Salah satu isu sentral yang menjadi perhatian para intelektual Arab abad modern adalah bagaimana dunia Arab merespon hegemoni Barat, baik dalam bidang politik, budaya, maupun pengetahuan (epistemologi). Ragam konsep dan gagasan telah diajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Hassan Hanafi misalnya menawarkan proyek besar oksidentalisme atau studi dunia Timur terhadap dunia Barat, kebalikan dari orientalisme. Ada pula Muhammad Arkoun yang menggagas ide the Emerging Reason yang berusaha mengintegrasikan epistemologi Barat dan Timur. Selanjutnya ada Ismail Raji al-Faruqi dan Taha Jabir al-Ilwani yang mengetengahkan gagasan Islamisasi pengetahuan melalui lembaga bernama IIIT (International Institute of Islamic Thought).
Abdul Wahhab al-Massiri adalah satu di antara sekian filosof Arab yang mengajukan alternatif pemikiran untuk menyikapi paradigma filsafat Barat. Gagasannya terkait the Western worldview (pandangan dunia Barat) relatif unik. Idenya tidak dekonstruksionis seperti halnya Hassan Hanafi, tidak liberal dan akomodasionis seperti Arkoun, dan tidak juga apologetik seperti al-Faruqi dan al-Ilwani.
***
Totalitas respon kritis al-Massiri barangkali dapat disifati sebagai relativistik. Ia mengajak dunia muslim untuk melakukan relativisasi atau provinsialisasi Barat dengan cara melenyapkan asumsi bahwa nilai Barat adalah nilai yang universal, sentral dan absolut. Relativisasi Barat bukan berarti penolakan secara keseluruhan sampai pada tahap pengingkaran kontribusi peradabannya, tetapi penolakan pandangan filosofisnya yang dianggap tidak koheren dengan pandangan dunia Islam.
Hal ini hanya dapat dicapai, menurutnya, melalui sejumlah tahapan. Diantaranya memiliki pemahaman yang mendalam, reflektif dan kritis terhadap paradigma filosofis (al-namudzaj al-ma’rifi) peradaban Barat. Ia menganjurkan agar umat Islam untuk memahami sosiologi pengetahuan Barat dan memahami transformasi radikal corak filsafatnya.
Sarjana muslim kemudian perlu melakukan studi terhadap krisis peradaban Barat modern. Mereka bisa belajar dengan membaca karya-karya tulis ilmuwan Barat seperti Max Weber, Arnold Toynbee, intelektual mazhab Frankfurt, Frederick Jameson dan lainnya yang telah terlebih dahulu melakukan otokritik terhadap epistemologi Barat.
Ringkasnya, sarjana muslim perlu memahami watak dasar atau fondasi paradigmatik filsafat Barat: bagaimana asumsi dasar pandangan Barat tentang Tuhan, manusia, alam semesta, akal pikiran dan seterusnya. Dari sana kemudian, sarjana muslim perlu mengembangkan paradigma alternatif yang bersumber dari warisan intelektual dan kebudayaan Islam dan didasarkan pada sifat dinamis konsep ijtihad.
Abdul Wahhab al-Massiri: Karir dan Karya Intelektual
Abdul Wahhab al-Massiri adalah sosok yang multi talenta. Di samping seorang filosof, ia juga seorang sastrawan, aktivis hak asasi manusia, dan politisi.
Al-Massiri lahir di Damanhur, kota kecil di delta sungai Nil sebelah barat, Mesir, tahun 1935. Ia wafat di Kairo tahun 2008 pada usia 75 tahun. Al-Massiri menempuh pendidikan sarjananya di Universitas Alexandria bidang Sastra Inggris. Kemudian melalui beasiswa Fulbright ia melanjutkan studinya di Amerika selama 10 tahun. Ia menempuh pendidikan master di Columbia University, New York, dan PhD di Rutgers University di New Jersey.
Sekalipun bidang keilmuan awalnya adalah sastra, al-Massiri memperluas kajiannya ke arah studi filsafat Barat. Baginya sastra adalah pintu masuk untuk memahami nilai-nilai kultural yang melandasi sebuah peradaban. Minat al-Massiri terhadap aspek filsafat dari karya sastra bisa kita lihat dari disertasinya yang meneliti tentang konsep “matinya sejarah (the death of history)” dari dua orang sastrawan Barat terkemuka abad ke 19, yaitu: William Wordsworth (Inggris) and Walt Whitman (Amerika).
Selepas menyelesaikan studinya di Amerika, al-Massiri kembali ke Mesir untuk melanjutkan karir sebagai seorang akademisi. Ia mengajar di Ain Syams University sampai memperoleh gelar guru besarnya di sana. Selain itu, ia juga sempat menjadi profesor tamu di Arab Saudi, Kuwait, dan Malaysia.
***
Selama perjalanan karirnya sebagai seorang intelektual, al-Massiri mengalami transformasi pemikiran yang sangat radikal. Di era tahun 1950-an ia adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Pada dekade setelahnya, era 1960-an, paradigma berfikirnya bergeser ke arah kiri. Ia menjadi seorang Marxis tulen bahkan kemudian menjadi anggota partai komunis Mesir.
Kecendrungan menjadi kiri ini memang cukup umum di kalangan intelektual Mesir pada dekade tersebut. Selain al-Massiri, Hassan Hanafi dan Muhammad Imarah misalnya juga pernah mengalami fase ini. Al-Massiri dalam memoarnya menyebut bahwa ia sangat terpukau dengan gagasan materialisme historis-nya Karl Marx.
Setelah kekalahan perang negara Arab dari Israel tahun 1967, al-Massiri mengalami titik balik. Ia meninggalkan Marxisme dan kemudian memutuskan untuk mendalami Islam sebagai paradigma filosofis.
Dalam bidang politik, pada era tahun 2000-an, al-Massiri memutuskan untuk bergabung dengan partai baru bernama Hizb al-Wasat (Partai Moderat) yang didirikan oleh para mantan anggota Ikhwanul Muslimin. Ia juga kemudian menjadi ketua dan salah satu pendiri gerakan oposisi Kifayah yang menuntut Presiden Husni Mubarak turun dari jabatannya. Organisasi ini terdiri dari aktivis penentang otoritarianisme rezim dari berbagai kalangan, baik kelompok kiri sekuler sampai ke anggota Ikhwanul Muslimin. Inilah organisasi pertama di Mesir yang secara terbuka berani memproklamirkan perlawanan terhadap rezim Mubarak.
***
Al-Massiri adalah seorang penulis yang sangat produktif. Ia telah menghasilkan puluhan karangan, baik dalam bentuk buku maupun artikel, dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggris. Secara umum, karya-karya al-Massiri dapat diklasifikan ke dalam tiga kategori.
Pertama, tulisan yang berfokus pada kritik epistemologi barat. Terkait bidang ini, lima karyanya yang paling terkemuka adalah Dirasah Ma’rifiyyah fi al-Hadatsah al-Gharbiyyah (Studi Epistemologis terhadap Modernitas Barat), al-Hadatsah wa ma ba’da al-Hadatsah (Modernitas dan Paska-Modernitas), al-Firdaus al-Ardiy: Dirasah wa Intiba’at ‘an al-Hadarah al-Amrikiyyah al-Haditsah (Surga Dunia: Kajian dan Kesan mengenai Peradaban Amerika Modern), Isykaliyyah al-Tahayyuz: Rukyah Ma’rifiyyah wa Da’wah lil Ijtihad (Problem Bias Epistemologi Barat dan Seruan untuk Ijtihad), dan al-‘Almaniyyah al-Juziyyah wa al-‘Almaniyyah al-Syamilah (Sekulerisme Parsial dan Sekulerisme Komprehensif).
Kedua, al-Massiri menaruh perhatian secara khusus mengenai problem penjajahan Zionisme terhadap Palestina. Ia menulis tentang topik ini dari dua pendekatan, yaitu kritik epistemologis dan politis. Diantara karyanya di bidang ini adalah: Nihayah al-Tarikh: Muqaddimah li Dirasah Bunyah al-Fikr al-Shahyuni (Akhir dari Sejarah: Pengantar Kajian Mengenai Struktur Pemikiran Zionisme), dan karya magnum opus-nya yang terdiri dari delapan jilid, yaitu Mawsu’ah al-Mafahim wa al-Mustalahat al-Suhyuniyyah (Ensikopedi Konsep dan Istilah Zionisme).
Ketiga, dan ini yang paling unik, al-Massiri juga menekuni bidang sastra, khususnya cerita fiktif untuk anak. Ia menerbitkan beberapa karya tulis di bidang ini, diantaranya Qishshah Sari’ah Jiddan, Qisshah lil Atfal (Cerita Sangat Singkat, Cerita untuk Anak-anak), Ughniat ‘ila al-Asyya’ al-Jamila (Lagu-lagu yang Membawa kepada Keindahan), dan Qishshah Khayaliyyah Jiddan, Qisshah lil Atfal (Cerita Sangat Fiktif, Kisah untuk Anak-anak). Terkait karya-karyanya di bidang ini, al-Massiri bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari Suzan Mubarak, istri Presiden Mesir Husni Mubarak.
Sumber: Tarjih.or.id