Oleh: Ust. Fathurrahman Kamal, Lc., MA
-Toleransi- 19 tahun lalu, di permulaan tahun 2000-an, semasa nyantri pada program pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, saya berguru kepada beberapa tokoh dan rohaniawan Katolik, diantaranya Romo Dr. Yohanes Hariatmoko, SJ., dan Dr. St. Sunardi. Sebagai murid, dan berlatar pendidikan Licentiate Dakwah dan Ushuluddin dari Universitas Islam Madinah, sama sekali tak menghalangi saya untuk menghormati dan memuliakan beliau itu.
Pada suatu sesi presentasi mata kuliah Filsafat Moral bersama Romo Hariatmoko, saya terlambat menyerahkan makalah yang telah ditugaskan, bersebab aktifitas mengajar di Ma’had Bahasa Arab UMS, saat itu. Beliau memaklumi dan memperkenankan saya untuk tetap maju mempresentasikan makalah sesuai jadual.
Tak berselang lama usai perkuliahan tersebut, saya melaju ke komplek Gereja Kotabaru, tempat beliau biasa disowani, dengan satu tujuan : “minta maaf” atas keterlambatan penyerahan makalah.
Sungguh saya merasakan bahwa inilah ajaran iman-Islam yang saya yakini untuk tetap memuliakan dan menghormati para guru, sekalipun mereka berbeda agama dengan apa yang saya yakini. Guru, tetaplah guru; dan melalui perantaranya setitik ilmu Allah yang tak berbilang lipatan samudera saya dapatkan.
Keyakinan teologis saya tetap kokoh menuntun saya untuk tetap dan terus memuliakan beliau. Tanpa keraguan, dan tak bimbang sekalipun. “Tebarkanlah kasih kepada sesiapa di permukaaan bumi, niscaya kau kan dikasihi setiap penghuni langit yang teramat mulia”, demikian pesan kenabian yang saya yakini. Menghormati orang lain, secara universal, tak semata tuntutan kemanusiaan; bahkan itu “Perintah langit”. Terlebih kepada para guru yang telah berbagi ilmu dan menginspirasi tentang kehidupan.
Saya tak pandai berwacana tentang toleransi, tapi saya yakin demikian Islam menuntun kehidupanku. Wallāhu A’lam bi al-shawāb.