Ada artikel yang terasa seperti tamparan halus sekaligus pelukan hangat. Artikel berjudul: Compatibility of Islam and Capitalism: Dimensions of Capitalism in The Quran Didin Baharuddin dan Hamdani Anwar ini salah satunya. Di tengah wacana ekonomi Islam Indonesia yang masih terbelah antara “kapitalisme = setan” dan “sosialisme Islam = surga”, kedua penulis dengan tenang meletakkan bom kecil: Al-Qur’an sendiri sudah bicara bahasa kapitalisme tapi dengan bingkai ajaran tauhid yang tebal.
Kapitalisme dalam Pandangan Islam
Dengan metode tafsir tematik dan pendekatan filosofis, mereka menelusuri dua pilar inti kapitalisme kepemilikan pribadi (private ownership) dan maksimalisasi keuntungan (profit maximization), lalu menunjukkan bahwa keduanya bukan hanya “diizinkan”, melainkan didorong oleh Al-Qur’an sebagai instrumen produktivitas khalīfah fi al-arḍ.
Ayat-ayat yang biasa kita baca sekadar sebagai nasihat moral tiba-tiba berubah wajah. QS. al-Nisā’ [4]:29 dengan frasa “tijāratan ‘an tarāḍin minkum” bukan lagi sekadar “boleh berdagang”, melainkan pengakuan eksplisit atas hak kepemilikan individu dan legitimasi mencari untung. QS. al-Jumu‘ah [62]:10 dengan perintah “ibtaghū min faḍlillāh” menjadi seruan terbuka untuk mengejar rezeki selepas salat Jumat. Sbuah ayat yang, kalau dibaca di Wall Street, mungkin akan dikutip sebagai “divine hustle”. Bahkan QS. al-Ḥadīd [57]:7 yang selama ini dipakai untuk menyeru zakat, oleh penulis dibalik menjadi pengingat bahwa kepemilikan manusia hanyalah istikhlāf, amanah sementara dari Pemilik Sejati.
Argumen mereka semakin tajam ketika membenturkan kritik klasik Max Weber (“Islam feodal, fatalis, anti-rasional, tak mungkin melahirkan kapitalisme”) dengan koreksi Maxime Rodinson, Benedikt Koehler, dan Bryan S. Turner. Nabi Muhammad SAW adalah pedagang, keluarga beliau pedagang, dan frasa “al-si‘ru bi-yadillāh” (harga di tangan Allah) adalah pernyataan proto-free-market yang sangat kapitalis. Islam masuk Nusantara pun bukan dengan pedang, melainkan dengan kapal dagang di Samudra Hindia. Fakta-fakta ini dirangkai dengan elegan, membuat pembaca sulit lagi mempertahankan narasi “Islam anti-pasar”.
Negara-Negara Islam Tidak Anti Kapitalisme
Di level kontemporer, penulis menunjukkan bahwa negara-negara Muslim seperti Turki (AKP era awal), Tunisia pasca-Ghannouchi, bahkan komunitas Salafi entrepreneurs di Kairo yang diteliti Vedi Hadiz, tidak lagi alergi terhadap kapitalisme. Rafīq Yūnus al-Maṣrī dan Fazlur Rahman bahkan menyebut ada lima sampai tujuh titik temu antara ekonomi Islam dan kapitalisme: pasar bebas, kompetisi, kepemilikan pribadi, akumulasi modal, dan dorongan mencari keuntungan.
Namun di sinilah letak kelemahan terbesar artikel ini, dan sekaligus alasan mengapa ia begitu menggoda untuk dikritik habis-habisan. Setelah dengan meyakinkan membuktikan kompatibilitas, penulis berhenti tepat di tepi jurang. Mereka hanya menutup dengan kalimat normatif yang sudah terlalu sering kita dengar: “perlunya memasukkan norma-norma Islam agar kapitalisme lebih kompatibel”. Itu terlalu aman, hampir klise.
Pembaca dibiarkan menggantung dengan pertanyaan-pertanyaan berat yang seharusnya menjadi bab berikutnya:
- Apakah bunga bank konvensional masih riba kalau “tarāḍin” sudah tercapai?
- Akumulasi kapital yang melahirkan oligarki seperti di Indonesia hari ini masih termasuk “ibtaghū min faḍlillāh” atau sudah menjadi “aklun li-amwāl al-nās bi al-bāṭil”?
- Bagaimana konsep istikhlāf menjawab kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekstrim yang menjadi eksternalitas negatif kapitalisme global?
Harta Hanya Titipan Allah
Tanpa keberanian menjawab itu, argumen penulis terasa seperti “kapitalisme boleh, asal salat dan zakat” — sebuah simplifikasi yang justru melemahkan kekuatan konsep milkiyyah fardiyyah dan istikhlāf yang mereka bela habis-habisan di bagian tengah.
Meski begitu, kelemahan itu justru menjadi kekuatan artikel ini. Dengan sengaja berhenti di ambang, penulis seolah berkata: “Sekarang giliran kalian para mahasiswa, dosen, aktivis, dan pengambil kebijakan untuk melanjutkan percakapan ini.” Mereka berhasil memaksa kita berpikir ulang: mungkin selama ini yang kita tolak bukan kapitalisme itu sendiri, melainkan kapitalisme yang lupa bahwa semua harta pada akhirnya milik Allah dan manusia hanya dititipi.
Di tengah maraknya diskusi “Islamic capitalism” dari Istanbul sampai Jakarta, artikel ini adalah jembatan yang sangat dibutuhkan terutama bagi generasi muda yang sudah lelah dengan dikotomi usang tapi belum siap menyerah pada neoliberalisme buta. Ia tidak sempurna, tapi justru karena ketidaksempurnaannya ia menjadi katalisator diskusi yang jauh lebih hidup.
(Assalimi)

