Perspektif

Tak Perlu Fanatik Buta pada Nasab

3 Mins read

Sudah dua tahun terakhir, publik kita diriuhi dengan kebingungan demi kebingungan. Publik sudah cenderung lama berputar dalam lingkaran  ambiguitas, ujaran tidak mengenekan tersebar luas dari satu kelompok untuk kelompok lain. Polemik nasab menjadi sorotan banyak pihak dan dari masing-masing mengutarakan pendapatnya dengan semangat yang berapi-api.

Isu demikian tidak hanya direspon oleh elite muslim, melainkan suara akar rumput pun saling sahut menyahut. Tentu saja suasana yang sedemikian adanya menjaadi potensi besar atas disintegrasi sosial dan lahirnya kebingungan bahkan frustasi atas ketidakpuasan umat pada figur-figur yang memegang otoritas.

Manakala umat kebingungan atas apa dan siapa yang harus menjadi peganganannya, maka tak dapat dielakkan tindakan destruktif bahkan kekerasan akan membuntutinya. Artinya, ketika keadaan yang sedemikian adanya tidak dapat dibendung dan diakhiri, dapat dikatakan bahwa agama sudah mulai kehilangan pengaruh dan relevansinya, Rahmatan Lil ‘Alamin.

Polemik nasab yang menjadi isu sentral mutakhir adalah isu yang berkait-kelindan dengan agama, yang dari sini lahir reaksi umat yang beragam dan ambigu, sebagaimana Mun’im A Sirry (2003) mengatakan bahwa “dengan sentimen keagamaan, maka setiap gerakan akan menghasilkan kekuatan dahsyat”, maka tidak heran banyaknya gerakan yang lahir dari polemik ini.

***

Polemik ini bermula dari tesis Imaduddin Usman yang menggugat garis keturunan para habaib, namun tidak tahu mengapa hal demikian menjadi induk perdebatan sengit di kalangan umat muslim di Indonesia. Yang seyogyanya dalam hal ini, kita harus memasang dada dan pikiran yang lebih lapang dengan menggunakan kacamata ilmiah yang lebih jernih dalam merespon dan mengkritisinya.

Toh juga, tradisi intelektual terdahulu tidak terlepas dari sebuah kritik atas suatu pandangan dari siapapun. Misalnya kritik Syeikh Nawawi al-Bantani terhadap statemen Al-Ghazali mengenai siksaan bagi orang pintar yang tidak mengamalkan ilmunya adalah seribu kali lipat daripada orang bodoh yang tidak mengamalkan ilmunya, menurut Syeikh Nawawi siksaan seribu kali terhadap orang alim hanya dihitung dari kwantitasnya saja sementara secara kwalitasnya, bisa jadi satu siksaan bagi orang bodoh lebih menyakitkan (maroqil ‘ubudiyah syarah bidayatul hidayah).

Baca Juga  Makna Kalimat Hompimpa Alaium Gambreng Ternyata Islami

Sebagaimana Syeikh Nawawi, sebuah produk keilmuan harus diteliti dengan keilmuan juga, dengan kata lain tidak layak suatu pendapat ilmiah disambut dengan perasaan yang tidak mengenakkan, kendati itu salah, salahkan secara ilmiah.

Kehancuran Seringkali Lahir dari Kefanatikan Buta

Tidak salah kita menghormati dan terus mengikuti jejak langkah para figur, siapapun itu, yang terpenting ia memiliki otoritas dalam keilmuan (moralitas dan intelektualitas yang tinggi), sekalipun ia dari keturunan yang terhormat atau tidak. Namun yang lebih berbahaya adalah ketika kita terjebak dalam kefanatikan secara ekstrim.

Dalam sejarahnya, kita dapat merekam jejak sikap kaum fanatisme yang terjadi dalam kehidupan Islam di zaman kekhalifahan Cordoba. Yang dari sikap demikianlah kemunduran kerajaan Islam tak terbendung.

Diriwayatkan, bahwa terebutnya kerajaan Islam di Cordoba oleh kerajaan Kristen tak lain karena kuatnya sikap fanatik dari dua kubu yang tak tertolongkan, sehingga mengakibatkan umat terpecah belah.

Pada masa selanjutnya, sejak kekhalifahan di Cordoba runtuh, hanya Dinasti al-Ahmar lah satu-satunya yang masih bertahan kokoh. Namun, tak lama kemudian juga mengalami kemunduran serupa yang didasari dengan faktor yang sama, yaitu kefanatikan buta. Sikap fanatisme bermazhab menjebak mereka, mereka bertaklid buta hanya pada rumusan fikih Maliki generasi akhir, lebih parahnya meraka menghukumi seseorang yang tidak berpedoman sama dengan dirinya, dianggap telah keluar dari Agama (K A Muntaha, 2024).

Agaknya kita mengerti, kefanatikan secara buta sama sekali tidak melahirkan kemashlahatan, sebaliknya ia membayangi umat dengan pandangan sinis ketika melihat kelompok lain (yang tidak selaras dengan pendapatnya), tidak menutup kemungkinan juga hadirnya tindakan destruktif yang lahir dari sikap fanatik itu, yang bisa menjadikan nasib kita seperti Cordoba dan Dinasti al-Ahmar pada saat itu.

Baca Juga  How To Make More Travel By Doing Less

Dengan demikian, sudah saatnya kita beranjak dari ketegangan konflik yang cenderung mendiskreditkan kelompok beserta para tokohnya. Kita sudah berlarut-larut tenggelam dalam persoalan yang sifatnya debatable (furu’iyah), sementara gerak laju perubahan dunia sudah di depan mata. Agama yang seharusnya berperan dalam mengawal arus modernisasi ini, justru disibukkan dengan masalah privat yang berujung pada dikotomisasi atau dualisme umat muslim yang sama-sama dipengaruhi oleh ambisi menguasai dan mendominasi.

Kembali pada Diri Sendiri: Campur Tangan Nasab Tak Abadi

Dalam suasana mutakhir yang kita saksikan, ketegangan pendapat yang cenderung membingungkan dalam lapisan umat, terkait persoalan garis keturunan (nasab) yang lahir dari sebuah tesis, belum juga menemukan titik terangnya. Dengan demikian, agaknya kita perlu memberikan jarak untuk mengingat kisah As-Sajjad yang dituliskan Al-Ghazali dalam kitabnya At-tibrul Masbuk Fi Nasihah Al-Muluk.

Seorang yang shalih sekaligus rendah hati, As-Sajjad merupakan salah satu cucu baginda Nabi SAW. Di saat ia termenung gelisah dengan mengalirkan air mata di pipinya, seperti sedang berduka, temannya berkata “wahai putra Husein yang mulia, cucu Ali bin Abi Thalib yang mulia, dan cicit Rasulullah SAW yang amat mulia, mengapa engkau berduka?”

Dengan jawaban yang mengagetkan, ia menjawab “wahai saudaraku, janganlah membawa ayah dan kakekku, aku sedang memikirkan apa yang akan terjadi setelah meninggalkan dunia ini? Apakah aku selamat atau tidak? Ingatlah, di akhirat kelak tidak ada lagi hubungan nasab yang dapat menyelamatkan kecuali amal shalih kita” (Muhammad, 2024).

Kisah ini tersemat pesan yang selaras dengan Al-Qur’an (Al-Hujurat [49] 13), yang artinya: “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”

Baca Juga  Sains dan Kepemimpinan: Problem Utama Kebijakan Covid-19

Setidaknya kisah ini mengingatkan kita, bahwa konflik yang terjadi akhir-akhir ini hanya sebatas persoalan penentuan nasab, yang di akhirat kelak tidak dapat menyelamatkan seseorang kecuali amal shalihnya.

Penulis tidak mendiskreditkan pihak manapun, hanya saja mau sampai kapan umat muslim dihadapkan dengan konflik internal semacam ini?

Sebab sangatlah ironis, agama yang seharusnya menciptakan tatanan Good Society, justru melahirkan ketegangan pada umatnya sendiri.

Editor: Soleh

Related posts
Perspektif

Konsep Waktu Ibadah di Era Kalender Hijriah Global Tunggal

5 Mins read
Sejak diperkenalkan konsep Kalender Islam Global Turki 1437/2016 atau Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) berbagai respons bermunculan, baik pro maupun kontra. Pada…
Perspektif

Jalan Terjal Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua

2 Mins read
Dunia pendidikan sejatinya merupakan ranah di mana integritas dijunjung tinggi. Namun, berbagai praktik di lapangan masih menunjukkan tantangan pendidikan yang serius, khususnya terkait karakter-karakter…
Perspektif

Gus Baha: Cara Mudah Menjadi Waliyullah

3 Mins read
Pada dasarnya manusia tidak lepas dari kebutuhan dasar seperti, makan dan minum. Ini bukan hanya perkara fisik, namun dibalik aktivitas makan dan…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *