Mungkin Anda jarang mendengar cerita ini. Ini memang bukan cerita populer sekalipun di kalangan Muhammadiyah. Tidak seperti cerita Kiai Dahlan bermain piano. Atau cerita tentang ia melelang hartanya untuk menghidupi organisasi.
Ini adalah cerita yang tidak populer. Mungkin karena dianggap “kesalahan”. Kenapa kesalahan? Mari kita bahas.
Dulu, di tahun 1924, ada dua ulama dari India yang datang ke Yogyakarta. Namanya Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Tahun itu Muhammadiyah masih berumur jagung. Kiai Dahlan baru saja berpulang setahun sebelumnya.
Dua orang ini adalah mubaligh Ahmadiyah. Alirannya Lahore. Saat itu belum ada isu Ahmadiyah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sehingga kedatangan kedua mubaligh ini disambut baik oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah di Jogja.
Mereka bahkan sampai menganggap Ahmadiyah adalah kakak dari Muhammadiyah. Pertama tentu karena kemiripan nama. Kedua karena kemiripan ideologi: pembaruan Islam. Dua hal ini membuat keduanya seolah-oleh bersaudara. Bahwa Ahmadiyah dianggap kakak itu karna dua hal. Pertama, Ahmadiyah lahir lebih dulu. Kedua, Ahmadiyah lebih sukses berdakwah di luar negeri, terutama di Eropa.
Karena kedekatan ini, Muhammadiyah mengirim empat kader terbaiknya untuk sekolah di Lahore. Di sebuah kampus bernama Ishaat Islamic College Lahore, kampus milik Ahmadiyah. Lahore dulu berada di wilayah India yang masih dikuasai Inggris. Sekarang masuk ke wilayah Pakistan.
Empat orang itu adalah Djoemhan bin H.A. Dachlan Moehammady, Sabitoen bin H. Abdoelwahab, Djoendab bin H. Moechtar, dan Ma’soem bin Abdoelhamid. Djoemhan setelah lulus dari Lahore mengganti nama menjadi Erfaan Dahlan. Ini adalah putra kelima Kiai Dahlan dari istri pertama, Nyai Walidah. Ia dan ketiga kawannya itu merupakan alumni Kweekschool Moehammadijah yang sekarang dikenal dengan Madrasah Muallimin/Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta.
Mereka berangkat dengan beasiswa Fonds Dachlan atau Dahlan Foundation dalam Bahasa Inggris. Fonds Dachlan diketuai oleh Haji Fachrodin.
Pada akhirnya hanya Erfaan yang berhasil lulus dari Lahore. Satu temannya pulang karena sakit, dua lagi pulang karena kesulitan mengikuti perkuliahan. Erfaan lulus setelah enam tahun belajar.
Ketika putra Kiai Dahlan ini sedang asik belajar nun jauh di sana, di Jogja terjadi gonjang-ganjing politik yang cukup serius. Satu tahun setelah keberangkatan empat kader ini, Haji Rasul datang ke Jogja. Haji Rasul adalah tokoh Muhammadiyah di Sumatra Barat. Ia adalah bapak dari tokoh besar yang kita kenal dengan nama Buya Hamka.
Di Jogja, Haji Rasul menyebarkan paham bahwa Ahmadiyah itu sesat. Tentu karena Ahmadiyah dianggap meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ia debat dengan Ahmad Baig. Tokoh-tokoh Muhammadiyah mulai menjaga jarak dengan Ahmadiyah.
Perselisihan ini semakin tajam ketika Jogja kembali kedatangan ulama lain. Kali ini bukan dari Sumatra Barat, tapi dari India itu sendiri. Tempat di mana Ahmadiyah lahir. Ulama ini datang di tahun 1927. Namanya Abdul ‘Alim Siddiq al-Qadiri. Ia melakukan hal yang sama dengan Haji Rasul. Maka di sinilah perseteruan tajam Muhammadiyah dengan Ahmadiyah semakin serius.
Maka ketika Erfaan pulang, ia bingung. Di satu sisi, ia adalah anak dari pendiri Muhammadiyah. Di sisi lain, ia sudah belajar di kampus Ahmadiyah selama enam tahun. Maka setelah tinggal di Jogja selama enam bulan, ia memilih pergi. Ia hijrah ke Thailand, di bagian selatan yang banyak muslimnya. Ia membangun keluarga di sana. Anak cucunya sampai sekarang masih di sana.
Ada versi sejarah yang berbeda. Anak cucunya meyakini Erfaan tidak pernah pulang ke Jogja setelah selesai kuliah di Lahore. Dari Lahore, ia langsung ke Thailand karena tau telah terjadi perseteruan tajam di Jogja. Perseteruan yang menyulitkan posisinya di kampung halamannya sendiri.
Najib Burhani dalam penelitiannya meyakini bahwa Erfaan pulang selama kurang lebih enam bulan. Sebelum nanti pergi lagi ke Negeri Gajah Putih.
Sebenarnya ini bukan cerita tentang hubungan Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Bukan pula tentang dilema Erfaan Dahlan. Tapi tentang bagaimana sejak awal Muhammadiyah sudah membentuk badan untuk memberangkatkan kader-kader terbaiknya melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negeri.
Gerakan ini sudah dimulai persis seabad lalu: 1924. Jika gerakan hari ini masih sama, berarti selama satu abad kita tak pernah maju. Hanya jalan di tempat.
Editor: Soleh