Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi luar biasa: kaya sumber daya alam, beragam budaya, bonus demografi yang menjanjikan, serta posisi geopolitik strategis di kawasan Indo-Pasifik. Potensi ini seharusnya menjadi modal besar untuk membangun kesejahteraan dan memperkuat peradaban bangsa. Namun, di tengah peluang tersebut, Indonesia justru dihadapkan pada kenyataan pahit, yaitu maraknya kasus korupsi di badan birokrasi yang menggerogoti kehidupan berbangsa, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Beberapa contoh di antaranya adalah kasus eks Kepala Dinas Kominfo Sleman yang didakwa mengantongi fee Rp901 juta dari korupsi proyek internet (Detik.com, 25/11/2025); kasus dugaan korupsi ekspor limbah sawit yang telah memeriksa lebih dari 40 saksi (DetikNews, 21/11/2025); serta laporan bahwa kerugian negara akibat korupsi di PT Pertamina mencapai Rp285,98 triliun (Kompas.com, 9/10/2025). Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi sekadar penyimpangan individu, melainkan telah menjadi masalah sistemik. Praktik korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) telah merasuk ke banyak lini pemerintahan dan lembaga, merusak tidak hanya keuangan negara, tetapi juga kepercayaan publik.
Gejala Tribalisme Birokrasi
Di tengah kondisi ini, istilah “gejala tribalisme” yang dikemukakan Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas menjadi sangat relevan. Pada halaman 24, ia menulis:
“Birokrasi dan lembaga kepartaian di negeri ini seperti sedang menderita sakit dengan obat yang over dosis, sehingga seolah berubah menjadi gurita yang memakan dirinya sendiri. Gejala tribalisme bisa dilihat dari perilaku KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) di dalam tubuh proses reformasi yang cenderung saling menghancurkan di antara kekuatan reformasi itu sendiri. Hal ini dapat menjelaskan mengapa krisis nasional multi wajah yang sudah berlangsung beberapa tahun belum juga bisa diatasi, bahkan meluas pada krisis moralitas dan kepercayaan sosial.”
Dengan kata lain, Munir Mulkhan menegaskan bahwa lembaga-lembaga negara dan partai politik—yang seharusnya menjadi tulang punggung reformasi—justru terinfeksi logika “kita vs mereka”, loyalitas kelompok sempit, klienisme, dan nepotisme. Alih-alih melayani kepentingan publik, mereka lebih mengutamakan kelompok sendiri.
Gejala tribalisme ini tampak jelas ketika distribusi proyek dan anggaran lebih mengutamakan kelompok loyal daripada kepentingan publik yang adil. Partai politik dan lembaga pemerintahan sering kali menempatkan kepentingan internal di atas pengawasan dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Akibatnya, reformasi hanya menjadi retorika, sementara birokrasi dan partai tetap beroperasi dengan pola kelompok yang sempit—pola yang pada akhirnya justru menghancurkan diri mereka sendiri.
Meskipun telah banyak kebijakan anti-korupsi dan reformasi kelembagaan, kepercayaan publik terus terkikis. Penyebabnya bukan hanya penyimpangan satu atau dua individu, melainkan sistem yang memungkinkan—bahkan terkadang membiarkan—penyimpangan tersebut berkembang.
Keruntuhan Moral Kolektif
Kondisi Indonesia saat ini bukan sekadar masalah penindakan korupsi, melainkan ancaman yang lebih serius: moralitas kebangsaan berada di tepi jurang. Meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) dalam bukunya Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, kita sedang menghadapi “jurang moralitas”—ketimpangan antara kemajuan teknologi yang melaju cepat dan kualitas moral manusia yang justru merosot, terutama dalam penyalahgunaan kekuasaan yang berulang.
Ini bukan lagi persoalan individu, melainkan keruntuhan moral kolektif dan institusional. Ketika birokrasi serta lembaga politik dikuasai kepentingan kelompok tertentu, fungsi pemerintahan bergeser dari pelayanan publik menjadi arena perebutan keuntungan internal yang justru menekan rakyat kecil. Pada titik ini, krisis kepercayaan publik menjadi nyata.
Reformasi Indonesia
Pada akhirnya, korupsi di Indonesia harus dipahami bukan sekadar tindakan individu, melainkan gejala kelembagaan dan kultural. Keterlibatan birokrasi, partai politik, dan kelompok kekuasaan dalam praktik KKN menunjukkan bahwa “gejala tribalisme” yang disebut Munir Mulkhan sedang berlangsung. Lembaga yang seharusnya memikul tanggung jawab publik justru menjadi entitas yang memakan dirinya sendiri.
Reformasi tidak akan berhasil jika hanya berhenti pada penindakan hukum tanpa disertai perubahan budaya dan struktur. Langkah ke depan harus mencakup transparansi yang nyata, akuntabilitas yang kuat, serta pengembalian fungsi lembaga kepada logika pelayanan publik bersama.
Editor: Assalimi

