Selama tinggal di Prancis, ia melihat negara ini begitu rapi, disiplin, dan bersih. Berbeda jauh dengan pemandangan di tanah kelahirannya, Mesir. Di Mesir, yang mayoritas penduduknya adalah orang Islam, ternyata jauh tertinggal dibandingkan dengan Prancis, yang jumlah muslimnya sangat sedikit. Dari hal ini, ia mengatakan suatu perkataan yang cukup terkenal hingga hari ini. Ia berkata: “dzahabtu ilaa bilaad al-ghorbi, roaitu al-Islam wa lam aro al-muslimiin. Wa dzahabtu ilaa bilaad al-‘arobi, roaitu al-muslimiin, wa lam aro al-Islam”. (aku pergi ke negara Barat, aku melihat Islam namun tidak melihat orang muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam).
Orang itu adalah Muhammad Abduh. Abduh lahir pada tahun 1849 M di Mesir. Ia meninggal pada tahun 1905 di Iskandariyah. Ia sudah menghafalkan Alquran sejak kecil. Pada usia sekitar 14 tahun, ia dikirim oleh ayahnya untuk pergi ke sekolah. Namun, karena sistem pendidikannya menggunakan hafalan, Abduh kecil merasa bosan dan memilih untuk pulang ke kampung halaman.
Abduh pun menikah di usia yang cukup muda, yaitu 16 tahun. Di desanya ia bekerja sebagai petani. Pamannya yang tahu potensi kecerdasan Abduh memaksanya untuk kembali ke sekolah. Akhirnya Abduh kembali ke Tanta, sekolah lamanya, untuk melanjutkan pembelajaran. Setelah menamatkan studi di Tanta, ia masuk ke Al-Azhar Kairo. Disinilah ia bertemu dengan guru yang sangat ia hormati sekaligus membentuk alam pikirannya: Jamaluddin Al-Afghani.
4 Pokok Pikiran Abduh
Nurcholish Madjid memasukkan Abduh dalam mata rantai keilmuan Islam pada awal abad modern. Ia merupakan salah satu penggagas modernisme Islam. Sebagai seorang intelektual yang cukup berpengaruh, Abduh memiliki beberapa pemikiran yang otentik. Pertama, Abduh menginginkan purifikasi dalam tubuh Islam.
Hal ini menjadi salah satu inspirasi bagi Kiai Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Abduh melihat bahwa Islam sudah tercampur dengan banyak hal, terutama warisan-warisan pemikiran yang umat Islam tidak berani keluar darinya. Abduh seolah-olah ingin menegaskan perbedaan antara “agama” dan “paham agama”. Agama bersifat normatif, tunggal, dan berasal dari Tuhan. Sedangkan “paham agama” bersifat historis, majemuk, dan berasal dari pikiran manusia dalam memahami wahyu Tuhan. Ia melihat bahwa umat Islam hampir tidak dapat membedakan dua hal ini, sehingga umat Islam terjebak pada pendapat-pendapat kelompok dalam Islam.
Hal ini berimplikasi pada konflik internal umat Islam, karena selalu menganggap orang lain yang berbeda “paham agama” adalah salah. Purifikasi meniscayakan ar-ruju’ ilaa al-Qur’an wa as-sunnah (kembali kepada Alquran dan sunnah). Abduh menyarankan umat Islam untuk mengambil Islam secara langsung dari sumbernya, disertai dengan ijtihad. Ijtihad adalah proses pengerahan segenap tenaga untuk mengambil suatu hukum Islam. Dalam hal ini, ajaran Islam harus langsung diambil dari Alqur’an dan Assunnah, kemudian dikontekstualisasikan dalam zaman.
***
Kedua, reformasi. Al-Afghani dikenal dengan reformasi politik dalam dunia Islam. Namun, Abduh sebagai muridnya, lebih fokus pada reformasi dalam hal pendidikan. Ia sempat melakukan banyak reformasi di Al-Azhar. Salah satunya adalah dengan memasukkan mata kuliah filsafat. Dengan itu, ia berharap agar semangat intelektualisme Islam yang hilang dapat kembali.
Abduh juga memasukkan ilmu-ilmu modern yang berkembang di Eropa. Ia merubah sistem pendidikan yang sebelumnya menggunakan metode hafalan menjadi pemahaman dan analisa. Sebagaimana pengalaman masa kecilnya dulu, Abduh sangat tidak suka dengan metode hafalan. Sehingga ia ingin agar pelajar muslim menggunakan pemahaman untuk mempelajari suatu ilmu, bukan hafalan. Salah satu cara untuk memasifkan pemahaman adalah dengan menghidupkan diskusi. Bahwa pelajar harus banyak-banyak berdiskusi agar keilmuannya tidak bersifat hafalan melainkan pemahaman.
Perubahan sosial dapat dilakukan melalui pendidikan. Sehingga, reformasi pendidikan menjadi hal yang penting. Ketertinggalan dalam hal sains dan teknologi menjadi wajib untuk segera di kejar oleh umat Islam, agar tidak terus-menerus berada di buritan peradaban.
Ketiga, Reformulasi. Agenda ini dalam ranga melanjutkan agenda purifikasi di poin pertama. Reformulasi adalah membuka kembali pintu ijtihad dengan seluas-luasnya. Hal ini senada dengan yang dikhawatirkan oleh Arkoun. Arkoun mengatakan bahwa umat Islam tengah terhegemoni oleh logosentrisme, yaitu kecenderungan untuk tidak berani keluar dari pemahaman ulama klasik. Sehingga hal ini menyebabkan tertutupnya pintu ijtihad.
***
Umat Islam merasa bahwa mereka cukup mendapatkan penjelasan dari ulama-ulama sebelum mereka untuk memahami agama. Inilah salah satu faktor berhentinya (stagnasi) peradaban Islam ditengah melesatnya peradaban Barat. Umat Islam harus kembali menggiatkan penelitian kedalam sumber-sumber primer agama untuk menjawab tantangan zaman yang berubah dengan begitu cepat.
Contohnya dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Kiai Dahlan. Kiai Dahlan menafsirkan surat Al-Ma’un dengan mendirikan sekolah (schooling), rumah sakit (healing), dan panti asuhan (feeding). Kiai Dahlan melihat langsung ke sumber primer agama (surat Al-Ma’un), kemudian menafsirkan surat ini untuk menjawab tantang zaman. Dimana tantangan zaman waktu itu adalah kemiskinan dan kebodohan.
Keempat, rasionalitas agama. Abduh menganggap ilmu kalam klasik terlalu takut dengan penjelasan rasional. Penjelasan tentang tauhid juga terlalu sulit dipahami. Hampir tidak dapat dibedakan lagi mana yang Islam dan mana yang penjelasan ulama. Ini yang mendorongnya untuk menulis buku Risalah Tauhid. Dalam buku ini, Abduh menekankan bahwa inti dari tauhid adalah mengesakan Allah tanpa mempersekutukannya.
***
Sejatinya, akal yang bersih tidak akan menemukan pertentangan antara akal dengan agama. Berbeda dengan beberapa agama lain yang membatasi penggunaan akal, Islam mendorong pemeluknya untuk memaksimalkan potensi akal. Namun, dalam sejarahnya, perdebatan dalam ilmu kalam membuat sementara umat takut untuk memaksimalkan potensi akal. Karena akan mendapatkan stereotip negatif seperti sesat, liberal, dan lain-lain.
Dalam hal ini Abduh memberikan analogi kesempurnaan Islam dengan cukup menarik. Menurut Abduh, Allah menurunkan agama secara periodik menurut perkembangan manusia. Ini sekilas mirip konsep Comte tentang perkembangan intelektual. Yahudi adalah agama samawi yang pertama. Ini dianalogikan dengan agama anak-anak.
Agama Yahudi adalah agama yang basis peraturannya adalah perintah dan larangan. Seperti orang tua memperlakukan anaknya. Fase remaja agama adalah Kristen. Dalam fase ini, agama mulai menginjak masa remaja. Kristen adalah agama yang menggunakan pendekatan kasih sayang. Sebagaimana remaja yang banyak membutuhkan sentuhan kasih sayang.
Agama yang terakhir turun adalah Islam. Islam mengandung aspek perintah-larangan sekaligus aspek kasih sayang, yang porsinya dapat diatur menurut akal. Hal ini, menurut Abduh, adalah karena peradaban manusia sudah cukup dewasa untuk berfikir bebas.