Islam telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas masyarakat Betawi. Sebutan “Betawi” sendiri lazim disematkan kepada penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Buya Hamka mencatat bahwa selama lebih dari tiga abad penjajahan Belanda, hampir tidak ada anak Betawi yang berpindah agama ke Kristen—menunjukkan kuatnya keimanan masyarakat Betawi, meski hidup dalam keterbatasan ilmu pengetahuan. Tulisan ini akan mengulas mengenai sebuah kitab yang menjadi warisan ulama Betawi yang monumental hingga hari ini.
Tiga pilar utama yang mengokohkan relasi orang Betawi dengan Islam adalah pendidikan agama sejak dini, prioritas pendidikan agama oleh orang tua, serta keberadaan ustaz di tiap kampung yang mengajar ngaji secara sukarela karena Allah Swt.
Ulama Betawi dan Jejak Keilmuannya di Makkah
Kebiasaan menuntut ilmu agama tidak berhenti saat dewasa. Banyak orang Betawi yang terus belajar kepada guru-guru agama, beberapa di antaranya pernah menimba ilmu di Makkah. Snouck Hurgronje bahkan mencatat kehadiran Syekh Junaid al-Batawi, ulama asal Betawi yang telah mengajar di Masjidil Haram sejak 1834, sebagai bukti awal keterlibatan ulama Betawi di pusat keilmuan Islam dunia.
K.H. Saifuddin Amsir lahir di Jakarta pada 31 Januari 1955 dari keluarga sederhana. Pendidikan agamanya dimulai dari lingkungan keluarga dan dilanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyah al-Washliyah. Ia memperdalam ilmu secara otodidak dengan berguru kepada ulama-ulama terkemuka seperti K.H. Abdullah Syafi’i, Muallim Syafi’i Hadzami, dan Habib Abdullah bin Husein Syami al-Attas. Di bawah bimbingan para ulama tersebut, ia menamatkan karya-karya klasik seperti Minhajuth Thalibin dan Bughyatul Mustarsyidin.
Ulama betawi itu juga juga menempuh pendidikan tinggi di Universitas Islam Asy-Syafi’iyah dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kariernya sebagai ahli fikih membawanya menjadi Rais Syuriah PBNU hingga 2015. Ia juga menerima penghargaan Fiqih Award serta dipercaya sebagai Duta Fiqih Indonesia. Dalam pesannya, ia berwasiat:
“Bila ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan sekali-kali meninggalkan ulama.”
(Afkarina, 2023)
Kitab Magnum Opus: Al-Qur’an ‘Ijaazan wa Khawwashan wa Falsafatan
Kitab Al-Qur’an ‘Ijaazan wa Khawwashan wa Falsafatan merupakan karya monumental K.H. Saifuddin Amsir yang diluncurkan pada 28 Ramadhan 1432 H. Karya ini tidak hanya mendapat perhatian dari dalam negeri, tetapi juga diteliti oleh kalangan sarjana internasional.
Kitab ini merupakan tafsir falsafi yang memadukan tiga aspek: kemukjizatan (i‘jaz), kekhususan (khawwash), dan filsafat (falsafah) Al-Qur’an. Di dalamnya, ia merujuk pada karya-karya besar seperti Jawahir al-Qur’an, al-Zahab al-Ibriz, dan Qanun al-Ta’wil karya Imam al-Ghazali, serta referensi lain seperti Fada’il al-Qur’an, ‘Aja’ib al-Qur’an, dan al-Durr al-Nazim.
Dengan rujukan mendalam pada khazanah klasik, kitab ini memperkuat posisi ulama Betawi sebagai bagian dari ulama Nusantara dalam diskursus tafsir dan pemikiran Qur’ani. Tujuan utamanya adalah mengajak umat Islam memahami kedalaman makna Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pegangan hidup di tengah kompleksitas zaman modern.
Editor: Assalimi