Virus Corona atau Covid-19 benar-benar merenggut banyak korban jiwa, tidak memandang usia, kelas sosial atau pun ekonomi, dan tidak memandang agama mana pun. Corona benar-benar tidak mengenal kata ampun, hingga hari ini masih tetap beringas. Masyarakat dunia mulai saling bahu-membahu dengan segala hal yang bisa dilakukan, baik dari pikiran, harta, tenaga, dan waktu agar bisa bertahan melawan wabah ini.
Ada orang yang bahkan siap merelakan jiwa dan raga (altruisme) untuk melawan wabah ini, yang kita kenal sebagai “Relawan”. Mereka siap bertempur melawan wabah ini, dengan berbagai resiko yang siap menanti, bersama Dokter dan Perawat yang berada di garis terdepan.
Kali ini saya mencoba bercerita tentang suka duka menjadi seorang Relawan, baik pengalaman saya sendiri ketika menjadi relawan maupun relawan lain yang berbagi cerita. Jarang sekali orang-orang bercerita tentang Relawan, kalaupun ada yang diceritakan mungkin hanya stigma buruknya saja.
***
Awal bulan puasa adalah permulaan menjadi relawan, saya bertugas di bawah naungan Muhammadiyah Covid-19 Command Center Daerah Istimewa Yogyakarta (MCCC DIY) yang bertempat di Rumah Sakit PKU Gamping. Relawan terbagi menjadi tiga tim. Pertama, tim pemulasaran yang bertugas untuk membungkus jenazah bersama dengan Dokter ataupun Perawat yang bertugas di kamar mayat.
Kedua, tim dekontaminasi atau singkatnya “dekon” yang bertugas untuk menyemprot bagian-bagian yang rentan akan penularan virus ini, baik dari peti jenazah (Paket), mobil ambulance, petugas, hingga alat pelindung diri (APD).
Ketiga, tim emergency atau sebutan viralnya tim pengubur jenazah. Sesuai tugasnya, mereka adalah tim yang membawa jenazah dari kamar jenazah hingga menuju liang lahat.
Kondisi setiap posko relawan berbeda-beda, ada yang memakai gedung dan tenda. Baik tendanya di lapangan maupun lahan kosong yang bisa ditempati. Di tempat saya memakai tenda yang berasal dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dan didirikan di lahan yang tidak terpakai. Maka musuh kami ada dua, kalau di siang hari adalah panas yang terik, apalagi saat puasa ini sangat terasa, dan kalau di malam hari adalah nyamuk karena letaknya di pinggir kolam kangkung dan semak-semak. Tiap malam kami harus memfogging posko kami.
Virus Corona sangatlah kecil dan tidak kasat mata, maka diperlukan antisipasi yang sangat ketat, yaitu memakai APD. Standar perlindungan bagi para relawan dimulai dari memakai APD, sarung tangan, sepatu boot, dan masker full face. Tapi dalam realita di lapangan, sangat berbeda. Ada yang memakai APD yang tidak sesuai standar, masker biasa yang kadang berlapis-lapis, memakai penutup muka full face ataupun google.
Semua itu terjadi karena ketersedian yang terbatas. Akan tetapi intinya memakai APD sangatlah ribet dan panas. Banyak relawan yang pingsan karena susahnya bernafas, dehidrasi, ataupun kelelahan. Di malam hari pun, google bisa menjadi kendala karena membuat jarak pandang menjadi terbatas.
Dalam pengantaran jenazah, tidak mengenal waktu dan jarak. Bisa jadi pagi saat akan sahur, siang bolong, sore di saat hendak berbuka, ataupun tengah malam di saat semua tertidur lelap. Ada kisah relawan yang harus mengantar jenazah dari Jogja hingga Madura. Ada juga yang mengantar jenazah dari kota Jogja hingga Wonosari di siang bolong. Ada juga yang mulai menguburkan di saat akan berbuka puasa. Ada juga yang menguburkan di saat akan sahur, dan juga beberapa konflik dengan masyarakat.
Proses penguburan secara prosedur adalah dengan memakai tali dan langsung diturunkan ke liang lahat, terkadang relawan pun harus ikut masuk ke dalam karena kendala. Di saat hujan, tanah di pemakaman sangatlah basah sehingga menyulitkan untuk bergerak. Pada malam hari terkadang relawan menabrak batu nisan, ataupun pohon hingga terjatuh karena jarak pandang terbatas. Sehari pun tidak menentu berapa paket yang bisa diantar. Ada posko yang mengantar 5 paket dalam sehari, dan ada juga yang 4 paket sehari di malam hari.
***
Relawan memiliki resiko tertular, karena mereka adalah garis terdepan. Kabar terbaru, bahwa relawan bagian dekon di suatu posko tertular virus ini. Relawan pun jarang pulang atau bahkan tidak pulang, karena kami sadar bahwa kami mengantisipasi penularan dengan tidak pulang. Relawan tidak dibayar dalam bertugas, bahkan ada juga yang tidak jelas jaminanannya jikalau tertular. Hal yang paling menyedihkan bagi kami yaitu ketika harus membawa paket kecil. Kami tidak tahu kapan ini berakhir dan kami berharap tidak ada paket yang harus diantar lagi.
Kesedihan pun bertambah ketika melihat pemerintah yang tidak serius dalam menangani wabah ini, DPR yang lebih mementingkan Omnibus Law, publik figur yang memberikan kesesatan, dan masyarakat yang tetap ngeyel. Di saat dokter, perawat, dan relawan berjuang dengan resiko yang besar, tapi yang lain tetap tidak peduli. Indonesia Terserah!
Editor: Arif