ASAP putih membubung dari cerobong Kapel Sistina pada Kamis sore, 8 Mei 2025, menjadi pertanda bahwa Gereja Katolik telah memilih pemimpin barunya.
Ribuan umat Katolik dari berbagai penjuru dunia yang memadati Lapangan Santo Petrus serempak bersorak, bersedekap doa, dan merekam momen bersejarah itu dengan penuh haru.
Denting lonceng basilika menggema, menambah kekhidmatan atmosfer spiritual yang tak hanya dirasakan umat Katolik, tetapi juga menggetarkan batin.
Beberapa saat kemudian, dari balik tirai merah balkon utama Basilika Santo Petrus, Kardinal Dominique Mamberti muncul dan mengumumkan “Habemus Papam”.
Nama yang disebut mengejutkan sekaligus membesarkan hati: Kardinal Robert Francis Prevost, O.S.A., seorang misionaris yang lama melayani di Peru dan dikenal karena kedekatannya dengan kaum marginal.
Ia memilih nama Leo XIV, nama yang sarat makna dan menandakan semangat kepemimpinan yang progresif namun tetap berakar pada tradisi.
Terpilihnya Paus Leo XIV bukan sekadar pergantian pemimpin spiritual bagi 1,3 miliar umat Katolik dunia.
Ia adalah simbol harapan baru, terutama dalam hubungan Islam-Katolik yang selama ini berjalan di tengah bayang-bayang sejarah panjang, baik konflik maupun kolaborasi.
Lantas, apa makna sesungguhnya dari kehadiran Paus Leo XIV bagi masa depan dialog dan perdamaian antarumat beragama, khususnya antara Islam dan Katolik?
Paus Leo XIV dan Tanggung Jawab Lintas Iman
Pertama, hubungan antara Gereja Katolik dan umat Islam telah terbentuk sejak abad ke-7, ditandai dengan dinamika yang kompleks: mulai dari konflik ideologis dan militer seperti Perang Salib, hingga masa-masa pertukaran intelektual dan diplomasi antarbangsa.
Selama berabad-abad, kecurigaan dan prasangka memperkeruh relasi dua agama samawi ini. Namun, sejak Konsili Vatikan II (1962–1965), khususnya melalui dokumen Nostra Aetate, Gereja Katolik mulai menegaskan sikap terbuka terhadap Islam dan mendorong dialog yang lebih setara.
Paus-paus modern seperti: Paus Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus memainkan peran penting dalam membangun jembatan dialog, dengan berbagai pertemuan simbolik dan pernyataan yang menekankan pentingnya perdamaian antarumat beragama.
Kini, dunia menghadapi tantangan global yang tak mengenal sekat agama—ekstremisme, krisis kemanusiaan, perubahan iklim, hingga ketimpangan sosial.
Semua itu menuntut kerja sama lintas iman yang bukan sekadar wacana, melainkan tindakan kolektif demi menyelamatkan kemanusiaan dan bumi yang kita huni bersama.
Paus Leo XIV dan Harapan Global
Paus Leo XIV lahir dengan nama Robert Francis Prevost di Chicago, Amerika Serikat, pada 14 September 1955.
Sebelum menapaki tangga kepausan, ia adalah seorang Imam Ordo Santo Agustinus (O.S.A) yang dikenal rendah hati dan aktif dalam pelayanan misioner, terutama di Peru.
Di sana, ia mengabdikan puluhan tahun hidupnya untuk mendampingi komunitas miskin di daerah pedalaman, membangun sekolah, dan memperjuangkan hak-hak masyarakat.
Ia kemudian menjabat sebagai Prefek Kongregasi untuk Para Uskup, posisi penting yang menandai kedekatannya dengan pusat pengambilan keputusan di Vatikan.
Paus Leo XIV dikenal memiliki pandangan yang inklusif dan dialogis terhadap agama lain.
Ia beberapa kali terlibat dalam forum lintas iman, khususnya yang membahas kemiskinan, migrasi, dan perdamaian global.
Di Peru, ia menjalin hubungan baik dengan komunitas Muslim setempat, termasuk mendukung pembangunan ruang ibadah yang layak bagi mereka.
Dalam pidato pertamanya sebagai Paus, ia menyampaikan pesan kuat: “Kita semua adalah anak-anak Sang Pencipta. Tak ada jalan menuju perdamaian kecuali melalui penghormatan, pengertian, dan persaudaraan lintas iman.”
Sebuah pernyataan yang memperlihatkan arah kepemimpinannya: menjadikan Vatikan rumah dialog bagi dunia yang terbelah.
Jembatan Perdamaian Lintas Iman
Terpilihnya Paus Leo XIV banyak yang berharap ia dapat menjadi jembatan perdamaian dalam konflik-konflik berkepanjangan yang melibatkan umat Islam, seperti krisis kemanusiaan di Palestina, penderitaan etnis Rohingya di Myanmar, dan kehancuran sosial di Suriah.
Sebagai pemimpin agama yang dihormati secara global, yang memiliki kekuatan untuk memengaruhi opini publik dunia dan mendesak para pemimpin politik agar duduk bersama di meja damai.
Lebih dari itu, banyak pihak melihat peluang besar bagi kerja sama konkret antara Gereja Katolik dan komunitas Muslim di bidang pendidikan, terutama dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi, keadilan sosial, dan pluralisme.
Di bidang kemanusiaan, kolaborasi antara lembaga amal Katolik dan organisasi Islam bisa memperkuat respon terhadap bencana, pengungsi, dan kelaparan.
Sementara dalam isu lingkungan hidup, ajaran Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ membuka jalan bagi aliansi lintas agama dalam menghadapi krisis iklim.
Paus Leo XIV diharapkan melanjutkan dan memperluas inisiatif-inisiatif ini sebagai warisan spiritual untuk generasi yang akan datang.
***
Walhasil, jalan perdamaian lintas iman senantiasa dihadapkan pada berbagai tantangan. Intoleransi yang mengakar, politik identitas yang memecah, serta radikalisme yang tumbuh dari ketakutan dan prasangka terus membayangi upaya membangun dialog yang jujur dan terbuka.
Situasi ini kian rumit dengan memburuknya ketegangan geopolitik global—dari invasi Rusia ke Ukraina, konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina, hingga perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat serta sengketa Laut Cina Selatan—yang semuanya memperbesar jurang perpecahan dan mempersempit ruang bagi semangat saling pengertian antarbangsa maupun antariman.
Dalam konteks ini, kepemimpinan Paus Leo XIV diuji: bukan hanya menghadirkan gestur simbolik, tetapi juga membangun pendekatan struktural dan berkelanjutan yang menyentuh akar permasalahan.
Peluang itu terbuka lebar, mulai dari forum lintas agama, deklarasi perdamaian bersama, hingga aksi sosial kolaboratif seperti penanganan pengungsi, pendidikan damai, atau konservasi lingkungan, bisa menjadi ladang kerja sama yang konkret.
Dengan kepemimpinan yang inklusif dan berani, Paus Leo XIV dapat menyatukan umat manusia, bukan karena keseragaman iman, tetapi karena semangat persaudaraan lintas keyakinan.
Editor: Soleh