Opini

Nurani yang Lumpuh

3 Mins read

Kemana pun kamu menghadap di sana ada wajah Tuhan, itu adalah salah satu ayat dalam al Qur’an. Tentu wajah Tuhan di sini, tidak sama dengan wajah manusia. Begitulah bunyi teks Qur’an, itu menyesuaikan kondisi dengan yang akan menerima teks tersebut yaitu manusia. Bahasa Tuhan tersebut menjelma dengan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Al Qur’an menggunakan bahasa “wajah”, supaya manusia dengan mudah dapat memahaminya. Kalau seseorang bertemu dengan sesamanya manusia maka yang pertama sekali yang dia lihat adalah wajahnya.

Betapa wajah ini punya posisi sentral dalam kehidupan manusia, karena di wajah itu terdapat banyak alat indra yang sangat dibutuhkan oleh manusia, seperti mata, hidung, mulut, telinga, indra-indra ini sangat vital dalam kehidupan seorang manusia. Kalau ini yang hilang dalam kehidupan manusia, manusia tidak akan berfungsi lagi, bagaikan robot yang berjalan tanpa arah.

Manusia yang memfungsikan nuraninya sebagai fasilitas yang terbaik yang diberikan oleh Tuhan itu akan dapat merasakan keberadaan Tuhan, bahwa Tuhan sangat dekat dengan dirinya. Manusia adalah makhluk yang istimewa, ciptaan yang terbaik, masterpiecenya Tuhan di muka bumi ini. Manusia diberikan fasilitas yang terbaik, berupa nurani sehingga dapat menangkap isyarat-isyarat Tuhan, dapat melihat wajah Tuhan dimanapun manusia berada. Itulah yang dimaksud kemanapun kamu menghadap di situ ada wajah Tuhan.

***

Tuhan memperlihatkan wajahnya lewat tanda-tanda atau isyarat-isyarat bahwa dibalik apa yang nampak ada kekuasaan Tuhan dibelakangnya, Dia tidak bisa dilihat dengan kasat mata, tapi orang orang yang mempunyai tingkat keimanan yang haqqul yakin akan dapat merasakan wajah Tuhan ada di situ. Manusia modern sekarang ini, mengalami alienasi atau keterasingan dalam menangkap wajah Tuhan, mereka ibarat binatang yang tidak punya kompas dalam menjalani kehidupan ini, mereka berjalan apa adanya,  tanpa isyarat-isyarat petunjuk   dari langit dan dari dalam dirinya berupa nurani.

Baca Juga  Moderasi Beragama Seharusnya Dinamis, Bukan Statis!

Pengaruh modernisme yang sangat masif hari ini, membuat manusia, kehilangan arah, kehilangan kiblat, kondisi seperti ini akan membuat manusia mengalami tuna moral, kehilangan keseimbangan yang membuat dirinya jatuh, yang dalam bahasa al Qur’an disebut “asfala safilin”, yang tadinya berada diposisi “ahsani taqwim”, begitulah eksistensi manusia modern sekarang ini, karena terlalu dimanja dengan produk-produk teknologi sehingga lupa dengan eksistensi dirinya yang begitu mulia.

Dengan posisi seperti ini, manusia akan merasa kesulitan untuk mencari suatu kebenaran, karena sudah terkontaminasi dengan produk-produk materialisme yang begitu akut. Ada jurang pemisah yang sangat dalam untuk dapat melakukan kontak dengan dirinya, untuk mencari nuraninya yang suci, nuraninya sudah terkubur, dan sangat sulit untuk diketemukan kembali.

***

Itulah juga yang disindir oleh Tuhan dalam Qur’an “lahum qulubun la yafqahuna biha”, mereka itu punya nurani tapi dia sepelekan nuraninya itu, padahal itu modal terbesar yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Dan manusia seperti itu adalah nir nurani, itu ibaratnya seperti binatang bahkan lebih di bawah dari binatang. Binatang atau hewan tidak punya modal untuk melakukan kontak dengan Tuhan. Mereka itu hidup dengan modal insting, tidak punya kreatifitas, hidup monoton, tidak bisa berdialog dengan dirinya dan melakukan penyembahan kepada Tuhan.

Itulah sebabnya ada cerita sufi yang terkenal, ada sepasang ikan yang sementara berenang ke pinggir pantai, tiba-tiba mendengar ungkapan dari manusia, “betapa indahnya lautan ini”, spontan kedua ikan ini mencari yang namanya lautan yang indah, mereka berenang ke sana kemari melakukan pencarian tentang lautan yang indah, dan keduanya putus asa karena tidak menemukan lautan yang indah, ke mana pun mereka pergi, yang ditemukan hanyalah air. Mengapa Ikan yang hidupnya di lautan tidak pernah mengetahui dan menyadari bahwa ia sudah dalam pelukan lautan?, karena ikan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan transendensi diri, ia tidak bisa mengambil jarak ataupun keluar dari dirinya lalu dengan kesadarannya melihat dirinya sebagai obyek. Dengan kata lain ikan tidak punya nurani yang bisa mendeteksi keberadaan Tuhan atau wajah Tuhan.

Baca Juga  Mengenal Nama Lain Manusia dalam Al-Qur'an

Ini sangat berbeda dengan manusia yang memiliki kemampuan untuk melakukan transendensi diri. Manusia dalam waktu dan tempat yang sama bisa menyadari dirinya sebagai subyek dan sekaligus obyek, manusia bisa berdialog dengan dirinya sendiri. Manusia yang tidak bisa  berdialog dengan dirinya sendiri, manusia yang tidak bisa merenungi dirinya, manusia yang tidak bisa melakukan transendensi diri, dan tidak selalu mempertanyakan misi dan eksistensi hidupnya, adalah manusia modern  yang tuna nurani, atau yang mengesampingkan nuraninya, sebagai pemberian Tuhan yang paling istimewa.

Editor: Soleh

Avatar
45 posts

About author
Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *