Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyoroti kultur feodalistis dalam dunia filantropi di Indonesia. Budaya ini berpotensi menghambat potensi zakat di Indonesia yang dijangka mencapai ratusan triliun. Hal ini ia sampaikan pada acara Sambut Hangat Gelar Guru Besar Prof. Hilman Latief yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, Jakarta (5/2).
Kultur Feodalistis dalam Dunia Filantropi
Dalam kegiatan yang dihadiri oleh para akademisi, pengurus Institut Dialog Antar-iman Indonesia, Jaringan Islam Berkemajuan, Muhammadiyah, dan pengelola lembaga filantropi di Indonesia itu, Mu’ti menyampaikan “..selama filantropi masih dimaknai sebagai charity yang belas kasihan,” dan pola hubungan “the powerful dan the powerless antara donor dengan penerima, antara muzakki dengan mustahik, dan pemahaman bahwa muzakki Itu posisinya lebih tinggi daripada mustahik, itu memang potensi untuk menghimpun seperti yang sering disebut itu tidak akan bisa terwujud.”
Ia menganggap praktik yang lazim berlaku di Indonesia di mana penerima sumbangan disuruh datang, antri mengambil kupon, kemudian berdesakan sebagai praktik yang tidak humanis. Praktik semacam ini menempatkan mereka yang berhak menerima sebagai “..the needy, sebagai orang (yang) lebih perlu. Sehingga respek kepada penerima tidak terlihat di situ.”
Sambal berseloroh, Mu’ti menambahkan “Potensi terjadinya ria justru di situ. Dan selain potensi terjadi ria, juga potensi terjadinya riot. Jadi ria dan riot. Ria itu pamer, riot itu ya kekacauan.”
Perubahan Paradigma Dunia Zakat
Mu’ti menganggap perlunya perubahan paradigma dalam dunia zakat. Praktik di atas, katanya “..itu memang sebagiannya kan bersifat kultural, dan sebagiannya bermuara pada pemahaman agama.” Ia menambahkan “..pemahaman sebagai mustahik itu harus kita luruskan. Itu kan sebenarnya mereka berhak. Karena hak, mereka tidak harus dong mengemis-ngemis untuk mendapatkan haknya, harusnya itu sesuatu yang diberikan tanpa harus diminta. Namanya penerima hak. Nah paradigma ini harus kita ubah.”
Masalah ini juga tak terlepas dari persoalan trust kepada lembaga-lembaga penerima dan penyalur zakat. “Ada problem di mana masyarakat belum sepenuhnya percaya kepada lembaga-lembaga penghimpun zakat.” Ia menyebutkan tiga tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga penghimpun zakat: akuntabilitas, manfaat yang terlihat, serta sistem yang berkeberlanjutan.
3 Tingkat Kepercayaan Masyarakat pada Lembaga Penghimpun Zakat
“Trust itu ada tiga level: pertama, berkaitan dengan persoalan mengenai akuntabilitas dari penerimaan itu. Betul nggak digunakan untuk itu? Kemudian yang kedua, trust yang berkaitan dengan manfaat yang bisa dilihat dari dia memberi itu. Kemudian yang ketiga adalah trust yang berkaitan dengan bagaimana sustainability dari pemberian itu. Nah itu yang memang perlu dijawab oleh lembaga-lembaga filantropi.” terang Mu’ti.
Saat menjelaskan perihal kepercayaan masyarakat terhadap lembaga filantropi, ia juga menyelipkan kritik “Mohon maaf ini bagi para pengelola ya. Kadang-kadang justru para pengelola lembaga filantropi ini kelihatan kaya raya luar biasa, dengan prosentase amil yang sangat tinggi itu. Jadi mungkin penampilan para pengelola lembaga filantropi ini lebih kaya dari penampilan pak Zainuddin (Maliki, anggota DPR RI yang juga hadir-red).”
Ia melanjutkan, “Kalau anggota DPR bermobil mewah, itu disoal: ‘Wah ini jangan-jangan korup ini.’ Tapi kalau pengelola-pengelola lembaga ini kaya, itu ndak disoal… itu menjadi sebuah catatan tersendiri.” Lagi-lagi diselingi guyonan, ia menyampaikan “Walaupun ada yang bilang “lha gimana mau mengumpulkan zakat dipercaya kalau penampilannya miskin. Kalau penampilan miskin jangan-jangan itu diambil sendiri.” yang disambut tawa hadirin.
Menutup sesi ini, ia menekankan pentingnya kajian dilakukan atas hal ini. “Nah bagaimana kajiannya, Professor Amel dan Professor Hilman yang mengkaji. Saya ini kan pelaku lapangan.”
Reporter: Aunillah