Feature

Kokoda, Kampung Muhammadiyah Satu-satunya di Dunia

3 Mins read
Oleh: Muhammad Ridha Basri*

Artikel ini merupakan lanjutan dari edisi sebelumnya tentang Suku Kokoda yang mulai berdaya.

Suku Kokoda yang merupakan komunitas Muslim ini awalnya hanya memiliki beberapa rumah panggung dan sebuah tempat ibadah berbentuk rumah panggung yang dinding dan atapnya dari gaba-gaba sagu. Hanya dengan sekali tendang, masjid itu akan roboh. “Adat leluhur kami di awal-awal mengenal Islam ya seperti itu,” ujar Syamsuddin.

Suku Kokoda, kata Anang, terbilang salah satu suku asli Papua yang sudah menerima Islam sejak abad ke-17 atau 18 oleh karena kontak dagang dengan Sultan Tidore dari Maluku. Suku yang mulanya menganut animisme ini juga menerima kehadiran Kristen di kemudian hari. Di satu keluarga Suku Kokoda, biasa ada yang Muslim dan Kristen yang hidup rukun.

Rektor Unimuda, Rustamadji merupakan yang pertama ke kampung ini. Sekembalinya dari kunjungan itu, Rustamadji mengadakan rapat dengan PDM Sorong dan langsung menghimpun dana pembangunan masjid. “Setelah membangun masjid, Pak Rustamadji dan Unimuda kasih masuk genset, lalu kasih masuk listrik. Setelah itu, dipikirkan untuk membangun sekolah,” ujar Syamsuddin.

Berselang waktu, ketua MPM PP Muhammadiyah saat itu, almarhum Said Tuhuleley datang. Sekembalinya dari Papua, Said membawa cerita pilu ini ke forum-forum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Said mengajak Rektor UM Malang membeli satu hektar tanah, lalu Unimuda dan UM Surakarta memberi satu hektar. Tanah inilah yang menjadi cikal bakal kampung Warmon, yang terpisah dari kampung pendatang.

Suku Kokoda

Masuknya Muhammadiyah ke tempat itu sempat mendapat cibiran. Terlebih masyarakat pendatang kadung berasumsi negatif dengan suku asli. “Kami jawab, kalau kita tidak berbuat sesuatu, justru lebih berbahaya. Kita harus berusaha semaksimal mungkin, nanti Allah akan memberi hasil,” kata Rustamadji.

Baca Juga  'Adik Pingin Jadi Imam', Pengalaman Ibadah di Rumah

Ada banyak tantangan di awal membangun, “Kita angkut besi untuk pondasi bangunan, tiba-tiba mereka potong dan jual, meskipun tahu besi dan bangunan itu untuk mereka. Kita beli besi lagi dan bangun lagi.”

Setelah itu, pihak Unimuda mengerahkan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Para mahasiswa datang ke rumah-rumah panggung mereka untuk mengajak anak-anak mandi dan sekolah. Para mahasiswa membawa makanan dan mengajak anak-anak bernyanyi dan bersenang-senang. “Sambil bernyanyi, hafal surat-surat pendek, anak-anak diperbolehkan lompat ke sungai di sekitar rumah panggung mereka. Tidak masalah. Kami katakan pada anak-anak IMM, utamakan rayuan dibanding ancaman,” kata Rustamadji.

Tahun berikutnya, dibangun Sekolah Dasar. Mantan aktivis IMM yang kini menjadi Kepala SD Labschool Unimuda, Bambang Irawan (24 tahun) menceritakan perjuangannya sejak 2013. Di tahun 2019, sudah ada 53 siswa, kelas 1-6. “Para siswa sekolahnya mood-moodan. Kalau lagi rajin, pagi jam 7 sudah datang. Kalau sedang malas, jam 9 baru datang masih pakai sarung.”

Dunia mereka adalah bermain dan tidak punya tradisi belajar formal. Ajang baku pukul kerap terjadi, namun mereka tidak saling membenci. Pulang sekolah, mereka mencari ikan di rawa atau sungai.

Setelah mengusahakan pendidikan, Muhammadiyah melalui MPM dan Unimuda mulai memikirkan nasib warga dalam hal akses dan status sosial. Warga Kokoda hanya menjadi bagian RT dari desa yang dihuni pendatang. Jika dipaksakan, suku asli Papua yang belum berdaya ini tidak bisa mengimbangi kaum pendatang yang berpendidikan.

Suku Kokoda menginginkan desa tersendiri. Muhammadiyah membantu keseluruhan administrasi. Pada 12 Desember 2015, desa ini lahir secara definitif dan Syamsuddin dilantik menjadi kepala kampung. Pada 2016, karena kelengkapan administrasinya, kampung yang berumur jagung itu sudah bisa menerima dana desa.

Baca Juga  Balada Mesin Tik Lawas dan Teknologi yang Kehilangan Makna

Setelah selesai dengan urusan status desa, Muhammadiyah memikirkan tentang rumah bagi warga. Muhammadiyah menyiapkan semua dokumen dan proposal untuk pengadaan perumahan ke Kementerian PUPR. Februari 2016, perumahan mulai dibangun. MPM PP Muhammadiyah senantiasa mendampingi setiap prosesnya. MPM membelikan sepeda motor untuk digunakan kepala kampung, kata Sekretaris MPM PP Muhammadiyah Bachtiar Dwi Kurniawan yang puluhan kali bolak-balik Yogyakarta-Papua.

“Sejak saat itu, saya giat membangun desa ini dengan sistem Muhammadiyah. Januari 2017, di hadapan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini, saya deklarasikan kampung ini sebagai Kampung Muhammadiyah. Ini menjadi satu-satunya kampung Muhammadiyah di dunia. Kami istiqamah dengan Muhammadiyah. Ke depan, kami akan selalu bersama-sama. Kami ingin bentuk masyarakat yang maju,” ujar Syamsuddin.

Di mata masyarakat, Syamsuddin merupakan sosok pemimpin yang berwawasan dan berjejaring luas, mampu merangkul semua kalangan. Syamsuddin mampu mengelola dengan baik masyarakat asli Papua yang tidak suka diatur-atur. Keberhasilannya diukur dengan standar peradaban setempat.

“Jika kita dibilang rajin kalau bangun jam 4 pagi, mereka bangun jam 8 atau jam 9 ya termasuk rajin,” tutur Rustamadji. Kampung Warmon Kokoda yang dulunya dipimpin ketua RT, Zakaria Namugur, kini menjadi desa yang dihuni 157 KK dan 58 rumah dengan status administrasi yang jelas, tak lagi was-was disuruh pindah. Tak lagi miskin papa, meski juga belum sepenuhnya sejahtera.

Related posts
Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (3): Jalur Lintas Tengah Sumatera yang Tak Lagi Sepi

5 Mins read
Palembang, Ahad, 7 April 2024. Pukul 06.00 kami keluar dari Hotel Azza. Destinasi pertama adalah Jembatan Ampera. Malam sebelumnya kami kesini di…
Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (2): Dahsyatnya Mudik Hari Raya Rute Jakarta-Palembang

5 Mins read
Tengah malam di Stasiun Pasar Senen Jakarta, Sabtu 06 April 2024. Tepat pukul 03.05 KA Jayakarta dari Jogja  dan dua penumpang Onti…
Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (1): Kembali ke Titik Nadir

6 Mins read
Jogja, Rabu 03 April 2024. Pukul 14.00 sebuah mobil memulai perjalanan menuju tempat yang jauh, Kerinci-Sumatera. Sang sopir dilanda rindu kampung halaman. Meski…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *