Opini

Kebijakan Anti-Bullying di Sekolah: Menguji Permendikbudristek No. 46/2023

4 Mins read

Suara tangis adik bungsu saya di seberang telepon masih terngiang. Di tahun pertamanya di pondok pesantren, ia justru pulang dengan luka yang tidak terlihat: ia menjadi sasaran bullying (perundungan) karena dianggap “berbeda” oleh teman-temannya. Percakapan pilu itu, yang kemudian berlanjut dengan diskusi mendalam bersama Mama dan kakak saya, bukanlah cerita unik. Ia adalah potret nyata dari ribuan anak Indonesia yang setiap hari berjuang dalam sunyi, menghadapi bentakan sistem sosial yang menuntut keseragaman dalam sekolah ramah.

Indonesia sebenarnya telah memiliki payung hukum mutakhir untuk melindungi mereka: Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Regulasi ini merupakan langkah progresif, dengan cakupan yang lebih rinci dibanding pendahulunya. Namun pertanyaannya: sudahkah kebijakan yang tertulis rapi di atas kertas itu diterjemahkan menjadi ruang kelas yang manusiawi—yang mampu melindungi dan merayakan keunikan setiap individu?

Pengalaman kami terkait adik bungsu yang terkena perundungan menunjukkan bahwa jurang antara kebijakan dan realitas masih menganga. Kebijakan, sekelas apa pun, sering kali baru menjadi tubuh tanpa jiwa jika implementasinya hanya sekadar memenuhi administratif. Yang dibutuhkan adik saya dan mungkin juga anak-anak lainnya, bukan hanya prosedur penanganan, tetapi lingkungan sekolah ramah yang proaktif membangun budaya empati: sebuah ekosistem di mana perbedaan tidak lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan kekayaan.

Menguji Implementasi Permendikbudristek No. 46/2023

Permendikbudristek No. 46/2023 sebenarnya sudah cukup komprehensif. Ia mewajibkan satuan pendidikan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, menyelenggarakan program pencegahan, serta memiliki prosedur penanganan yang jelas. Namun, analisis terhadap tiga titik kritis ini mengungkap celah yang sering membuat anak seperti adik saya “terjatuh” di antara retakan-retakan sistem.

  1. Dari Reaktif Menuju Proaktif: Perlunya Kurikulum Hati Nurani
    Kebijakan ini dalam pelaksanaannya masih berisiko menjadi alat yang reaktif—optimal bekerja setelah laporan kekerasan masuk. Padahal akar perundungan adalah prasangka dan ketidakmampuan mengelola perbedaan. Di sinilah kita membutuhkan lompatan dari sekadar policy menuju pedagogy. Integrasi social and emotional learning (Pembelajaran Sosial dan Emosional/SEL) ke dalam kurikulum inti bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Anak-anak perlu diajarkan secara sistematis tentang empati, regulasi emosi, dan keterampilan komunikasi positif. Ini adalah “vaksin sosial” yang mencegah “virus” perundungan sejak awal.
  2. Guru: Dari Penjaga Peraturan Menuju Fasilitator Keberagaman
    Permendikbudristek No. 46/2023 membebankan tanggung jawab besar pada guru dan Tim Pencegahan. Namun, apakah mereka telah dilatih untuk menangani kompleksitas psikologis korban perundungan? Atau memfasilitasi dialog tentang perbedaan—seperti pengalaman saya yang dianggap “aneh” di sekolah karena memiliki bacaan salat yang berbeda sebagai keluarga Muhammadiyah, atau pengalaman mendiskusikan hadis misoginis di usia belia karena diperkenalkan oleh Prof. Dr. Musdah Mulia? Sering kali, belum. Pelatihan guru harus ditingkatkan dari sekadar memahami prosedur menjadi mampu menciptakan ruang aman psikologis di kelas—tempat setiap keunikan diterima, bukan dicurigai.
  3. Mengatasi Akar Masalah: Ketakutan akan “Yang Aneh”
    Kebijakan kerap fokus pada kekerasan fisik dan verbal yang kasat mata, tetapi sering gagal menangkap bentuk perundungan yang lebih halus: pengucilan, pelabelan, dan isolasi sosial—persis seperti yang dialami adik bungsu saya. Label “aneh” adalah bom waktu bagi kesehatan mental. Kebijakan yang efektif harus secara eksplisit mendorong program yang merayakan keragaman, seperti proyek kelas tentang tokoh-tokoh unik dalam sejarah, atau diskusi terbuka tentang latar belakang keluarga dan keyakinan yang berbeda. Ini cara sistematis melawan stigma terhadap “yang lain”.
Baca Juga  Pembelajaran Online vs Pembelajaran Offline

Sekolah Ramah: Kebijakan dan Kemanusiaan Berpelukan

Bayangkan jika sekolah ramah adik bungsu saya tidak hanya memiliki tim pencegahan yang siap menindak, tetapi juga memiliki kultur yang dibangun untuk mencegah. Seandainya ada guru yang terlatih membaca gejolak emosi siswa dan mampu mengajak kelas berdialog tentang indahnya perbedaan, mungkin tangis adik saya akan berganti cerita tentang betapa menariknya teman-teman barunya.

Merangkul keunikan diri bukan lagi sekadar nasihat keluarga, tetapi harus menjadi jiwa dari kebijakan pendidikan kita. Permendikbudristek No. 46/2023 adalah kerangka yang bagus kini harus kita isi dengan nyawa. Tugas kita bersama pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat adalah memastikan setiap anak tidak perlu lagi menjadi pahlawan yang berjuang sendirian melawan arus keseragaman.

Kepada semua pihak yang terlibat, mari wujudkan kebijakan ini menjadi aksi nyata. Mari ubah satuan pendidikan dari sekadar tempat belajar menjadi tempat tumbuh: tempat setiap “keanehan” justru disambut sebagai potensi unggulan untuk masa depan Indonesia yang lebih inklusif dan berkarakter.

Model Sekolah Ramah dari Muhammadiyah

Sebenarnya, Indonesia tidak perlu jauh-jauh mencari model ideal untuk sistem pendidikan yang humanis dan inklusif. Jejaknya sudah ada dalam praktik pendidikan sekolah ramah yang diwariskan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah.

Pertama, semangat egaliter. Sejak 1911, Muhammadiyah mendobrak tradisi dengan mendirikan sekolah untuk semua kalangan, termasuk perempuan melalui organisasi ‘Aisyiyah. Ruang kelas dirancang untuk memutus mata rantai feodalisme, menempatkan semua siswa setara di hadapan ilmu. Semangat ini adalah senjata ampuh melawan perundungan yang sering lahir dari rasa superioritas berbasis latar belakang sosial atau ekonomi.

Kedua, metode pedagogis yang revolusioner. Ahmad Dahlan dikenal dengan metode pembelajaran aktif dan praktis. Beliau tidak hanya mengajar di kelas, tetapi membawa murid-muridnya langsung ke masyarakat untuk mengasuh anak yatim dan membersihkan lingkungan. Dalam konteks kekinian, semangat ini dapat diwujudkan melalui program Kelas Khidmah model kolaborasi lintas latar belakang untuk menyelesaikan masalah nyata di komunitas. Program semacam ini secara alamiah membangun empati dan mengikis prasangka akar perilaku perundungan.

Baca Juga  Ketika Ibn Arabi dan Immanuel Kant Mengadili Ibrahim (Part 2)

Ketiga, komitmen pada nalar dan dialog. Muhammadiyah lahir sebagai gerakan pembaruan yang mendorong pemahaman Islam yang rasional dan terbuka. Ini menciptakan budaya di mana perbedaan pendapat. Bahkan dalam hal keagamaan, didiskusikan dengan sehat, bukan dijadikan alasan untuk mencaci. Sekolah-sekolah Muhammadiyah modern dapat menguatkan warisan ini dengan melatih guru sebagai fasilitator dialog antarpemikiran, sehingga ruang aman tercipta bagi siswa seperti saya yang hafal bacaan salat “berbeda” atau tertarik pada kajian-kajian “tidak biasa”—agar merasa diterima dan penasaran ilmiahnya dihargai.

Dengan merujuk ke akar sendiri, implementasi Permendikbudristek No. 46/2023 dapat memperoleh jiwa dan konteks kultural yang kuat. Kebijakan itu bukanlah dokumen “impor”, melainkan penguatan formal atas nilai-nilai luhur pendidikan sekolah ramah yang sudah dipraktikkan para tokoh bangsa kita.

Editor: Assalimi

Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *