Peran manusia dalam melahirkan berbagai kerusakan ekosistem tentu bukanlah suatu tindakan yang bisa diabaikan begitu saja. Mengingat peran manusia dalam mengelola sumber daya alam sangatlah vital. Perspektif  filsafat ekologi menempatkan manusia sebagai pusat tata kelola alam (antroposentrisme) masih menjadi sumber kekuatan dan kekuasaan besar manusia untuk secara tanpa perhitungan mendominasi alam bagi kepuasan mereka semata.
Meskipun banyak gugatan terkait kondisi yang terus berkepanjangan seperti ini, belum terlihat semacam kesadaran kolektif dari seluruh stakeholder untuk merekonstruksi pemikiran dan tindakan agar ada keseimbangan dalam memandang ekosistem. Tawaran-tawaran bioetic (ekosentrisme; misalnya) seperti dikemukakan para pemikir ekologi sepertinya hingga kini belum memperlihatkan respon positif. Sehingga belum mampu mengubah cara pandang selama ini yang dengan kasat mata sudah menunjukkan sisi-sisi negatif dan dampaknya.
Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al-Gore yang berjasa dalam penyadaran akan seriusnya perubahan iklim membenarkan bahwa terus terjadi eskalasi peningkatan konflik antara peradaban manusia dengan alam sekitar, terutama ketidakharmonisan manusia dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Kehilangan kawasan hutan hujan yang terjadi setiap detik. Lubang ozon yang makin menganga. Ketergantungan terhadap pola konsumsi yang terus menerus meningkat jumlahnya atas sumber-sumber alam dan bumi. Semuanya itu menyebabkan terjadinya krisis yang berkelanjutan.
Salah satu contohnya adalah Pandemi virus Corona (COVID-19) yang saat ini sedang menjadi ancaman global bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Meskipun secara saintifik belum ditemukan asal-usulnya, namun secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pola hidupnya termasuk proses mutasi genetiknya, pola penyebaran dan penularannya, sesungguhnya adalah satu bencana ekologi yang tidak terlepas dari buruknya relasi antara manusia dengan alam. Â
Kerusakan Ekologis
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kerusakan ekologis yang mengakibatkan dampak seperti perubahan iklim, punahnya spesies-spesies makhluk hidup yang sangat berperan dalam mendegradasi berbagai bahan-bahan organik, seperti mikrorganisme yang justru memberikan manfaat bagi kehidupan makhluk hidup yang lain. Â Ferran Garcia Pichel, ahli mikrobiologi di School of Life Sciences, Arizona State University (ASU) mengatakan, pemanasan global akan memaksa mikroba keluar dari ekosistemnya sehingga menimbulkan banyak ancaman, termasuk erosi dan berkurangnya kesuburan tanah.
Laporan Natural Resources Defence Council (NRDC) juga menjelaskan bahwa kenaikan suhu bumi juga menyebabkan terjadinya gelombang panas di Amerika, menyebabkan ratusan orang meninggal dunia. Demikian juga dengan pertumbuhan gulma yang makin meningkat yang memicu pertumbuhan serbuk sari sehingga memperburuk sistem pernafasan manusia. Pun dengan penggunaan insektisida yang melebihi ambang batas sehingga menyebabkan terjadinya resistensi terhadap serangga tertentu dan menimbulkan eksplosivitas pada serangga tersebut.
Menjawab berbagai dampak tersebut, sepertinya rekonstruksi ekologi menjadi salah satu solusi alternatif yang penting untuk dilakukan. Berbagai telaah atas dampak negatif akibat perspektif yang salah dalam memandang relasi antara manusia dan alam tersebut telah menunjukkan bahwa dibutuhkan kesadaran kritis untuk kembali menempatkan alam sebagai sesuatu yang sangat penting. Seperti dikatakan Sayyed Hosen Nasr (1975), eksploitasi alam yang terjadi tidak lebih adalah karena kekuatan dan daya manusia yang telah mengalami eksternalisasi sehingga manusia menguasai alam tanpa batas dan hubungan yang dibangun adalah sebatas antara subjek dan objek.
Butuh waktu lama untuk melakukan proses rekonstruksi tersebut. Namun setidaknya dalam batas-batas waktu tertentu ada beberapa hal yang patut dikedepankan sebagai wacana untuk kembali membangun relasi positif antara manusia dan alam. Â Â
Keadilan Ekologi
Keadilan ekologis adalah keinginan manusia untuk kembali menempatkan alam dengan memaksimalkan fungsi-fungsi ekologisnya. Selama ini, dengan alasan untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia, sumber daya alam hanya dipandang dari nilai ekonomisnya semata. Sementara fungsi-fungsi ekologisnya dalam membangun rantai kehidupan diabaikan sama sekali.
Padahal, seperti disebutkan Low and Gleeson (1998), pembangunan tanpa keadilan ekologis adalah sebuah formula yang kosong. Pembangunan yang hanya menghitung nilai-nilai pertumbuhan semata sesungguhnya adalah pembangunan yang semu. Karena pembangunan yang hakiki adalah pembangunan yang memakai cara pandang holistik, yaitu cara pandang yang mampu mengintegrasikan kemajuan-kemajuan fisik pada satu sisi dan kemajuan spiritualitas pada sisi yang lain.
Konsep keadilan ekologis yang memungkinkan dilakukan seperti ditawarkan oleh Michael Flitner (2018) yaitu keadilan distributif. Berupa pentingnya akses masyarakat pada keuntungan akibat pemanfaatan sumber daya alam. Serta keadilan pengakuan, berupa pentingnya pengakuan terhadap eksistensi keragaman cara masyarakat dalam mengelola alam.
Keadilan ekologis ini akan mendorongnya munculnya etika, yaitu kesadaran bersama (common sense) yang muncul akibat dari pemahaman akan pentingnya kelestarian ekologis yang ternyata memberikan manfaat tidak hanya dalam aspek ekonomis, namun juga secara ekologis mampu menjadi penyangga kehidupan manusia.       Â
Teo-Ekologis
Ketika bencana ekologis muncul, semua orang ternyata masih meyakini ada kekuatan transendental yang mempengaruhi kejadian itu. Ada keyakinan bahwa sesungguhnya ada kekuatan maha dahsyat (invisible hand) yang bermain dalam kejadian-kejadian yang menimpa manusia. Kesadaran ini semestinya tidak hanya muncul ketika sedang dilanda musibah atau pun bencana ekologis saja. Namun juga sejatinya dalam proses pengelolaan sumber daya alam, esensi Tuhan sebagai pencipta semesta mestinya juga harus menjadi pertimbangan utama dan nilai-nilai teologis menjadi substansi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam.
Ketika memasuki wilayah teologi, maka perbincangan tentang ekologi tidak lagi bermain di tataran konsepsi dan teoritis. Namun sudah masuk dalam konteks tata nilai. Karena sejatinya teologi bukanlah sebatas ritual an-sich, namun lebih jauh akan mampu melahirkan nilai-nilai dan perilaku tentu termasuk di dalamnya etika dan estetika dalam pengelolaan alam.
Yusuf Al-Qardhawi (2001) mengatakan, alam adalah merupakan bagian dari bukti kekuasaan tuhan, maka memelihara alam haruslah menanam, membangun, menghidupi serta menghindari dari hal-hal yang merusaknya. Bahkan dalam suasana perang sekali pun, dilarang untuk menebang pohon yang berbuah serta membunuh hewan-hewan ternak.
Malah Gary Gardner (2002) memandang bahwa keterlibatan agama merupakan sebuah keharusan ilmiah. Karena agama memiliki aset yang sangat berguna dalam memelihara bumi dan membangun dunia yang adil secara sosial dan berkelanjutan secara ekologis. Aset yang sangat berharga itu adalah kapasitas untuk membentuk kosmologi (world view) yang sejalan dengan visi ekologis, otoritas moral, basis pengikut yang besar, sumber daya materi yang signifikan dan kapasitas membangun komunitas.
Lazimnya tertimpa sebuah bencana, akan memunculkan kesadaran insidental yang kembali membuat manusia melakukan review atas cara-cara mereka mengambil keputusan dan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam, perilaku dan nilai-nilai negatif yang selama ini dikedepankan dalam memandang relasi manusia dan alam. Tapi, lama kelamaan kesadaran itu akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu dan berakhirnya bencana sampai kemudian bencana selanjutnya kembali menimpa. Sesungguhnya pada setiap bencana itu ada pelajaran.
Editor: Arif
Ayah, kangen:(