Abdul Mu’ti dikenal sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah yang dikenal inklusif, baik dari pemikiran maupun pergaulan yang melintas. Di Muhammadiyah, ia mengawali karir sejak di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1987-1995), pernah menjadi Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (2002-2006). Hingga saat ini, menduduki posisi Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Kini, ia menjabat sebagai guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Abdul Mu’ti berasal dari pelosok Kudus, Jawa Tengah. Ia lahir di Kudus, 2 September 1968. Jenjang pendidikan dasar dan menengahnya dijalani di madrasah. Dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah Manafiul Ulum (Kudus, 1980), Madrasah Tsanawiyah Negeri (Kudus, 1983), Madrasah Aliyah Negeri Purwodadi Filial di Kudus (Kudus, 1986).
Jenjang pendidikan tingginya ia mulai dari Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo (Semarang, 1991) dan Pembibitan Calon Dosen IAIN (Jakarta, 2002-2003). Tidak ingin hanya menjadi warga negara, ia juga menjadi warga global dengan menempuh studi School of Education, Flinders University of South Australia (Adelaide, 1997), Short Course on Governance and Shariah the University of Birmingham (Birmingham, UK, 2005), dan American Visitor Leadership Program (2005). Ia menamatkan studinya di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 2008).
Kristen Muhammadiyah dan Pluralisme Positif
Salah satu hal yang menarik dari Abdul Mu’ti adalah gagasannya tentang Krismuha atau Kristen Muhammadiyah. Bersama Fajar Riza Ul Haq, ia menulis buku Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan.
Menurut temuan Abdul Mu’ti, ada enam PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) yang berdiri di Indonesia timur dengan mayoritas mahasiswa non-muslim.
Enam PTM tersebut antara lain Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong, STKIP Muhammadiyah Manokwari, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura, Universitas Muhammadiyah Kupang, dan IKIP Muhammadiyah Maumere.
Dalam buku Pluralisme Positif yang ditulis oleh Abdul Mu’ti bersama Azaki Khoirudin, setidaknya ada tiga model konvergensi antara institusi pendidikan Muhammadiyah dengan mahasiswa atau siswa non-muslim.
Di Ende, Nusa Tenggara Timur yang mayoritasnya adalah Katolik, lembaga pendidikan Muhammadiyah memberikan siswa Katolik pelajaran agama Katolik sekaligus Kemuhammadiyahan. Sementara itu, di Putussibau, Kalimantan Barat yan mayoritasnya adalah Dayak-Kristen, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak memberikan siswa-siswi Kristen pelajaran agama Kristen. Di Serui, Papua, yang mayoritas masyarakatnya adalah penganut agama Kristen, siswa Kristen mendapatkan pelajaran agama Kristen dan Kemuhammadiyahan.
Di Universitas Muhammadiyah Kupang, 70%-75% mahasiswanya adalah non-muslim. Situasi seperti ini sudah berjalan sejak 1989. Beberapa karyawan, dosen, dan ketua jurusan di sana juga non-muslim.
Salah satu sekolah Muhammadiyah yang berdiri di Kupang adalah SMA Muhammadiyah Kupang. Di sekolah tersebut, siswi non-muslim tidak diwajibkan untuk menggunakan jilbab.
Selain itu, seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah sama sekali tidak memaksakan siswa-siswinya yang non-muslim untuk masuk Islam. Hal tersebut membuat lembaga Muhammadiyah dipercaya oleh masyarakat non-muslim di sebagian wilayah di Indonesia.
Gagasan Pluralisme Positif
Dalam konsep pluralisme positif Muhammadiyah, peserta didik diarahkan untuk percaya diri dengan keyakinan yang dipeluknya disertai sikap menghargai agama orang lain yang berbeda dan bersedia hidup bersama. Pluralisme positif mencakup beberapa aspek.
Pertama, sikap positif terhadap suatu keyakinan dan memeluk salah satu agama, bukan ateis atau agnostik. Kedua, sikap positif terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Ketiga, memahami dan menerima orang lain yang berbeda secara kepercayaan. Keempat, memberikan akomodasi bagi orang lain agar dapat melaksanakan keyakinannya
Cara pandang dan perilaku Muhammadiyah yang menjunjung pluralisme positif bisa ditelusuri pada perilaku tokoh awal Muhammadiyah, dokumen-dokumen resmi organisasi, dan aktivitas Muhammadiyah di semua bidang.
Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan memiliki jejak persahabatan dengan banyak kalangan. Abdul Mu’ti menguraikan hal ini secara panjang dan lengkap dalam buku Pluralisme Positif.
Peran Internasional Abdul Mu’ti
Dalam kiprahnya di dunia internasional, pria kelahiran Kudus tersebut merupakan anggota British Council Advisory Board 2006-2008, Indonesia-United Kingdom Advisory Board (2007-2009), Executive Committee of Asian Conference of Religion for Peace (2010-2015), dan Indonesia-United States Council on Religion and Pluralism (2016-Sekarang), dan Board of World Council of Religion for Peace (2019-sekarang).
Penerima penghargaan Australian Alumni Award (2008) ini aktif dalam berbagai forum dialog dan kerjasama antar iman di dalam dan di luar negeri. Tulisan dan karya Mu’ti dipresentasikan dalam berbagai forum ilmiah di dalam dan di luar negeri, serta media massa nasional antara lain di Sindo, Kompas, Republika, The Jakarta Post, dan sebagainya.
Mu’ti juga terlibat dalam berbagai organisasi keislaman, kemasyarakatan, dan kependidikan antara lain Wakil Sekretaris Jenderal PP ICMI (2005-2010), Wakil Sekretaris Tim Penanggulangan Terorisme (2006-2008), Anggota Delegasi kampanye Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI (2007-2008), Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) (2007-2010), anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) (2006-2011), Ketua BAN-S/M (2011-2017), dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2019-2023).
Semasa kuliah di Australia, Mu’ti menjabat Presiden Islamic Association Flinders University of South Australia (1995-1996), ICMI Orsat Adelaide (1995-1996), dan Persatuan Pelajar Indonesia-Australia (1995-1996). Mu’ti adalah pioneer program Indonesia-Australia Young Moslem Leaders Exchange Programs (2002), dan Indonesia New Zealand Moslem Leaders Exchange Programs (2007).
Belum lama ini, ia menghadiri Forum Religions and Education: A Toward Global Compact on Education, Selasa (6/10/21) di Vatikan. Ia merupakan satu-satunya wakil Indonesia bahkan Asia Tenggara dalam forum pertemuan para pemimpin agama dunia. Ia bicara di depan Paus Vatikan dan Mufti Agung Grand Syaikh Al-Azhar Ahmad al-Tayyeb.
Pada kesempatan itu, Abdul Mu’ti menyampaikan ceramah tentang paradoks antara peran besar yang diemban guru sekaligus kesejahteraan dan keamanan hidup mereka yang tidak terjamin.
Menurutnya, guru mengemban misi profetik sebagai utusan Tuhan yang memegang, mengajar, dan membumikan ajaran agama ke dunia. Ia mengajak pemimpin agama di seluruh dunia untuk menghormati guru dan memperbaiki kualitas pendidikan.
Ia menyebut bahwa guru membutuhkan jaminan psikologis, jaminan profesional, jaminan moral, dan jaminan sosial agar dapat fokus meningkatkan kompetensinya.
Dalam forum yang sama, ia juga bicara tentang peran Muhammadiyah dalam melawan krisis lingkungan global. Setidaknya ada lima program yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah, antara lain menerbitkan berbagai buku seperti Fikih Air dan Fikih Lingkungan, mengorganisir gerakan lokal melalui sedekah sampah, mendidik masyarakat, melakukan gerakan advokasi untuk pelestarian alam berkaitan dengan pertambangan, dan mendorong eksplorasi sumber energi alternatif seperti matahari, gelombang, dan angin.
Sosok Muhammadiyah Inklusif
Menariknya, ia tidak hanya dikenal di dunia internasional. Ia dikenal baik oleh tokoh pemimpin agama internasional, namun pada saat yang sama juga dikenal dan diterima dengan baik oleh masyarakat akar rumput Muhammadiyah.
Mu’ti dikenal selalu memberikan pengajian dengan segar dan penuh humor. Rasanya, hampir tidak mungkin Abdul Mu’ti bicara tanpa ada humor. Mengakar di bawah dan menjulang di dunia internasional ini membuat sosoknya begitu unik dan sulit mencari duanya.
Editor: Yahya FR