Opini

Fathul Qadir: Warisan Tafsir Linguistik Imam Asy-Syaukani

4 Mins read

Imam Muhammad Asy-Syaukani (1173–1250 H/1759–1834 M) adalah ulama besar, qadi, ahli fikih, sekaligus mujaddid dari Yaman. Ia lahir di Sana’a pada 28 Dzulqa’dah 1173 H/1759 M dan dikenal dengan nama Asy-Syaukani, yang dinisbatkan kepada desa Syaukan. Berasal dari keluarga Syiah Zaidiyah, ia dididik oleh ayahnya, seorang ulama dan qadi terkemuka. Namun, setelah mendalami hadis dan pemikiran ulama Ahlusunnah, ia beralih ke mazhab Sunni dan menyerukan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama ajaran Islam. Asy-Syaukani wafat pada malam Rabu, Jumadil Akhir 1250 H/1834 M, pada usia 76 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Khuzaimah setelah disalatkan di Masjid Jami’ Kabir Sana’a.

Selayang Pandang Imam Asy-Syaukani

Sejak muda, Asy-Syaukani tekun mempelajari sejarah, adab, hadis, dan Al-Qur’an, hingga menguasai berbagai cabang ilmu serta menghafal banyak matan penting. Sebelum berusia 20 tahun, ia telah dipercaya memberikan fatwa, dan menjelang usia 30 tahun, ia mencapai derajat mujtahid mandiri serta melepaskan keterikatan dari mazhab Zaidiyah. Ia belajar dari ayahnya terlebih dahulu, kemudian berguru kepada sejumlah ulama di Sana’a, seperti Abdullah bin Isma’il al-Nahwi, Abdurrahman bin Qasim al-Madani, al-Qasim bin Yahya al-Khaulani, Ahmad bin Muhammad al-Harazi, Ahmad bin Amir al-Hada’i, Ismail bin Hasan, dan Yahya bin Muhammad al-Hausi.

Selain menimba ilmu, Asy-Syaukani juga mengajar banyak murid, termasuk putranya, Ali bin Muhammad, serta ulama lain seperti Ahmad bin Abdullah al-Dhadhi, Ahmad bin Ali bin Muhsin, Ismail bin Ibrahim, al-Sayyid Hasan al-Ruba’i, al-Hasan, al-Husain bin Yahya al-Salafi, Abdurrahman al-Bahlaki, dan Abdurrahman al-Anisy. Ia menghasilkan karya besar dalam berbagai disiplin ilmu. Di antaranya 5 kitab tafsir, 11 kitab hadis, 20 kitab akidah, 74 kitab fikih, 3 kitab mantiq, dan 29 kitab tasawuf. Beberapa karya terkenalnya adalah al-Fawāid al-Majmū‘ah, al-Badr al-Ṭāli‘, Tuḥfah al-Ḍākirīn, Nail al-Auṭār, Irsyād al-Faḍīlah, al-Dawā’ al-‘Ājil, al-Sa‘il al-Jarrār, dan Fath al-Qadīr. Dalam al-Badr al-Ṭāli‘, ia menyebut telah menulis 96 kitab dan risalah, meskipun mengakui masih ada karya lain yang belum tercatat.

Baca Juga  Pelarangan Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah: Catatan Hitam Toleransi Kita

Profil Tafsir Fathul Qadir

Kitab Fath al-Qadir edisi Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah (Beirut, 1994) terdiri atas lima jilid yang ditahqiq oleh Ahmad Abdus Salam, dimulai dari muqaddimah hingga tafsir Surah An-Nas. Latar belakang penyusunan kitab ini berasal dari kegelisahan Asy-Syaukani terhadap kecenderungan tafsir pada masanya. Ia menilai banyak tafsir terlalu berfokus pada aspek bahasa Arab sehingga sulit dipahami oleh orang awam. Selain itu, mayoritas mufasir hanya mengandalkan riwayat sahabat dan tabi‘in tanpa penjelasan, padahal tidak semua riwayat tersebut sahih.

Penyusunan Fath al-Qadir mengikuti sistematika tertentu, yaitu menyebutkan nama surah, menegaskan status Makkiyah atau Madaniyah. Serta mencantumkan perbedaan pendapat dan keutamaan surah. Asy-Syaukani juga menjelaskan qira’at, makna bahasa dengan merujuk pada syair Arab, serta riwayat terkait ayat. Penafsirannya menggunakan metode tartib al-mushafi, dimulai dari aspek bahasa hingga riwayat, termasuk pada surah-surah pendek di juz 30 yang ditafsirkan secara ringkas namun tetap sistematis.

Tafsir Fath al-Qadir memadukan dua metode, yaitu tafsir bi al-riwayah (berbasis riwayat atau tafsir bi al-ma’tsur) dan tafsir bi al-dirayah (berbasis penalaran atau tafsir bi al-ra’yi). Tafsir bi al-riwayah merujuk pada penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, sunnah, pendapat sahabat, dan tabi‘in. Sedangkan tafsir bi al-dirayah menekankan ijtihad dan penalaran rasional berdasarkan penguasaan bahasa Arab, asbab an-nuzul, naskh-mansukh, dan ilmu-ilmu terkait. Pendekatan ini menonjolkan aspek kebahasaan dan rasionalitas, meskipun ulama berbeda pendapat mengenai tafsir bi al-ra’yi karena hasil ijtihad bisa benar atau salah.

Dalam Fath al-Qadir, Asy-Syaukani menggunakan metode tahlili dengan mengikuti urutan mushaf, menjelaskan keistimewaan dan tempat turunnya surah, perbedaan qira’at, serta memanfaatkan ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan i‘rab. Tafsir ini juga membahas asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, tarjih, hukum-hukum ayat, serta riwayat Nabi, sahabat, dan tabi‘in. Coraknya kuat pada tafsir lughawi karena Asy-Syaukani menekankan analisis linguistik dalam menjelaskan redaksi ayat melalui berbagai cabang ilmu bahasa.

Baca Juga  Tafsir al-Muyassar: Panduan Praktis Memahami Al-Qur’an untuk Kalangan Awam

Contoh Penafsiran dalam Kitab Fath al-Qadir

Berikut adalah contoh penafsiran dalam Surah Al-A‘raf (7): 182:

وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ

Artinya: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (menuju kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-A‘raf [7]: 182)

Dalam penafsiran ayat ini, Asy-Syaukani menjelaskan bahwa orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah akan ditarik secara perlahan menuju kebinasaan. Kata sanastadrijuhum memiliki makna menarik secara bertahap. Istilah ad-darj merujuk pada proses membungkus sesuatu, seperti dalam ungkapan adrajtuhu atau darajtuhu, yang menggambarkan memasukkan mayat ke dalam kafan. Beberapa ulama mengaitkan ad-darajah (derajat) dengan konsep al-istidraj, yaitu proses melangkah dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya hingga mencapai tujuan tertentu. Contohnya, daraja ash-shabiy menggambarkan langkah pendek bayi, sedangkan adraja al-kitab berarti membalik halaman buku secara perlahan. Istilah daraja al-qaum merujuk pada kematian bertahap suatu kelompok.

Metode Tafsir Kitab Karya Imam Asy-Syaukani

Menurut Asy-Syaukani, ayat ini menunjukkan bahwa Allah membiarkan mereka menikmati kenikmatan duniawi, sehingga mereka lupa bersyukur. Akibatnya, mereka semakin tenggelam dalam kesesatan dan semakin jauh dari petunjuk Allah karena kelalaian mereka. Dalam penafsirannya, Asy-Syaukani menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi dan pendekatan kebahasaan (lughawi). Ia menafsirkan sanastadrijuhum dengan dua makna utama: pertama, menarik secara bertahap, dan kedua, melalui proses tahap demi tahap. Ia menyimpulkan bahwa ayat ini menggambarkan bagaimana Allah memberikan kenikmatan kepada orang-orang yang mendustakan ayat-Nya, tetapi mereka justru semakin lalai, sehingga terjerumus dalam kesesatan dan semakin jauh dari petunjuk Allah.

Pernyataan ini sejalan dengan makna istidraj, yaitu keadaan di mana seseorang ditarik secara bertahap menuju akibat perbuatannya. Allah memberikan kenikmatan, tetapi hal itu membuat mereka lalai bersyukur, sehingga semakin terjerumus dalam kesesatan.

Baca Juga  Apakah Korupsi Jadi Cerminan Sikap Pragmatisme Masyarakat Indonesia?

Muhammad Asy-Syaukani (1173–1250 H/1759–1834 M) adalah ulama besar Yaman yang awalnya bermazhab Syiah Zaidiyah. Tetapi beralih ke Sunni setelah mendalami hadis. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu, menjadi mufti sebelum usia 20 tahun, berijtihad mandiri sebelum usia 30 tahun, dan menghasilkan banyak karya, termasuk tafsir terkenalnya, Fath al-Qadir. Tafsir ini, yang berjudul lengkap al-Jāmi‘ Baina Fanni ar-Riwāyah wa ad-Dirāyah min ‘Ilm at-Tafsīr. Memadukan tafsir bi al-riwayah dan bi al-dirayah dengan metode tahlili dan corak linguistik (tafsir lughawi).

Editor: Assalimi

Haya Naila Alfi Chasuna
3 posts

About author
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al Ishlah (STIQSI) Lamongan
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *