Feature

Islam, Antara Pandangan Biner dan Hubungan Sosial

4 Mins read

“Kayaknya kembalianku kurang nih,” ujar seorang kawan begitu keluar dari salah satu minimarket terbesar di Indonesia.

Sepintas setelah menghitung uang, ia kembali masuk.

“Iya bener kurang. Kalo di warung kecil nggak papa aku ikhlasin. Tapi masa kita sedekah ke orang yang udah kaya,” imbuhnya.

“Mana sering minta donasi lagi. Kita kan nggak tau ke mana aliran donasi itu. Pasti besar sekali jumlahnya,” imbuhnya lagi.

Mendengar kalimat kawan saya itu, saya teringat beberapa tahun silam ketika saya menjadi seorang santri di sebuah pesantren kecil.

Saat itu, kami menganggap bahwa donasi kembalian yang kita berikan ke salah satu minimarket terbesar di Indonesia itu dialirkan ke gereja. Di sisi lain, kami diajarkan untuk alih-alih membantu gereja, justru harus memusuhi agama lain. Eksistensi gereja berarti ancaman bagi kami. Sebaliknya, eksistensi kami harus menafikan keberadaan gereja.

Kami, saat itu, memiliki pandangan biner. Hitam-putih, menang-kalah. Kalau satu menang, berarti yang lain kalah. Kalau kami putih, berarti mereka hitam. Hitam adalah keburukan. Oleh karenanya, jangankan untuk didukung, dibiarkan hidup saja belum tentu boleh.

Implikasinya, kami enggan sekali untuk mendonasikan kembalian uang belanja kami ke gerai retail yang Anda sudah tau namanya itu. Sekecil apapun donasinya. Sekali tidak berarti tidak. Membantu mereka (liyan, the others) berarti tasyabbuh, menjadi bagian dari mereka. Hal itu jelas merusak tauhid yang kami jaga dengan sepenuh jiwa. Yang lebih mahal dari nyawa kami sendiri.

Beberapa tahun kemudian, saya bekerja di salah satu lembaga filantropi Islam terbesar di Indonesia. Di lembaga itu saya menyaksikan langsung bahwa ternyata, donasi kembalian yang selama ini kita berikan ke gerai retail besar itu masuk ke beberapa lembaga filantropi Islam. Jumlahnya memang fantastis, mencapai miliaran rupiah. Dan sebagian dari Anda bisa jadi menjadi mustahik dari donasi itu.

Baca Juga  Ternyata, Tarawih di Masjid Imam Syafi'i Pakai 11 Rakaat

Melihat kenyataan itu, saya begitu terhentak. Betapa naifnya saya dulu. Seolah-olah menjaga tauhid dengan begitu gigih, nyatanya saya hanya memperlihatkan kebodohan di tengah kehidupan sosial yang begitu kompleks.

Dari cerita di atas, saya kemudian melihat bahwa pandangan biner menang-kalah hitam-putih itu rupanya masih langgeng dan dipelihara oleh sebagian dari kita. Pandangan ini meniscayakan garis demarkasi yang tegas antara “aku” dan “kamu”, “kita” dan “mereka”. Samuel P Huntington, dalam bukunya The Clash of Civilization sudah mensinyalir hal ini dalam konteks yang lebih luas.

“There can be no true friends without true enemies,” ujarnya mengutip novel karya Michael Dibdin, Dead Lagoon. “Unless we hate what we are not, we cannot love what we are.” Lebih jauh, Huntington dengan tegas menyebut bahwa “for peoples seeking identity and reinventing ethnicity, enemies are essential.”

Membaca Huntington, sekali lagi, saya teringat dengan konsep Wala’ wal Bara’ yang juga diajarkan dengan begitu gencar di pesantren dulu. Wala’ wal Bara’ adalah sebuah konsep dalam tauhid di mana kita mengikat diri kita dengan identitas Islam atau tauhid, pada saat yang sama, kita menafikan seluruh identitas lain dalam tubuh kita.

Secara konseptual, Wala’ wal Bara’ adalah satu hal yang positif. Namun, di lapangan, konsep ini sering digunakan untuk membenci kelompok yang berbeda. Bara’ yang berarti “berlepas diri” sering digunakan untuk menutup pintu relasi dengan kelompok lain, terutama agama lain atau kelompok lain dalam agama yang sama.

Kira-kira mirip dengan yang disampaikan Huntington di atas, bahwa untuk orang-orang yang tengah mencari identitas, musuh merupakan hal yang penting.

Pada tahun 1938, Harvard Study of Adult Development memulai sebuah riset yang fenomenal. Riset ini masih berlangsung hingga sekarang dengan melibatkan ribuan responden di Amerika. Riset ini menarik karena mencoba untuk melihat faktor-faktor apa yang membuat seseorang lebih bahagia dan lebih sehat.

Baca Juga  Ramadhan di Al-Azhar: Ada 130 Imam untuk Salat Isya dan Tarawih

Hasilnya cukup menarik. Faktor paling penting yang membuat seseorang lebih bahagia dan lebih sehat adalah good relationship (hubungan yang baik dengan orang lain).

“Social connections are really good for us. People who are more socially connected are happier, physically healthier, and they live longer,” ujar Ribert Waldinger, Direktur Harvard Study of Adult Development dalam sebuah pidato di laman TedTalk. Sementara, “people who are more issolated less happy, their health declines earlier in midlife, their brain functioning declines sooner, and they live shorter lives than people who are not lonely.”

The good life, kata Waldinger, is built with good relationships.

Untuk mewujudkan kehidupan yang bahagia, idealnya setiap orang membangun hubungan yang baik dengan orang lain. Hubungan yang baik ini, menurut hemat saya, tidak hanya berlaku bagi orang-orang di dalam kelompok tertentu, namun juga orang-orang di luar kelompok. Sehingga, pandangan biner bukanlah sebuah pandangan yang baik.

Di penghujung artikel ini, saya ingin menyimpulkan dua hal. Pertama, kita sering sekali melemparkan dalil untuk tidak suudzon kepada orang lain yang punya potensi suudzon kepada kita. Pada saat yang sama, kita menganggap suudzon kita terhadap orang lain adalah bentuk kehati-hatian dan implementasi dari Wala’ wal Bara’.

Menolak memberikan donasi kepada lembaga tertentu karena ketidakjelasan penggunaan hasil donasi adalah satu hal. Saya kira ini positif. Kita tidak bisa sembarangan memberi donasi. Tapi menolak memberi donasi karena menganggap donasi itu akan mengalir ke agama lain, dan pada saat yang sama membenci agama tersebut, adalah satu hal yang berbeda. Pemikiran seperti ini didasari oleh pandangan serba biner.

Kedua, untuk mewujudkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, sebagaimana term yang sering disebut dalam Alquran, yaitu lahum ajruhum ‘inda rabbihim, wa laa khaufun ‘alaihim, wa laa hum yahzanuun (sejahtera yang sesejahteranya, damai yang sedamai-damainya, bahagia yang sebahagianya), maka diperlukan hubungan sosial yang baik. Tidak hanya dengan antar umat Islam, namun juga dengan umat beragama lain.

Baca Juga  Bagaimana Gerakan Puritanisme Islam ala Salafi itu Muncul?

Hubungan yang baik ini mensyaratkan ketulusan dan kejujuran. Ia tidak boleh diwarnai dengan pandangan biner. Hubungan yang baik mensyaratkan kemauan agar semua maju bersama, tanpa ada satupun orang yang tertinggal. Prasangka-prasangka yang selama ini muncul di tengah keragaman agama, barangkali disebabkan oleh minimnya ruang perjumpaan.

Tanpa ada ruang perjumpaan, setiap prasangka dapat tumbuh subur lalu menggurita. Maka sekedar bertemu, berbicara, berbincang-bincang tentang banyak hal dengan kelompok lain, dengan sendirinya dapat mereduksi gunung es prasangka yang selama ini kita pendam dalam-dalam di dalam benak kita.

Orang yang lebih terisolasi, mengulangi kata Waldinger, cenderung tidak bahagia, tidak dapat memaksimalkan fungsi akal, dan memiliki usia harapan hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan orang lain yang memiliki hubungan hangat.

Avatar
108 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Feature

Air Kata Joko Pinurbo: Sebuah Obituari

4 Mins read
JOKO PINURBO bersedia tampil di acara “Wisata Sastra” di Jogja beberapa tahun lalu, dengan syarat: satu-dua nama penyair/cerpenis — yang ia duga…
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *