Di era digital yang semakin riuh, media sosial telah berubah menjadi new public sphere—ruang publik baru yang serba terbuka dan mudah diakses. Namun, di balik derasnya arus informasi yang masuk tanpa henti, ada tiga tantangan besar yang harus kita waspadai: keberlimpahan informasi, brutalitas kebebasan berekspresi, dan yang paling mengkhawatirkan, matinya kepakaran.
Tom Nichols, dalam bukunya The Death of Expertise, memberi peringatan tajam: internet bukan sekadar perpustakaan raksasa yang menyimpan pengetahuan, tetapi juga ladang subur bagi kesalahan informasi dan polarisasi. Alih-alih memperluas cakrawala berpikir, internet kerap menjebak penggunanya dalam ilusi pengetahuan dan memperkeruh hubungan sosial. Di balik layar, orang lebih suka menyerang daripada mendengar, dan lebih gemar berdebat daripada berdiskusi.
Banjir Informasi, Miskin Nalar
Ciri khas media sosial adalah banjir informasi tanpa henti. Siapa saja bisa bicara apa saja, dan mereka yang memiliki banyak pengikut sering dianggap benar—meski tidak memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Popularitas digital tak selalu berbanding lurus dengan kepakaran.
Di sinilah bahaya bias informasi dan bias konfirmasi muncul: kita cenderung memilih informasi yang sudah sesuai dengan keyakinan pribadi tanpa menyaring atau menelaah secara kritis. Fenomena ini diperparah oleh Dunning-Kruger Effect—kecenderungan psikologis di mana orang yang minim pengetahuan justru merasa paling benar.
Mereka aktif bersuara di ruang digital, tanpa sadar keterbatasan ilmu yang dimiliki. Ketika standar ilmiah tergantikan oleh logika viralitas, opini paling keras, bukan yang paling valid, yang mendapat panggung utama. Tanpa sadar, kita semua membawa bias konfirmasi: lebih mencari pembenaran daripada informasi.
Brutalitas Kebebasan Berekspresi Media Sosial
Kebebasan berekspresi adalah pondasi penting dalam masyarakat demokratis. Namun tanpa batasan yang jelas, kebebasan bisa menjadi pedang bermata dua. Di media sosial, setiap orang punya hak bersuara, tapi tidak semua suara membawa manfaat. Penyebar hoaks, ujaran kebencian, dan provokator mendapatkan ruang yang sama luasnya dengan akademisi dan praktisi yang berbicara berdasarkan data.
Nanang Sunandar, Direktur Eksekutif Lembaga INDEKS, mencatat bahwa sebagian masyarakat kini justru mengalami phobia terhadap kebebasan berpendapat. Bukan karena anti-demokrasi, melainkan karena kebebasan sering salah kelola. Ketika regulasi tidak mampu membedakan antara kritik yang konstruktif dan ujaran kebencian, antara kebebasan dan kekacauan, publik menjadi gamang untuk bersuara.
Di satu sisi, orang takut disalahkan bahkan dipidanakan karena mengungkapkan kebenaran. Di sisi lain, ada yang merasa bebas menyebar informasi tanpa tanggung jawab. Nanang membedakan dua ruang kebebasan: internum (pribadi dan tak boleh dibatasi) dan eksternum (ruang publik yang bisa dibatasi agar tidak merugikan orang lain). Jadi, yang dibutuhkan bukan pembungkaman, melainkan parameter adil dan transparan untuk membedakan mana hoaks dan mana kritik yang sah.
Peradaban Iqra’ sebagai Solusi
Bagaimana kita menyikapi arus informasi yang meluber ini? Jawabannya ada pada konsep sederhana namun revolusioner: iqra’—bacalah. Ini bukan sekadar perintah membaca, tapi ajakan untuk meneliti, mengkaji, dan memverifikasi.
Peradaban Islam dimulai bukan dari seruan perang atau paksaan iman, melainkan dari dorongan untuk membaca dan berpikir. Iqra’ bukan hanya membaca secara literal, tapi pondasi peradaban yang menempatkan proses berpikir, mengkaji, dan memahami sebagai awal kenabian.
Wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW bukan seruan untuk mengobarkan permusuhan, tapi ajakan mengolah akal dan hati—membaca realitas, teks, dan konteks secara utuh dan etis. Iqra’ mengajarkan kita untuk tak tergesa-gesa menyimpulkan, tidak latah membagikan informasi, dan tidak silau oleh popularitas semu.
Membaca dengan semangat iqra’ berarti menunda penghakiman, melakukan tabayyun, menelusuri sumber, menimbang otoritas, dan memahami dimensi tersembunyi di balik narasi. Inilah literasi epistemik yang diajarkan Islam jauh sebelum istilah itu dikenal dalam teori sosial modern.
KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengutip tafsir Syekh Nawawi al-Bantani bahwa Islam dibangun atas dasar argumen, bukan sentimen. Dalam kerangka ini, tabayyun—memeriksa informasi secara cermat—adalah kewajiban. Al-Qur’an dalam Surah al-Hujurat ayat 6 bahkan memperingatkan agar tak gegabah menyimpulkan tanpa klarifikasi.
Lebih jauh, iqra’ adalah simbol resistensi terhadap simplifikasi. Ia mengajak kita keluar dari pola pikir hitam-putih yang sering menjadi bahan bakar polarisasi di ruang digital. Dengan iqra’, kita melihat realitas secara multi-layered, bukan hanya yang tampak di permukaan.
Matinya Kepakaran di Era Media Sosial
Menghadapi derasnya arus komunikasi digital, penting bagi kita menghayati sabda Nabi: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” Ini bukan ajakan membungkam, tapi panggilan bijak bersuara. Dalam kebisingan virtual, diam mungkin adalah bentuk tertinggi kebijaksanaan, ketika kata tak lagi mampu menyuarakan kebenaran utuh.
Jika kita telaah lebih jauh, The Death of Expertise bukan hanya soal kematian kepakaran secara umum, tapi juga fenomena The Death of Ulama-ship—bukan hilangnya ulama secara fisik, tapi tergerusnya otoritas keulamaan oleh suara non-otoritatif yang viral dan populis.
Di dunia digital, siapa saja bisa bicara agama tanpa proses belajar mendalam, tanpa sanad, bahkan tanpa tanggung jawab epistemik. Hanya bermodal kutipan ayat atau hadits yang sering dipotong konteks, seseorang bisa dianggap berilmu dan dirujuk jutaan orang. Ini wajah baru ilusi pengetahuan, di mana semangat belajar digantikan oleh pencarian instan dan arogansi intelektual tak sadar.
Matinya Keulamaan di Era Media Sosial
Matinya keulamaan bukan karena ulama hilang, tapi karena otoritas mereka didelegitimasi oleh algoritma dan kultur digital yang lebih mengutamakan kecepatan, sensasi, dan popularitas daripada kedalaman ilmu. Ketika pengguna internet lebih percaya pada selebgram dakwah ketimbang fuqaha bertahun-tahun belajar kitab, kita menyaksikan transisi epistemik: dari tradisi keilmuan berbasis sanad dan adab menuju epistemologi viral.
Fenomena ini berimplikasi serius. Dalam masyarakat tradisional, ulama bukan sekadar pengajar agama, tapi penjaga moral dan rujukan etika publik. Ketika peran itu direduksi oleh narasi sepihak yang tidak kapabel, yang lahir adalah kebingungan umat dan fragmentasi nalar keagamaan. Apalagi jika ajaran yang disampaikan bersifat provokatif dan reaktif, mengaburkan maqashid syariah (tujuan luhur syariat), dan menjauhkan umat dari semangat dialog.
The Death of Expertise kini menjelma menjadi The Death of Ulama—ulama masih ada, tapi suaranya terkubur oleh kebisingan digital. Maka yang kita butuhkan bukan sekadar revitalisasi otoritas, tapi pembentukan literasi keagamaan digital yang berlandaskan adab, sanad, dan prinsip iqra’ sebagai fondasi berpikir kritis dan bertanggung jawab.
Editor: Assalimi