Oleh: Yustinus Prastowo*
Akhir pekan, saat yang baik untuk meneliti batin dan merenungi pencapaian satu pekan terakhir. Saya bersama para pejabat di birokrasi yang sedang berpikir keras menerjemahkan instruksi Presiden untuk reformasi birokrasi dengan melakukan ‘delayering’ (perampingan jabatan eselon). Betapa pusing mereka ditambahi tugas yang super berat.
Delayering tak sekadar menghilangkan jabatan struktural, tetapi juga memikirkan hal-hal mikro yang tak dipikirkan para pembisik Presiden soal ini: Bagaimana memangkas jabatan struktural di unit vertikal yang membutuhkan manajemen, seperti di KPP atau KPBC? Bagaimana memfungsionalkan jabatan yang ada jika ukuran dan nature kerja adalah manajerial? Bagaimana memastikan rantai komando dan pertanggungjawaban berjalan dengan baik dalam skema fungsional?
Dan ternyata: bagaimana menyusun parameter KPI jabatan fungsional jika induk jabatannya saja belum punya standar yang sama? Diimbuhi: bagaimana menjelaskan pada mereka yang berpotensi kehilangan jabatan itu juga tak kehilangan remonerasi yang selama ini dinikmati ketika harus menjadi fungsional?
Masih banyak lagi yang harus dipastikan soal wacana ini. Perubahan memang menggendong banyak konsekuensi dan pengorbanan. Tapi melempar gagasan setengah matang ke publik dan telanjur menjadi instruksi ternyata jadi pelajaran mahal. Perubahan itu keniscayaan. Menyiapkan peta perubahan yang matang itu keharusan.
Reformasi Birokrasi Jangan ABS
Mari ambil satu sudut pemikiran yang khas Indonesia. Clifford Geertz, antropolog yang amat paham tentang Jawa, membuat tipologi manusia Jawa: priyayi, santri, abangan. Jika menjadi pegawai negeri adalah tiket sosial untuk pindah kelas dari abangan ke priyayi, bagaimana reformasi birokrasi yang hendak mengubah fungsi pegawai menjadi pelayan dimungkinkan? Jika mungkin, punyakah kita strategi kebudayaan yang mampu menjamin perubahan itu?
Saya bersama mereka yang gundah dan galau. Banyak birokrat dan pejabat yang baik dan bagus, merangkak tangga karir dengan penuh perjuangan. Tolong jangan campakkan dan sia-siakan mereka. Ajak berubah untuk berbuah lebih lebat dan hehat. Mari mencuri kejernihan akhir pekan agar kita tak sekadar jatuh pada stigma dan euforia bahwa birokrasi itu biang kerok persoalan.
Dennis C. Grube menulis buku berjudul Megaphone Bureaucracy, yang justru menunjukkan peran penting para birokrat Gedung Putih yang gagah berani menjadi peniup peluit kebobrokan Donald Trump dan ancaman bahayanya bagi Amerika Serikat. Di China, birokrasi adalah institusi penting yang menjadi penyeimbang Partai Komunis dan memastikan layanan publik berjalan dengan baik. Sudahkan kita belajar dari mereka?
Saya ingin memercayai birokrasi, sekali lagi. Saya mendukung perubahan yang dirancang dengan matang, saya setuju perbaikan efisiensi dan efektivitas dengan transformasi. Namun jangan sampai mengorbankan birokrasi sebagai biang masalah dan keranjang sampah, karena keliru diagnosa dan sodorkan resep.
Siapapun yang diberi amanah memimpin proyek reformasi birokrasi, bekerjalah dengan jujur dan profesional. Jangan jerumuskan Presiden dan Republik ini dengan laporan ABS! Alih-alih delayering, jangan malu delaying!
*) Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis