah prinsip-prinsip etika digital berbasis Islam:
- Keadilan (al-‘adl): Menolak eksploitasi data pribadi untuk kepentingan kapital semata.
- Kejujuran (shidq): Menolak manipulasi realitas melalui deepfake.
- Amanah: Menjaga data dan informasi agar tidak disalahgunakan.
- Ihsan: Menggunakan teknologi untuk kebaikan, bukan hanya keuntungan.
Etika digital Islam bukan sekadar regulasi normatif, melainkan inspirasi praktis bagi Generasi Z untuk menciptakan ruang digital yang sehat, adil, dan memanusiakan manusia.
Pemberdayaan Generasi Z
Generasi Z sering dipandang sebagai korban: korban banjir informasi palsu, kecanduan layar, dan eksploitasi data. Namun, Islam mendorong mereka untuk bangkit sebagai subjek aktif. Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).
Pemberdayaan Generasi Z dalam konteks digital meliputi:
- Literasi kritis: Memahami cara kerja algoritma dan bahaya manipulasi.
- Regulasi partisipatif: Terlibat dalam advokasi kebijakan digital yang adil.
- Kreativitas etis: Menggunakan deepfake untuk pendidikan, seni, atau dakwah kreatif, bukan fitnah.
- Kewirausahaan syariah: Mengembangkan ekosistem bisnis digital yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
Merawat Dunia Digital dari Deepfake
Fenomena deepfake dan kapitalisme pengawasan adalah gejala krisis yang lebih besar: krisis kepercayaan, autentisitas, dan makna. Islam tidak menolak teknologi, melainkan menuntunnya ke arah yang mencerahkan. Dengan fondasi tauhid, Islam menegaskan bahwa teknologi harus diarahkan untuk maslahah (kebaikan), bukan mafsadah (kerusakan). Dengan semangat rahmatan lil-‘alamin, teknologi harus merawat semesta, bukan merusaknya.
Visi ini sangat relevan bagi Generasi Z, yang tidak boleh hanya menjadi konsumen algoritma, tetapi harus tampil sebagai pelopor etika digital global. Mereka bukan hanya generasi masa depan umat, tetapi juga penentu wajah peradaban digital dunia.
Deepfake dan kapitalisme pengawasan mencerminkan ambivalensi zaman digital: menjanjikan kreativitas tanpa batas, namun juga menghadirkan ancaman serius. Islam, dengan filsafat dan etika luhurnya, menawarkan jalan reflektif sekaligus praktis. Dengan literasi kritis, regulasi teknologi yang adil, dan pemberdayaan Generasi Z sebagai subjek aktif, teknologi dapat menjadi taman kreativitas yang mencerahkan, bukan penjara algoritmik. Hanya dengan cara ini, Generasi Z dapat merawat semesta, masa depan, dan kemanusiaan universal.
Editor: Assalimi

