Opini

Ketika Muhammadiyah Menyikapi Peristiwa G30S/PKI

4 Mins read

Malam 30 September atau dini hari 1 Oktober 1965 atau kerap disebut sebagai peristiwa G30S/PKI adalah waktu yang selalu diingat oleh memori kolektif bangsa sebagai bagian dari skenario Malam Jahanam. Jika diperbolehkan menyebutnya dengan meminjam judul karya Motinggo Busye. Pada malam tersebut, tujuh pahlawan revolusi menjadi korban penculikan oleh kelompok pasukan Cakrabirawa di bawah komando Letnan Kolonel Untung. Para jenderal dan satu kapten tersebut dibawa ke daerah yang bernama Lubang Buaya. Mereka dibunuh, dan jenazahnya dimasukkan ke dalam sumur tua yang ada di sana.

Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam tersebut. Radio Republik Indonesia (RRI) yang dikuasai oleh pasukan Cakrabirawa sebagai pasukan pengamanan presiden menyiarkan akan adanya Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Dewan Jenderal tersebut telah berhasil diatasi oleh Dewan Revolusi serta memberikan keterangan bahwa presiden dalam keadaan selamat.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Lalu, semua berlalu demikian cepat tanpa memberikan publik waktu untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa waktu kemudian, RRI menyiarkan berita yang bertentangan. Apa yang terjadi dengan berita dari RRI tersebut menunjukkan sesuatu tengah terjadi dengan stasiun radio tersebut. Masyarakat ibu kota sendiri bingung: apa yang sebenarnya terjadi dan apa serta siapa di balik Dewan Revolusi? Pertanyaan itu yang masih menjadi misteri hingga saat ini. Sejarah telah dengan kejam membiarkan pertanyaan itu menggantung, membuat labirin yang berliku. Sebagai manusia yang menuntut kepastian, kita mendesak para sejarawan memastikan seperti ilmu alam: apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang bertanggung jawab penuh? Tapi sayangnya, sejarah bukanlah ilmu yang membidik peristiwa setepat-tepatnya, tapi sedekat-dekatnya, kata Louis Gottschalk.

Banyak sejarawan yang mendekati peristiwa G30S/PKI dan membuahkan sebuah kesimpulan bahwa PKI adalah dalang utama. Narasi ini adalah narasi pemerintah Orde Baru, di mana versi ini adalah versi resmi. Namun, seiring dengan tumbangnya kuasa Orba, suara-suara lain yang selama ini diabaikan pun muncul. Cornell Paper yang ditulis oleh dua orang sejarawan Cornell, Ruth T. McVey, dan Benedict Anderson—yang telah lama muncul—kembali dibaca dan dikaji. Menurut mereka, konflik tersebut adalah konflik internal Angkatan Darat. Ada juga C. A. Dake yang menuding Presiden saat itu, Bung Karno, yang menjadi dalang. Ada juga yang menuduh presiden kedua, sang “Smiling General”, adalah dalangnya karena ia yang paling mendapatkan keuntungan. Ada juga yang bilang tangan dingin CIA bermain mengobok-obok politik Indonesia. Semua suara bermunculan, termasuk bagaimana orang-orang yang dituduh PKI dan selama ini kelompok yang tersudutkan berani berbicara bahwa mereka juga adalah korban pasca-kejadian tersebut. Ya, hidup memang penuh kejutan.

Baca Juga  Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

Sikap Muhammadiyah terhadap G30S/PKI

Pernyataan Muhammadiyah pertama dikeluarkan oleh Perwakilan Istimewa (PERWIST) Muhammadiyah Jakarta pada tanggal 2 Oktober 1965. Surat instruksi yang ditandatangani oleh Muhammad Mawardi sebagai ketua Perwakilan Istimewa Muhammadiyah Jakarta mengandung lima hal serta menjelaskan posisi Muhammadiyah dalam gonjang-ganjing pasca-Malam Jahanam tersebut. Muhammadiyah mengucapkan belasungkawa atas korban-korban yang jatuh serta mengutuk Dewan Revolusi dan Gerakan 30 September. Muhammadiyah juga memastikan bahwa organisasi warisan Kiai Dahlan ini tetap bersama barisan dan mendukung langkah Bung Karno sebagai presiden.

Selain itu, surat pernyataan tersebut meminta kepada seluruh organisasi otonom dan seluruh warga Muhammadiyah untuk tetap tenang dan menjaga kondisi tetap kondusif serta membantu aparat negara jika diperlukan. “Kesetiaan” pada Bung Karno kembali diulangi dalam poin terakhir agar seluruh or-tom dan warga Muhammadiyah mematuhinya.

Surat ini keluar sehari setelah tanggal 1 Oktober dan setelah RRI yang berhasil dikuasai kembali dari Gerakan 30 September atau G30S/PKI. RRI menyiarkan tentang Dewan Revolusi yang bertanggung jawab terhadap bencana yang terjadi. Keluarnya surat ini menandakan bahwa pimpinan Muhammadiyah—khususnya yang berada di pusat episentrum G30S/PKI, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Kemungkinan besar, mereka berpegang pada pengumuman di RRI tentang Dewan Revolusi. Hal tersebut sangat wajar mengingat para anggota militer pun tidak mengetahui secara pasti apa yang terjadi, apalagi warga sipil. Pernyataan untuk tetap menjaga ketenangan dan ketentraman adalah sebuah langkah yang tepat walaupun tidak menghentikan kasak-kusuk warga Muhammadiyah tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dalam pernyataan tersebut, Muhammadiyah juga belum berani menyimpulkan ataupun menganalisis siapa yang berada di belakang Dewan Revolusi serta menunggu rilis pengumuman secara resmi.

Surat pertama yang rilis secara resmi ini kemudian diikuti dengan surat-surat yang lain sesuai dengan perkembangan informasi yang diperoleh. Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta memandang perlu untuk memperkuat keberadaan Perwakilan Istimewa yang ada di Jakarta dengan beberapa orang tokoh seperti H. S. Prodjokusumo, Marzuki Yatim, Bakri Sjudjak, dan lain-lain karena akan menjadi perpanjangan tangan PP Muhammadiyah Yogyakarta. Surat itu bertanggal 12 Oktober 1965.

Baca Juga  Berapakah Usia KH Ahmad Dahlan Ketika Mendirikan Muhammadiyah?

Terbentuknya KOKAM

Muhammadiyah sendiri mengalami masa-masa sulit karena dituduh kontrarevolusioner dan menjadi tempat pelarian eks-Masyumi, partai yang telah dilarang oleh pemerintah tersebut. Iwan Setiawan dalam bukunya KOKAM: Kesatuan Muhammadiyah di Zaman Bergerak menyatakan bahwa usaha-usaha kader komunis dalam menyudutkan Muhammadiyah tampak dalam kasus Gabungan Koperasi Batik Seluruh Indonesia (GKBI). Di mana Menteri Achmadi ingin merebut paksa organisasi tersebut dari tangan Muhammadiyah.

Selain itu, situasi yang semakin memanas dan sedang menuju titik didih menginspirasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah di Jakarta melangsungkan kursus yang bernama Takari, diambil dari judul pidato Presiden Soekarno yang berarti Tahun Berdikari. Jenderal A. H. Nasution sempat mengisi kursus ini pada malam 30 September atau G30S/PKI sebelum kejadian Malam Jahanam tersebut.

Pada tanggal 1 Oktober dan kursus masih berlangsung, beberapa tokoh seperti Lukman Harun, H. S. Prodjokusumo, Sutrisno Muhdam, dan lain-lain berpartisipasi. Hasil pertemuan tersebut menyepakati berdirinya “Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah” atau disingkat KOKAM. Setiap cabang yang ada di Jakarta diminta untuk membentuk KOKAM dan bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan warga Muhammadiyah di cabang masing-masing. Keberadaan KOKAM dengan ketuanya Prodjokusumo ditetapkan dengan surat Perwakilan Istimewa (PERWIST) tanggal 17 Oktober 1965.

Pada tanggal yang sama, keluar pula surat instruksi dari PP Muhammadiyah Yogyakarta berisikan instruksi untuk menyerap informasi valid sebanyak-banyaknya, tetap menjalankan amal usaha Muhammadiyah, tetap mempersiapkan Milad Muhammadiyah ke-53, serta menunjuk Perwakilan Istimewa Muhammadiyah Jakarta sebagai perpanjangan tangan PP Muhammadiyah Yogyakarta dalam mengambil tindakan yang dirasa perlu serta senantiasa memberikan laporan pada PP Muhammadiyah Yogyakarta. Tak lupa, PP Muhammadiyah Yogyakarta mengingatkan agar PERWIST menggunakan pikiran yang jernih dan pertimbangan yang matang dalam bertindak.

Baca Juga  Patologi Etno-Religion Muhammadiyah dan NU

G30S/PKI dan Mawas Diri

Surat tersebut menunjukkan bahwa hingga hampir setengah bulan lamanya, PP Muhammadiyah di Yogyakarta sendiri masih belum melihat garis merah dari peristiwa yang terjadi di tanah air. PERWIST Muhammadiyah sendiri aktif dalam gerakan “Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan Kontrarevolusi 30 September” yang terdiri dari gerakan keagamaan dengan ketua aksi Subhan Z. E. yang berasal dari NU. Tuntutan mereka yang tertera pada surat pernyataan 4 Oktober 1965 telah mengerucut pada tuntutan pembubaran organisasi underbow PKI maupun media-media yang berafiliasi dengan PKI.

Demikianlah, setiap tanggal 30 September tiba, kita senantiasa disuguhkan dengan narasi Gerakan 30 September atau G30S/PKI. Hal tersebut perlu untuk senantiasa mengingat dan mawas diri dengan sejarah kelam yang pernah mewarnai historiografi bangsa Indonesia. Namun, ketika narasi yang sama senantiasa diulang tanpa kebaruan akan penafsiran dan sumber terhadap peristiwa, hal tersebut akan menjadi sebuah doktrin.

Alih-alih catatan sejarah atau produk historiografi yang kontraproduktif, apalagi di zaman informasi dan komunikasi berkembang demikian cepatnya. Bahkan, kita pun dengan mudah mendapatkan informasi alternatif yang kadang tidak sesuai dengan informasi versi resmi. Kita berharap kejadian kelam itu tak terulang dan yang paling penting adalah memaknai peristiwa itu dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara.

Editor: Assalimi

Avatar
10 posts

About author
Direktur Sekolah Langit Biru. Anggota Muhammadiyah Bengkulu.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *