Inspiring

A Luta Continua Ali Shariati

2 Mins read

Pada 19 Juni tahun 1977, jenazah Ali Shariati tiba dari London di Damaskus setelah ditolak keras oleh rezim Shah Pahlevi dimakamkan di tanah kelahirannya, Iran. Mayatnya dimakamkan di samping anak perempuan Ali Bin Thalib, Sayyidah Zainab.

Sebelum mayatnya dikuburkan, banyak warga yang takut menshalati jenazah Ali Shariati. Tetapi tidak dengan Sayyid Musa Sadr, seorang pemimpin gerakan Amal Lebanon dan filsuf Islam yang telah banyak menulis buku tentang filsafat politik dan sosial. Imam Sayyid Musa Al Sadr berdiri tegak di hadapan jenazah Ali Shariati. Sebelum menyolatkan jenazah rekannya, beliau berkata tegas, ‘’Aku mencabut kewarganegaraan (Iran) dan akan aku jatuhkan Shah Pahlevi dari kursi kerajaannya”.

Ali Shariati merupakan simbol perlawanan generasi muda Iran melawan pemerintahan tiranik saat itu. Sejak remaja, dirinya sudah aktif berkegiatan politik menentang rezim Shah. Di usia 17 tahun, ia sudah dekat dan berjuang bersama kaum ‘’musthadafin’’, kelompok masyarakat yang termajinalkan.

Menurutnya, di dalam Al-Qur’an istilah mustadhafin menujukan kepada kondisi ketertindasan akibat eksploitasi, despotisme dan kolonialisme, sehingga kaum mustadhafin identik dengan orang-orang miskin secara ekonomi, dan tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dalam sosial politik.

Ali Shariati mendapatkan gelar doktor di Universitas Sorbone, Perancis dalam bidang sejarah agama-agama. Selama hidup dirinya sudah menulis 200 karya, salah satu karyanya yang kini sering diulas adalah buku Religion vs Religion.

Menurut Ali Shariati, agama Islam lahir ke dunia sebagai pembebas bukan penindas. Saat rezim Shah Palevi berkuasa, dilingkaran istana banyak ulama-ulama yang melanggengkan penindasan terhadap rakyat. Sebab itu, Ali Syariati menggagas sebuah konsep perlawanan dengan istilah Red Shiah. Teks-teks keagamaan yang bersifat pembebasan Ali Shariati kumandangkan sebagai bentuk protes terhadap keadaan.

Baca Juga  Sejarah Metode Hisab Muhammadiyah

Dalam satu kutipan Ali Shariati mengatakan bahwa seseorang tidak bisa menciptakan surga yang bertentangan dari keinginan masyarakatnya. Kutipan ini mengingatkan pada peran Ali Shariati memperjuangkan suara-suara kaum tertindas di hadapan kekuasaan.

Saat dirinya menjadi pengajar di Universitas Husainiyah al-Iryad tahun 1971, Ali Shariati yang bekerja sebagai dosen menjadi orator sekaligus provokator mahasiswanya turun ke jalan berdemontrasi menurunkan Rezim Shah Palevi.

Bagi Ali Shariati, tugas seorang pemimpin ialah sanggup mendengarkan kehendak rakyat. Ia tidak dapat membungkam suara-suara para masyarakat kecil dan melakukan tindakan represif untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan, imaji surga sekalipun, menurut Ali Shariati, tidak dapat diciptakan saat itu bertetangan dengan kehendak rakyat.

Di samping itu, Ali Shariati adalah sosok yang meyakini Idealogi Islam mampu menjadi kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat. Ia banyak mengambil spirit Imam Ali dan tragedi Karbala. Baginya, seruan Imam Husein bukanlah sebuah seruan sejarah semata, melainkan sebuah seruan sepanjang masa.

Dalam kacamata Ali Shariati, Tragedi Karbala adalah kesadaran sejarah. Ia bukan hanya kepingan peristiwa masa lalu. Spekrumnya melampaui masa kini dan masa depan. Dalam tragedi Karbala, tujuh puluh dua orang kafilah suci cucu nabi dibunuh oleh tiga puluh ribu pasukan bersenjata kekuasaan. Inilah simbol perlawanan yang memantik spirit revolusi Iran.

Ali Shariati menuliskan risalah tragedi Karbala dengan mengatakan, ‘’Ketika Imam Husein mengeluarkan seruan, ‘’Masih adakah orang yang akan menolongku?’’ Beliau tahu bahwa tidak ada satu pun menolong pada hari itu, juga tidak ada pendukung, namun beliau mengarahkan seruanya kepada generasi mendatang, kepada mereka yang telah menghadapi kezaliman sepanjang masa’’.

Ingatannya kepada tragedi Karbala membawa spirit hidup untuk melakukan transformasi masyarakat Iran keluar dari otoritarianisme politik. Spirit ini juga yang membawa hidupnya berakhir tragis. Di London, pada 19 Juni 1977, Ali Shariati secara tiba-tiba meninggal. Mayatnya terbujur di lantai tempat ia menginap. Kematianya disinyalir akibat dibunuh agen rahasia Shah Palevi.

Baca Juga  Perumpamaan Perkembangan Buah Kelapa Menurut AR Fachruddin

Kepergian Ali Shariati tentu karena memperjuangkan keyakinannya. Ia telah mati dalam kondisi syahid dalam memperjuangkan keadilan.

Kematiannya mengikuti jejak sahabat nabi dan Imam Ali yang begitu ia kagumi sekaligus dijadikan simbol perjuangan.

Untuk menutup tulisan sederhana ini, Ali Shariati sempat menulis surat terakhir kepada anaknya Ehsan Shariati. Ia menuliskan, ‘’merupakan kebahagiaan yang paling tinggi, dan keikhlasanku dalam perjuangan ini semuanya kulakukan demi bangsa, agar aku dapat meringankan jeritan yang selalu ada dalam diriku. Sampai-sampai aku tak dapat menjadi seorang ayah dan suami yang baik.’’

Kini kepergian Ali Shariati mengembalikan sebuah pekikan keras kepada generasi berikutnya. ”A Luta Continua”  perjuangan terus berlanjut. Sebuah spirit untuk membakar semangat dalam melawan segala bentuk penindasan.

Editor: Soleh

Avatar
12 posts

About author
Mahasiswa Jurusan Falsafah & Agama, Pengelola Taman Baca Tambo Pustaka, Komunitas Generasi Gemilang dan Aktivis Pelajar Islam Indonesia.
Articles
Related posts
Inspiring

Belajar Sabar dari Khabib Nurmagomedov

3 Mins read
Tepatnya di tanggal 11 Januari 2025 lalu, jagat media online dihebohkan dengan sebuah video yang memperlihatkan Khabib Nurmagomedov — Atlet petarung MMA…
Inspiring

Mahfud, dari Buruh Pabrik Sritex hingga Intelektual Prolifik

3 Mins read
Saya masih belum percaya jika sahabat saya berpulang. Mendapat kabar berita duka dari WA jika Choirul Mahfud, sahabat saya meninggal dunia. Mahfud…
Inspiring

Penyair Rasulullah itu Bernama Hasan bin Tsabit

3 Mins read
Pendahuluan Dalam sejarah Islam, sastra memiliki peran penting sebagai media dakwah dan perjuangan. Salah satu tokoh yang dikenal sebagai penyair Islam terkemuka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *