Opini

Genetika Politik Ken Arok

4 Mins read

Sejarah politik Nusantara sering kali dibungkus dengan mitos, legenda, dan kisah berdarah yang memantulkan wajah budaya politik bangsa hingga hari ini. Dari sekian banyak tokoh legendaris, nama Ken Arok menempati tempat yang paling dramatis. Pendiri Kerajaan Singhasari ini bukan sekadar figur sejarah, melainkan simbol dari watak politik yang penuh intrik, cinta, pusaka (senjata), dan strategi yang berbalik menjadi karma. Pertanyaan reflektif pun mengemuka: apakah budaya politik kita saat ini masih mewarisi genetika politik Ken Arok?

Cinta sebagai Pintu Kekuasaan

Cinta dalam kisah Ken Arok bukanlah cinta yang murni, melainkan cinta yang menjadi pintu masuk bagi perebutan kekuasaan. Hasrat Ken Arok pada Ken Dedes menjadi pemicu utama dari drama politik yang berakhir dengan berdirinya Singhasari. Cinta, dalam hal ini, menjelma menjadi ambisi. Ken Dedes, yang diyakini memiliki wahyu kerajaan, bukan hanya objek asmara, tetapi simbol legitimasi politik.

Fenomena ini sejatinya masih relevan dengan politik modern: cinta, atau tepatnya, relasi personal, sering dijadikan instrumen politik. Kita melihat bagaimana perkawinan politik, kolaborasi keluarga, bahkan dinasti politik di berbagai daerah di Indonesia masih mewarisi pola serupa. Dengan kata lain, cinta pribadi berubah menjadi instrumen cinta kekuasaan.

Pusaka: Senjata yang Menentukan Takdir

Keris Mpu Gandring menjadi simbol kedua dalam kisah Ken Arok. Pusaka ini bukan sekadar senjata, melainkan metafora bagi alat, instrumen, bahkan teknologi yang menentukan arah sejarah. Dengan keris itu, Tunggul Ametung dibunuh, dan jalan kekuasaan terbuka bagi Ken Arok. Tetapi keris itu pula yang kelak menjadi sumber kutukan: keturunan Ken Arok akan saling berbunuh dengan keris yang sama. Bukankah sudah banyak bukti politisi yang tumbang dengan cara yang sama ketika menumbangkan lawan?

Baca Juga  Mulai dari Indonesia, Inilah Enam Kunci Kebangkitan Kedua Umat Islam

Di era modern, pusaka itu bisa kita baca sebagai teknologi politik, baik berupa media, modal, maupun jaringan. Mereka yang menguasai “pusaka politik” dapat membuka jalan kekuasaan. Namun, sebagaimana keris Mpu Gandring, pusaka politik juga bisa berbalik menjadi kutukan. Media yang digunakan untuk propaganda bisa menghancurkan reputasi sendiri; modal politik yang diperoleh dengan cara curang bisa berbalik menjadi beban hukum; jaringan yang dibangun dengan kecurangan bisa menjadi jebakan di kemudian hari. 

Sejarah politik bangsa kita menyimpan banyak contoh: dari skandal besar hingga kejatuhan mendadak para elit yang dulu tampak berkuasa. Bazzer peliharaan seringkali menggigit tuannya karena tau kelemahan dan menemukan majikan baru yang lebih menguntungkan.

Strategi dan Karma Kekuasaan

Ken Arok adalah contoh teladan bagaimana strategi bisa mengubah nasib seorang penggembala menjadi raja. Ia cerdik, manipulatif, dan lihai membaca celah. Tetapi strategi yang dibangun dengan tipu daya tidak pernah bebas dari karma. Kutukan keris Mpu Gandring adalah simbol metaforis dari hukum sebab-akibat politik: siapa menabur tipu daya, akan menuai kehancuran.

Dalam filsafat politik, hal ini dapat dijelaskan dengan teori Machiavellianisme, di mana penguasa boleh menggunakan tipu muslihat demi kekuasaan. Namun, sejarah juga menunjukkan sisi lain: strategi yang mengabaikan etika akan membawa politik pada lingkaran dendam dan kekerasan. Politik Indonesia hari ini masih sering dihantui oleh politik Machiavellian ala Ken Arok: licik, pragmatis, dan berjangka pendek. Akibatnya, bangsa sulit membangun budaya politik yang beradab.

Genetika Politik: Warisan Ken Arok?

Pertanyaannya: apakah budaya politik kita hari ini merupakan genetika politik Ken Arok? Dalam arti tertentu, ya. Kita masih melihat politik yang didorong oleh ambisi pribadi, bukan cita-cita kolektif. Kita masih menyaksikan pusaka politik berupa modal, media, dan jaringan digunakan untuk membunuh karakter lawan. Kita masih melihat cinta ”atau relasi keluarga” digunakan sebagai legitimasi dinasti politik. Dan yang paling jelas, kita masih hidup dalam strategi yang lebih mementingkan tipu daya ketimbang etika.

Baca Juga  Sekularisasi, Langkah Akhiri Absolutisme Agama

Di sinilah pentingnya refleksi filosofis. Politik seharusnya bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan ruang untuk menghadirkan kebaikan bersama (bonum commune), dalam bahasa islam disebut sebagai maslahah mursalah yang mengarah pada rahmatan lil ’alamin. Aristoteles, dalam Politica, menegaskan bahwa politik adalah seni tertinggi karena ia menentukan arah kehidupan bersama. Namun, bila politik hanya dipahami dalam logika Ken Arok, ia hanya melahirkan lingkaran karma yang terus menghantui generasi berikutnya.

Teori Politik dan Cermin Sejarah

Kisah Ken Arok dapat dibaca dengan berbagai teori politik:

Teori Elit Gaetano Mosca dan Pareto: kekuasaan selalu berputar di tangan segelintir elit yang mampu menguasai instrumen legitimasi. Ken Arok adalah bukti klasik bagaimana elit baru merebut kekuasaan dari elit lama dengan instrumen yang lebih kuat. Kuat secara logistic, pusaka dan strategi.

Teori Kekuasaan Foucault: kekuasaan bukan hanya soal siapa yang berkuasa, melainkan jaringan strategi dan instrumen yang menciptakan kebenaran baru. Ken Arok tidak hanya merebut tahta, tetapi juga membentuk narasi bahwa dialah pemilik wahyu kerajaan. Pada era digital, kemenangan sejati adalah kemenangan narasi, mengubah persepsi maling menjadi dewa, Sangkuni menjadi Khrisna, bajingan menjadi pandita. Di era ini lahirlah tentara buzzer yang bekerja seperti siluman.

Realpolitik Machiavelli: dalam Il Principe, penguasa yang berhasil adalah mereka yang pandai memanfaatkan kesempatan dengan kelicikan. Ken Arok adalah prototipe pangeran Machiavellian dari tanah Jawa. Kelicikan, keculasan, manipulatif, penipuan, menjadi strategi lumrah yang kadang direstui atas nama kemenangan.

Namun teori-teori itu juga mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa etika hanya menciptakan siklus dendam. Dari Ken Arok hingga politik kontemporer, kita melihat pola yang sama: kekuasaan datang dengan tipu daya, tetapi pergi dengan tragis. Sayangnya ambisi kekuasaan sering membuat orang lupa belajar pada tragedi sejarah.

Baca Juga  Literasi Instan dan Bahaya ‘Tuhan-Tuhan Kecil’ dalam Masyarakat Modern

Membangun Budaya Politik yang Beradab

Jika kita ingin memutus genetika politik Ken Arok, kita perlu menghadirkan budaya politik baru yang berbasis pada etika, transparansi, dan tanggung jawab. Cinta harus kembali ke makna sejatinya: cinta pada rakyat dan kemanusiaan. Pusaka harus dimaknai sebagai instrumen ilmu, teknologi, dan regulasi yang mensejahterakan, bukan membunuh. Strategi harus berbasis visi jangka panjang, bukan tipu daya sesaat. Meskipun tampak seperti mimpi, namun kehidupan harus dimulai dari mimpi, mimpi tentang cerita dongeng baldatun toyyibatun wa robbun ghofur.

Politik yang baik adalah politik yang memberi ruang bagi keadilan dan kesejahteraan. Inilah makna filosofis dari karma yang harus kita ubah: jangan biarkan generasi mendatang mewarisi dendam, intrik, dan kutukan. Kita perlu menghadirkan politik yang menanamkan balas budi, bukan pengkhianatan; membangun harapan, bukan dendam; menghadirkan cinta sejati, bukan cinta kekuasaan.

Ken Arok adalah cermin bagi politik kita. Cinta, pusaka, dan strategi memang bisa melahirkan kerajaan, tetapi juga bisa menciptakan kutukan. Warisan Ken Arok adalah pelajaran bahwa kekuasaan yang dibangun tanpa etika akan berbuah karma. Jika kita tidak belajar dari sejarah, genetika politik itu akan terus hidup dalam tubuh bangsa. Kini saatnya kita merumuskan politik yang lebih beradab, yang berpijak pada etika, dan yang menghadirkan cinta sejati kepada rakyat. Hanya dengan begitu kita bisa memutus lingkaran karma kekuasaan dan membangun peradaban politik yang tercerahkan.

Editor: Soleh

Avatar
44 posts

About author
Dekan FEBI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *