IBTimes.ID – Sejumlah organisasi lingkungan menyoroti meningkatnya ancaman polusi puntung rokok yang kini disebut sebagai salah satu sumber mikroplastik dan kontaminan toksik terbesar di ruang publik Indonesia. Peringatan ini kembali menguat dalam diskusi publik “Jejak Sampah Rokok di Tiap Langkah: Menagih Akuntabilitas Industri” yang digelar daring pada Senin, 17 November 2025 di Kanal YouTube Yayasan Lentera Anak.
Diskusi tersebut menampilkan hasil audit merek yang dilakukan Lentera Anak di wilayah Jabodetabek. Audit itu mencatat 18.062 sampah rokok, dengan 93 persen berupa puntung, yang berasal dari enam produsen rokok terbesar di Indonesia.
Proses pengumpulan dilakukan oleh 275 relawan yang menyasar trotoar, halte, stasiun, terminal, area sekolah, dan taman seluas total 67.204 meter persegi. Rata-rata ditemukan 4 puntung per meter persegi, atau sekitar 400 puntung dalam area 100 meter persegi.
Bahaya Puntung Rokok dan Dampaknya pada Lingkungan
Koordinator Kampanye Lentera Anak, Effie Herdi, menegaskan bahwa temuan tersebut semakin menguatkan bukti kontribusi besar industri rokok terhadap pencemaran plastik, mikroplastik, dan racun kimia di lingkungan. Ia menyebut bahwa dampak yang ditimbulkan sudah mengkhawatirkan dan tidak boleh diabaikan. Effie menilai pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan para produsen bertanggung jawab.
“Selain itu, isu limbah rokok harus segera dimasukkan ke dalam Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Sampah serta kebijakan kesehatan masyarakat sebagai bagian dari upaya mengendalikan polusi plastik secara sistematis,” kata Effie.
Ia juga mengutip data WHO yang menunjukkan lebih dari 4,5 triliun puntung dibuang ke lingkungan setiap tahun. Indonesia, dengan konsumsi 322 miliar batang rokok per tahun, diperkirakan menghasilkan lebih dari 100 ribu ton puntung rokok per tahun.
Temuan serupa datang dari BRIN. Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi, Muhammad Reza Cordova, menyebut bahwa rata-rata satu puntung ditemukan di setiap meter persegi pantai Indonesia.
“Setiap satu meter persegi pantai ditemukan satu puntung rokok,” ujarnya.
Reza menjelaskan bahwa puntung rokok dapat berubah menjadi mikroplastik karena filter selulosa asetat yang sulit terurai. Ia menambahkan bahwa puntung tersebut juga mengandung nikotin dan logam berat yang membahayakan organisme laut dan manusia melalui rantai makanan.
Kritik juga datang dari Greenpeace Southeast Asia. Fajri Fadhillah menilai bahwa biaya pembersihan puntung rokok selama ini dibebankan pada masyarakat dan pemerintah.
“Industri rokok telah menciptakan polusi maka mereka harus membayar biaya penanganannya,” kata Fajri.
Ia menilai skema Extended Producer Responsibility (EPR) tidak cocok untuk produk tembakau dan berpotensi menjadi greenwashing.
Pandangan serupa disampaikan Senior Policy Advisor SEATCA, Mary Assunta. Ia menyebut sejumlah perusahaan rokok menggunakan kegiatan CSR untuk menutupi dampak negatif produknya.
“Mereka bangga melakukan hal itu seolah-olah telah berkontribusi positif kepada masyarakat padahal sesungguhnya hanya menutupi dampak buruk dari rokok dan sampah puntung rokok,” ucap Mary dikutip dari tempo.co.
Sementara itu, Dewan Pengarah AZWI, Daru Setyorini, menegaskan bahwa selama filter rokok masih diproduksi, industri tidak dapat dikatakan peduli terhadap isu lingkungan. Ia menilai komitmen lingkungan tidak mungkin tercapai selama produk yang merusak tersebut tetap dipertahankan.
(NS)

