Fikih

Adab Khutbah Jumat

3 Mins read

Khutbah secara bahasa, adalah ‘perkataan yang disampaikan di atas mimbar. Ada pula yang mengatakannya berasal dari kata “al-khatbu” yang berarti ‘perkara besar yang diperbincangkan’, karena orang-orang Arab tidak berkhutbah kecuali pada perkara besar. Sebagian ulama mendefinisikan “khutbah” sebagai ‘perkataan tersusun yang mengandung nasihat dan informasi’.

Definisi khutbah Jumat secara istilah adalah, ‘perkataan yang disampaikan kepada sejumlah orang secara berkesinambungan, berupa nasihat dengan bahasa Arab, sesaat sebelum shalat Jumat setelah masuk waktunya, disertai niat serta diucapkan secara keras, dilakukan dengan berdiri jika mampu, sehingga tercapai tujuannya.

Adab khutbah Jumat dapat diartikan sebagai sekumpulan tata cara khutbah Jumat, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang disunnahkan padanya.

Adab-adab Khutbah Jumat

Dengan pengertian tersebut, maka adab-adab khutbah Jumat di antaranya adalah sebagai berikut :

1.) Disyaratkan bagi khatib pada kedua khutbah untuk berdiri (bagi yang kuasa), dengan sekali duduk di antara keduanya. Kedua khutbah itu merupakan syarat sah Jumatan, demikian menurut seluruh imam mazhab. Menurut Imam Asy Syafi’i, berdiri dalam dua khutbah dan duduk di antara keduanya adalah wajib. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW berkhutbah pada hari Jumat dengan berdiri, lalu duduk, lalu berdiri (untuk berkhutbah lagi) seperti yang dikerjakan orang-orang hari ini.” (HR. Jamaah).

2.) Disunahkan bagi khatib untuk memberi salam ketika masuk masjid dan ketika naik mimbar sebelum khutbah. Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika masuk masjid pada hari Jumat, memberi salam pada orang-orang yang duduk di sisi mimbar dan jika telah naik mimbar beliau menghadap hadirin dan mengucapkan salam. (HR. Ath Thabrani)

3.) Kedua khutbah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun khutbah dalam mazhab Syafi’i ada 5 (lima) : (1) Membaca hamdalah pada kedua khutbah. (2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khutbah. (3) Wasiat takwa pada kedua khutbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athi’ullah/taatilah kepada Allah). (4) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah (pada khutbah pertama lebih utama). (5) Membaca doa untuk kaum muslimin khusus pada khutbah kedua.

Baca Juga  Antara 11 dan 23 Rakaat Tarawih, Manakah yang Sesuai Contoh Nabi?

Adapun syarat-syaratnya ada 6 (Enam) perkara: (1) Kedua khutbah dilaksanakan mendahului shalat Jumat. (2) Diawali dengan niat, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, niat bukan syarat sah khutbah. (3) Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa bagi kaum berbangsa Arab, rukun-rukun khutbah wajib berbahasa Arab, sedang selain rukun tidak disyaratkan demikian. Adapun bagi kaum ‘ajam (bukan Arab), pelaksanaan rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan secara mutlak dengan bahasa Arab, kecuali pada bacaan ayat Al Qur’an. (4) Kedua khutbah dilaksanakan pada waktunya (setelah tergelincir matahari). Jika dilaksanakan sebelum waktunya, lalu dilaksanakan shalat Jumat pada waktunya, maka khutbahnya tidak sah. (5) Khatib disyaratkan mengeraskan suaranya pada kedua khutbah. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khutbah, khatib disyaratkan mengeraskan suaranya. (6) Antara khutbah dan shalat Jumat tidak boleh berselang waktu lama.

4.) Disunahkan bagi khatib untuk berkhutbah di atas mimbar, sebab Nabi SAW dahulu berkhutbah di atas mimbar.

5.) Disunahkan bagi khatib untuk duduk pada anak tangga mimbar yang paling atas. Sebab Nabi SAW telah mengerjakan yang demikian itu.

6.) Disunahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya pada khutbahnya (selain rukun-rukun khutbah). Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan nampak sangat marah. Sampai beliau seperti orang yang sedang menghasungkan pasukan (untuk berperang) (HR. Muslim dan Ibnu Majah).

7.) Disunahkan bagi khatib untuk bersandar/berpegangan pada tongkat atau busur panah. Ini sesuai riwayat Al Hakam bin Hazan RA yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Baca Juga  Bunga Bank itu Belum Tentu Riba dan Haram

8.) Disunahkan bagi khatib untuk memendekkan khutbahnya (tidak berpanjang-panjang atau bertele-tele). Diriwayatkan dari Amar bin Yasir RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, adalah pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah salat dan pendekkanlah khutbah!” (HR. Ahmad dan Muslim)

9.) Dibolehkan bagi khatib untuk memberi isyarat dengan telunjuknya pada saat berdoa mengingat Rasulullah pernah mengerjakannya. Demikian menurut Imam Asy Syaukani.

10.) Kedua khutbah wajib memperbincangkan salah satu urusan kaum muslimin yakni peristiwa atau kejadian yang sedang terjadi di kalangan kaum muslim dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat Rasulullah SAW dan para khalifahnya dahulu–yang senantiasa menjadi khatib–sesungguhnya berkedudukan sebagai pemimpin politik (Al Qaid As Siyasi) bagi kaum muslimin.

Editor: Yahya FR
Related posts
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…
Fikih

Hukum Isbal Tidak Mutlak Haram!

3 Mins read
Gaya berpakaian generasi muda dewasa ini semakin tidak teratur. Sebagian bertaqlid kepada trend barat yang bertujuan pamer bentuk sekaligus kemolekan tubuh, fenomena…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds