Perspektif

Mereka Kecewa Ternyata Muhammadiyah Moderat

3 Mins read

Dalam beberapa hari terakhir, serangan kritik dan fitnah terhadap Muhammadiyah datang bertubi-tubi. Umumnya serangan itu bernada kekecewaan. Ditujukan baik kepada personal maupun organisasi.

Rupanya ada sebagian pihak yang patah hati mengetahui ternyata sikap beragama Muhammadiyah itu moderat, ‘wasathiyah‘, tak sejalan dengan yang mereka harapkan. Padahal sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, mereka banyak berharap bisa ‘berlindung’ di balik kebesaran Muhammadiyah.

Paling tidak, ada dua peristiwa yang akan membantu kita membaca fenomena ini.

Polemik Hizbut Tahrir

Pertama, pasca-pidato pengukuhan gelar Guru Besar Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, yang sekaligus menegaskan sikap kebangsaannya sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah, sejumlah orang melancarkan kritik tajam. Penulis siluman yang mengatasnamakan diri Nasrudin Joha bahkan mencoba membenturkan Muhammadiyah dengan HTI, seraya melakukan ‘framing’ bahwa Prof. Haedar pro-Barat dan pro-rezim yang menyudutkan umat Islam.

Pasalnya, pidato Prof. Haedar menegaskan posisi politik serta sikap beragama Muhammadiyah yang menjunjung tinggi moderatisme. Dalam konteks kebangsaan, Prof. Haedar menawarkan konsep ‘moderasi Indonesia dan keindonesiaan’. Bahwa negara dan bangsa ini tak bisa dibawa ke kutub ekstrem manapun, kanan atau kiri, apalagi dibentur-benturkan, karena karakter sejatinya justru ada di tengah (moderat).

Tentu sikap ini berbeda dengan Hizbut Tahrir yang mengandaikan sistem politik dan pemerintahan yang sama sekali berbeda dengan yang kita jalankan selama ini. Hizbut Tahrir yang di Indonesia diwakili oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengandaikan berdirinya negara khilafah dengan sistem pemerintahan tersendiri. Argumen ini boleh ditolak, tetapi fakta bahwa organisasi ini dibubarkan secara hukum, tak bisa dibantah karena asas organisasi ini secara faktual bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Baca Juga  Hijrah yang Tak Menyejarah?

Namun, meski argumen-argumen pokoknya telah dipatahkan, bahwa tuduhan Joha kepada Prof. Haedar hanya omong kosong belaka, penulis pseudonim ini justru melancarkan fitnah yang lebih besar. Ia bahkan menuduh bahwa Prof. Haedar menyewa ‘buzzer‘ untuk membersihkan toga guru besar yang ia sebut ‘terpercik noda darah saudara Muslim’.

Ini tentu saja bukan tuduhan main-main. Meski terbaca memukul angin, tulisan-tulisan Joha adalah serangan yang serius baik kepada Prof. Haedar secara pribadi maupun kepada Muhammadiyah. Nasrudin Joha adalah cermin yang memperlihatkan kepada kita bahwa ada sejumlah pihak yang patah hati ternyata sikap politik dan sikap beragama Muhammadiyah yang moderat tidak sama seperti mereka.

Fitnah tentang Uighur

Peristiwa kedua adalah mencuatnya pemberitaan tak berdasar dari media online Wall Street Jounal (WSJ) yang mengatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dibayar oleh pemerintah China untuk bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan kepada etnis Uighur di Xinjiang.

Seketika Muhammadiyah diserang oleh sejumlah kalangan karena ikut mengutus delegasi untuk meninjau Camp Xinjiang atas undangan pemerintah China beberapa bulan lalu. Masalahnya, mengapa Muhammadiyah saja yang diserang? Atau mengapa serangan terhadap Muhammadiyah terasa lebih terstruktur, sistematis, dan masif dibandingkan kepada dua ormas yang lain?

Laporan WSJ berjudul “How China Persuaded On Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps” sebenarnya sama sekali tak berdasar. Hanya berangkat dari sentimen perang dagang Amerika Serikat melawan Tiongkok. Jelas sekali sikap MUI, NU dan Muhammadiyah selama ini menentang keras pelanggaran HAM kepada suku Uighur. Hal itu sejalan dengan sikap RI yang vokal dan tegas melawan kejahatan kemanusiaan di manapun, termasuk di Pakistan dan Suriah.

Baca Juga  Reuni 212: Islam Ofisial vs Islam Oposisi

Konflik Xinjiang sendiri sudah terjadi selama 65 tahun di Tiongkok. Bukan baru terjadi kemarin sore. Dalam kurun waktu itu, Republik Indonesia dibantu berbagai ormas Islam termasuk NU dan Muhammadiyah sudah ikut membantu dengan berbagai misi kemanusiaan. Sebagai contoh kecil, pada tahun 2000an Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sudah membuka pintu bagi para mahasiswa beretnis Uighur untuk belajar dan mendapatkan beasiswa di sana.

Mengatakan bahwa Muhammadiyah tak peduli pada konflik Uighur, bahkan menyebut bahwa organisasi ini dibayar untuk bungkam, adalah penghilangan fakta sejarah sekaligus menunjukkan ketidakpahaman kelompok ini pada kerja-kerja konkret yang sudah dilakukan Muhammadiyah selama bertahun-tahun. Apalagi jika itu hanya berpijak pada pemberitaan WSJ yang tidak objektif dan tendensius.

Muhammadiyah Moderat

Barangkali Muhammadiyah memang tak membuat gerakan atau kampanye di media sosial. Muhammadiyah tak membuat tweet, juga tak cerewet mengatakan paling peduli pada kejahatan kemanusiaan di belahan manapun di dunia–termasuk di Palestina, Suriah, juga Xinjiang. Tetapi Muhammadiyah secara konsisten dan nyata melakukan misi kemanusiaan dan memberikan berbagai bantuan. Mulai dari mendirikan sekolah sampai ikut membangun rumah sakit.

Tentu saja Muhammadiyah juga tak bisa dibayar. Organisasi Islam modern terbesar di dunia ini juga barangkali merupakan salah satu organisasi keagamaan terkaya di dunia. Menguasai lebih dari 20 juta meter persegi tanah di seluruh dunia, memiliki aset ribuan masjid dan sekolah, ratusan rumah sakit dan perguruan tinggi, serta berbagai amal usaha di seluruh dunia, organisasi ini tak perlu mengemis pada siapapun untuk menjalankan perannya sebagai gerakan Islam, gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan gerakan tajdid (pembaharuan).

Sebelum kasus ini mencuat, sebagaimana banyak diberitakan, rombongan duta besar Amerika Serikat pernah mendatangi kantor PP Muhammadiyah. Dubes AS dan rombongan meminta agar Muhammadiyah bersuara tentang konflik di Xinjiang dengan versi yang lebih menguntungkan pemerintah Amerika Serikat. Tetapi, Muhammadiyah menolak. Muhammadiyah memiliki pandangan dan sikap objektifnya sendiri tentang kejahatan kemanusiaan kepada etnis Uighur. Tanpa bias kepentingan perang dagang AS-Tiongkok.

Baca Juga  Bagaimana Seharusnya Sikap Seorang Muslim dalam Pemilu?

Bila hari ini muncul pemberitaan dengan narasi yang menguntungkan AS seraya memojokkan ormas-ormas Islam, termasuk Muhammadiyah, kita tak tahu bagian dari ‘agenda setting‘ macam apakah semua ini? Tetapi, bila ada kelompok yang selama ini mendaku paling anti-Amerika tetapi dalam hal ini justru menjadi bagian dari alat mereka mengokohkan narasi AS dan memojokkan ormas-ormas Islam, sebenarnya siapa dan apa maunya mereka ini?

Yang jelas, dua peristiwa ini memberi tahu kita satu hal: Bahwa ada pihak yang tidak suka jika Muhammadiyah menjadi moderat, sebagaimana karakter aslinya yang ‘wasathiyah’, yang ingin mempertahankan Muslim sebagai ‘ummatan wasathan’. Yang berjuang menjadikan Indonesia ‘baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur‘ dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945.

Pertanyaannya, siapakah mereka yang kecewa itu?

Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds