Falsafah

Abid Al-Jabiri: Tiga Problem Besar dari Khilafah

3 Mins read

Isu kepemimpinan dalam sejarah Islam diawali dengan pasca meninggalnya wafatnya Nabi Muhammad Saw. Pasalnya, Nabi tidak meninggalkan warisan tentang siapa yang akan memimpin umat Islam jika beliau meninggal.

Dalam sejarah Islam, kepemimpinan ini dilanjutkan oleh khalifah Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Inilah yang diterima oleh Sunni arus utama sebagai keberlanjutan kepemimpinan pasca Nabi Muhammad.

Kepemimpinan Khalifah dan Dinasti Islam

Berbeda dengan Sunni, Syiah mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib telah ditunjuk oleh Nabi Muhammad sebagai penerusnya. Syiah menyandarkan klaim ini pada peristiwa Ghadir Khum, dimana pada saat itu Nabi Muhammad setelah melakukan haji wada memperkenalkan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti dan khalifahnya. Pada masa selanjutnya, Syiah mengklaim bahwa kepemimpinan atau Imamah akan diteruskan oleh keturunan Ali bin Abi Talib atau Bani Hasyim.

Perbedaan ini lah yang kemudian menjadi warisan dalam sejarah Islam yang diwakilkan oleh dua mazhab terbesar Islam, Sunni dan Syiah. Jika Sunni mengklaim bahwa kepemimpinan pasca Nabi Muhammad diwakilkan oleh sebuah Khilafah dan pemimpinnya disebut dengan Khalifah. Sedangkan Syiah kepemimpinan dilanjutkan oleh seorang Imam, dari keturunan Ali bin Abi Thalib.

Pasca era Khulafaur Rasyidin tersebut, kepemimpinan dilanjutkan oleh dinasti-dinasti seperti, Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Mamluk, Safawiyah, Ottoman dan Mughal, dll. Meskipun dalam praktiknya dinasti-dinasti itu memiliki corak dari mazhab-mazhab Sunni Syiah. Misalnya Syiah diwakili oleh Fatimiyah, Buwaihi dan yang paling terkenal adalah Safawiyah.

***

Khilafah terlama diwakili oleh Ottoman yang memimpin sejak 1299 hingga 1924, yang memimpin hampir selama enam abad. Lalu resmi berakhir pada 1924 ketika lembaga ini dihapuskan dan digantikan dengan Republik Turki modern.

Baca Juga  Membaca Mustadh’afin Lewat Kacamata Post-Strukturalisme

Pasca penghapusan tersebut, muncul berbagai gerakan yang mencoba untuk merestorasi lembaga kekhalifahan yang sudah dihapus. Misalnya di Turki sendiri, pada tahun 90-an muncul organisasi Kalifastat yang mencoba untuk menghidupkan kekhalifahan di bekas wilayah dimana Kekhalifahan pernah berjaya. Namun yang paling terkenal adalah Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin An Nabhani pada 1953.

Penghidupan kekhalifahan oleh berbagai kelompok keagamaan, mendapatkan respon yang kritis dari berbagai pemikir modern dalam Islam. Rata-rata mereka yang mengkritik menolak tentang penghidupan kekhalifahan ini.

Salah satu dari pemikir tersebut adalah Muhammad Abid Al-Jabiri. Jabiri terkenal dengan pemikirannya tentang Kritik Nalar Arabnya. al-Jabiri lahir di Maroko dan mengajar di Univeritas Mohammed V. Ia pun dikenal sebagai filsuf dan pemikir Arab-Islam terbesar era kontemporer.

Tiga Problem Khilafah Menurut Abid Al-Jabiri

Abid Al-Jabiri melihat para pengusung khilafah di era kontemporer ini masih menyisahkan tiga permasalahan, jika seandainya khilafah itu diterapkan. Adapun yang ia tanyakan dan ia kritik antara lain tentang;1) tidak adanya metode tertentu dalam memilih khalifah, 2) tidak adanya batasan bagi masa jabatan khalifah dan 3) tidak adanya pembatasan wewenang seorang khalifah. Mari kita bahas dan bedah satu persatu kritik Al-Jabiri tersebut.

Pertama, Tidak Ada Metode Tertentu dalam Memilih Khalifah

Abid Al-Jabiri menilai bahwa pemilihan Abu Bakar dan seterusnya hingga Usman bin Affan merupakan sikap tergesa-gesa masyarakat saat itu. Pemilihan tersebut dinilai tanpa adanya rencana atau rancangan bagaimana pemilihan seharusnya terjadi. Peristiwa yang terjadi di Tsaqifah Bani Saidah bisa saja menjadi peristiwa yang berbahaya jika Umar Bin Khattab tidak segera membaiat Abu Bakar (al-Jabiri, 2001: 74).

Hal inipun dilakukan oleh Abu Bakar ketika menunjuk Umar bin Khattab setelah berkonsultasi dengan para sahabat tentang siapa penerusnya. Hal sama pun juga dilakukan oleh Umar yang menunjuk panitia enam yang bertugas memilih penerusnya dan akhirnya Usman terpilih sebagai Khalifah.

Baca Juga  Khalifah Ali bin Abi Thalib (7): Pembaiatan sebagai Khalifah

Kedua, Tidak Ada Batasan bagi Masa Jabatan Khalifah

Al-Jabiri menilai bahwa pada awalnya fungsi utama dari Khalifah pada masa itu adalah sebagai “amir” yang berarti komando atau pemimpin perang. Dalam konteks Arab pada masa itu, Amir tidak memiliki masa batasan kepemimpinan, karena hal ini tidak masuk akal.

Kekuasaannya akan bertahan selama perang berlanjut, kecuali sang “amir” itu ditahan dan diasingkan atau dibunuh dan pada saat yang sama dilakukan penunjukan orang untuk menggantikannya.

Dalam konteks Khulafaur Rasyidin, penunjukkan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad. Dimana pada saat itu ada urusan yang sedang vital dan diantaranya adalah perang melawan orang-orang murtad.

Umar sendiri pun enggan disebut sebagai Khalifah, karena dianggap kurang sopan, dan ia pun mendapatkan julukan amirul mukminin (komandan kaum beriman). Karena pada masa Umar sendiri, juga melakukan perluasan wilayah kepada daerah-daerah non-Muslim. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Abid Al-Jabiri tidak mungkin untuk membatasi masa kekuasaan seorang komandan yang sedang melakukan tugasnya.

Ketiga, Tidak Ada Pembatasan Wewenang Seorang Khalifah

Sebab pada masa itu merupakan era komando perang atau keamiran, maka tidak memungkinkan untuk memberikan batasan wewenang ini. Abid Al-Jabiri menilai bahwa batasan wewenang pada masa itu merupakan masalah yang tidak terpikirkan atau al-Mufakkar fih. Karena masa itu merupakan masa penaklukan, rampasan perang dan perluasan wilayah (al-Jabiri, 77)

Abid Al-Jabiri berkaca pada masa khalifah ketiga, yaitu Usman bin Affan. Usman dinilai telah melakukan nepotisme dengan mengangkat beberapa keluarganya atau kerabat terdekatnya ke berbagai posisi strategis. Misalnya, beberapa gubernur warisan Umar diganti dengan kerabat maupun keluarga terdekatnya. Serta Usman menggunakan seperlima dari rampasan perang.

Baca Juga  Kritisisme Immanuel Kant: Sintesa dari Rasionalisme dan Empirisme

Terlepas dari tiga permasalahan dan kritik yang dikeluarkan oleh Abid Al-Jabiri, jika kita membaca sejarah dinasti-dinasti Islam hal tersebut berulang ketika dinasti atau kekhalifahan Islam itu tumbuh. Dimana terjadi beberapa pergolakan yang terjadi di internal dinasti-dinasti Islam.

Misalnya, sistem yang berubah menjadi turun-temurun atau monarki, lalu dari sistem monarki ini melahirkan beberapa krisis suksesi kepemimpinan. Dimana terjadi perebutan antara saudara terhadap kepemimpinan. Sehingga terjadilah tindakan bunuh membunuh antara saudara dan bahkan yang dilakukan oleh orang tua. Dimana dalam konteks Usmani peristiwa ini disebut dengan fetret.

Al-Jabiri menegaskan, tidak ada sistem pemerintahan yang disyariatkan oleh Islam. Pun yang ada hanyalah sistem yang hadir bersamaan dengan berkembangnya dakwah Islam dimana pada awalnya berpijak pada ciri “komando perang”. Dan hal inilah yang dibutuhkan dan yang dituntut pada masa tersebut.

Editor: Soleh

Fahmi Rizal Mahendra
17 posts

About author
Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya. Membaca dan Menulis tentang sejarah Ottoman, Turki & Tasawuf/Sufisme.
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds